KARENA COVID-19 SENI
PERTUNJUKAN RITUAL MENJADI CATATAN ARSIP
Permasalahan pandemi
Covid-19 di Jawa Timur untuk saat ini belum juga
mereda. Untuk menangkal penyebaran
virus tersebut, seluruh aktivitas seni
pertunjukan mulai dari, pergelaran wayang kulit, pergelaran tari, karawitan,
campursari, ludruk, wayang wong, dan pergelaran seni yang lain harus di tunda sampai waktu yang belum bisa di tentukan. Pada akhirnya para pekerja seni yang
kehidupannya hanya menggantungkan pada pementasan seni, untuk sementara mereka
harus
mengencangkan ikat pinggang, dan salah satu solusinya tetap
mencari jalan lain agar tetap bisa bertahan hidup.
Setelah hampir empat bulan lebih Jawa Timur berjuang menghadapi pandemi Covid -19, kini para seniman tengah
bersiap untuk menghadapi kehidupan baru (new normal). Kedepan perlahan-lahan
para seniman akan mulai menjalani kehidupan sehari-hari seperti
sebelum pandemi muncul, namun tetap dengan protokol kesehatan yang sudah dianjurkan oleh pemerintah. Perlahan-lahan pula sistem pada kerja seni pertunjukan mau tidak mau juga harus masuk ke arah tatanan baru.
Pada masa pandemi seniman harus berjuang untuk tetap bertahan dengan aktivitas seninya. Teknologi digital
adalah salah satu pilihan
yang memungkinkan untuk
mendukung keadaan pada masa pandemi. Para seniman berlomba-lomba menciptakan suatu karya
seni dengan
memanfaatkan teknologi digital. Banyak sekali karya seni pertunjukan live streaming dari rumah sebagai
upaya untuk tetap menghidupkan proses kreatif seniman. Seperti pertunjukan wayang
kulit live setreaming, campursari live streaming, karya tari live streaming dan
masih banyak lagi.
Selain karya baru lewat live
streaming, sebagian para seniman ada yang melakukan pengunggahan video-video pertunjukan melalui media Youtube. Ini menunjukkan bahwa masih
ada kehidupan seni yang masih eksis di
tengah-tengah pandemi covid-19. Tak hanya
usaha untuk menunjukan eksistensi seni, namun juga sebagai jalur untuk
mengumpulkan donasi bagi seniman yang terkena
dampak pandemi covid-19. Seperti Pentas
Donasi Virtual Untuk Pekerja Seni, Ngamen Online Donasi Bersama CSGMT Musik, Live Streaming Donasi Covid-19 Campursari Sangkuriang Ideal Sound Riana
Jaya Multimedia dan masih banyak lagi.
Dengan adanya karya-karya seni
pertunjukan lewat virtual tersebut, disisi lain ada sesuatu hal yang baru akan
tetapi dengan kondisi seperti itu seni pertunjukan menjadi terpisah antara
sajian seninya dengan para penonton. Tentu pertunjukan seni tersebut tidak
sepenuhnya menciptakan kesan ruang pertunjukan yang nyata, seperti pertunjukan yang biasanya dengan banyaknya penonton yang sangat riuh. Namun hal
ini tidak menjadi usaha yang sia-sia dalam dunia seni pertunjukan khususnya.
Kita hanya butuh membiasakan diri untuk tidak membatasi makna pertemuan.
Kondisi ini juga mau tidak mau mewajibkan para pelaku seni untuk mampu bekerja
dengan lintas media.
Lalu bagaimana seni
pertunjukan setelah melewati masa pandemi dan memasuki normal baru, apakah seni pertunjukan akan tetap memakai teknologi digital sepenuhnya untuk
menyalurkan ide dan gagasan mereka. Mungkin
bagi sebagian pelaku seni pertunjukan tidak ada masalah dan bisa menyesuaikan
dengan kondisi yang ada. Tapi bagaimana dengan kesenian yang lain, tentu ini akan
menjadi masalah bagi pelaku seni yang mustahil berselancar bebas dengan
teknologi digital. Pada pertunjukan seni ritual misalnya.
Apakah kita akan melihat sebuah ritual pada tari jaranan yang khas dengan pertunjukan trance, dalam istilah jawa ndadi. Para
penari memakan
beling, kembang bahkan ada yang di
cambuk tapi tidak merasakan sakit, seni pertunjukan ritual tari tiban yang sudah turun temurun menjadi bagian kebudayaan masyarakat Jawa Timur, terutama pada daerah Trenggalek, Blitar, Kediri dan Tulungagung yang yang mempunyai fungsi
untuk mendatangkan hujan, seni
pertunjukan ritual seblang dari Banyuwangi dan masih banyak lagi seni
pertunjukan ritual yang lainnya. Apakah semua pertunjukan-pertunjukan seni
pertunjukan ritual itu hanya akan kita lihat layar komputer maupun HP? Saya membayangkan kita akan kehilangan rasa ngeri ketika melihat penari
kerasukan dan di sisi lain akan mengurangi
rasa kesakralan pada seni pertunjukan ritual tersebut.
Dengan adanya seni pertunjukan
virtual ini, pertunjukan seni ritual yang lebih sering terjadi di daerah-daerah yang masih menjaga tradisi leluhur
mereka, akan
menjadi perkara baru bagi seniman yang mendedikasikan hidupnya pada bentuk seni pertunjukan ritual tersebut. Pembatasan
pertemuan dengan skala besar yang ditentukan oleh protokol kesehatan sedikit
demi sedikit akan ikut menggerus keberadaan seni pertunjukan ritual. Hal ini akan menjadi bentuk ketakutan untuk berkelompok. Upaya-upaya pemerintah
sebelumnya untuk membantu proses kreatif ternyata tak cukup membantu keberadaan
seni pertunjukan ritual yang berlangsung di dalam
desa-desa.
Jika seni pertunjukan
ritual tersebut juga akan dipindah pada media digital, maka ia akan hidup
sebagai catatan yang hanya akan berakhir sebagai arsip atau dokumen. Tatahan baru atau normal baru
adalah jalan tertatih bagi pelaku seni pada seni pertunjukan ritual. Apakah memungkinkan jika kelak kita melihat
penari jaranan yang tengah
kesurupan, penari tiban yang saling
mencambuk serta penari seblang yang sedang dalam kondisi trans harus memakai face shield dan masker pada wajah mereka, barangkali seni pertunjukan ritual tetap jalan adalah dengan memasang atribut protokol kesehatan pada
tubuh mereka yang berguna untuk melindungi
mereka dan yang lainnya. Dan penonton seni pertunjukan ritual akan memiliki jarak yang lebih jauh lagi dari
keberadaan penari yang sedang beratraksi. Maka dari itu para pelaku seni, pecinta seni, penikmat seni dan para pemerhati
seni harus siap
dengan kemungkinan pergeseran makna seni
pertunjukan ritual menjadi kesenian normal baru yang serba berjarak antara yang satu dengan yang lain.
Penulis :
Adiyanto,S.Sn, MM
Pamong Budaya
Ahli Muda
Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur