PENANAMAN NILAI NILAI LUHUR MELALUI BUDAYA
SPIRITUAL
Oleh Adiyanto,S.Sn
1.
Pendahuluan
Dalam dua dasawarsa belakangan ini bangsa Indonesia
mengalami krisis multi-dimensional yang mengkhawatirkan, baik yang disebabkan
oleh faktor-faktor internal, yang bersumber dari masyarakat kita sendiri,
maupun faktor-faktor external yang berasal dari masyarakat luar. Krisis luar
dan dalam, lokal dan global tersebut meliputi krisis moneter, krisis energi,
krisis lingkungan, krisis pangan, krisis kepercayaan, dan krisis-krisis lain
yang terutama disebabkan oleh krisis moral dan spiritual, krisis akhlaq
manusia, sebagai makhluk berderajat tertinggi utusan Tuhan Yang Maha Esa, untuk
mengelola dunia dan isinya. Dengan keunggulan daya akal, pikiran, kecerdasan,
daya intelek, emosi dan perasaannya manusia sering dihinggapi sifat-sifat lupa
dan khilaf, terutama menghadapi tawaran-tawaran kebendaan, duniawi yang
menggiurkan nafsunya sehingga menjadi angkara murka, berpikir dan merasakan,
bertingkah-laku, bergerak, berjalan, tanpa arah dan tanpa kendali akal sejati
dan hati nurani dari lingkungan yang senantiasa berhubungan dengan manusia dengan
manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam semesta. Meski secara
bersama-sama gerak dan tingkah laku manusia selalu menjadi perhatian dan
mendapat peringatan, nasehat, anjuran dan bahkan perintah pengendalian
spiritual dari manusia lain, tetaplah kealpaan dan kesesatan menjadi pilihan
lantaran tawaran dan iming-iming kenikmatan dan kemewahan dunia yang begitu
kuat merajalela dan berlebih-lebihan. Manusia senantiasa harus waspada
menghadapi godaan-godaan setan, iblis, gendruwo yang merayu dalam wujud-wujud
kemolekan fana, fantasi dan fatamorgana dari segala arah dan penjuru,
atas-bawah-kiri-kanan, mengajak masuk jurang kesesatan bagi dirinya sendiri dan
bagi manusia-manusia lain.
Nilai-nilai Spiritual menempati peringkat yang sangat tinggi
dalam kehidupan seorang yang beradab. Nilai-nilai religius berkaitan
dengan kebenaran Sejati yang
bersifat absolut dan universal yang berangkat dan
berawal pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang
dengan Penciptanya. Pada dasarnya nilai Spiritual tidak hanya berhubungan
dengan masalah spiritual saja, namun, juga berkaitan dengan nilai-nilai luhur ,
misalnya budi pekerti, kejujuran, tolong menolong dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan prilaku manusia Pada zaman moderen ini ada kecenderungan
manusia berinteraksi dengan lingkungan secara materiil, tanpa mengikat
interaksi tersebut dengan aturan-aturan hukum dan etika. Nilai-nilai Spiritual
dapat menjadikan stimulus bagi manusi agar manusia kembali ke alam, dan kembali
ke sang pencipta. Proses kembalinya manusia ke sang pencipta mengandung arti
proses penanaman nilai religius sedang berlangsung.
Duh Gusti Hingkang Murbeng
Dumadi, Sesembahan kawula sakabeh manungsa lan sesama mugi tebihna kawula
sangking bebaya lan kedadosan hingkang awon.
2.
Krisis Moral Spiritual
Krisis moral-spiritual yang menimpa bangsa
Indonesia bermula dari memudarnya perhatian manusia terhadap nilai-nilai moral
dan spiritual sehingga pemahaman, praktek dan amal dari nilai-nilai luhur
budaya spiritual dalam masyarakat mengalami kemunduran yang makin lama makin
besar. Keadaan ini terjadi karena peradaban masyarakat-bangsa digempur
habis-habisan oleh orientasi faham kebendaan yang mengabaikan nilai-nilai moral
dan nilai-nilai budaya spiritual terutama kepada generasi penerus bangsa. Faham
kebendaan yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan hidup individu
sesaat dan duniawi, dan mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan rokhaniah,
moral dan spiritual, mendorong manusia terjerembab ke dalam jurang kenistaan
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Faham-faham pemenuhan kebutuhan
dan kepentingan pribadi dapat kita saksikan melalui makin besarnya jumlah kasus-kasus
kegiatan tak bermoral dan bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan luhur
budaya spiritual yang mengajak orang untuk selalu ”damai” dan ”tentram.”
Belakangan ini makin sering kita saksikan para pemuka masyarakat, tokoh politik dan tokoh pemerintahan yang terlibat dalam perilaku tidak terpuji, tidak luhur dan tidak senonoh, misalnya dengan skandal-skandal suap-menyuap dan korupsi, kolusi dan nepotisme (kkn). Para pemimpin masyarakat dan bangsa yang seharusnya menjadi tauladan dan model manusia insan kamil malahan memberikan dan membangun citra yang amat buruk bagi bangsanya lantaran menjauhi pengamalan nilai-nilai luhur bangsanya. Melihat kondisi demikian, kiranya tepat jika kita terus-menerus berupaya untuk memberdayakan dan mengamalkan nilai-nilai luhur budaya spiritual bangsa.
Belakangan ini makin sering kita saksikan para pemuka masyarakat, tokoh politik dan tokoh pemerintahan yang terlibat dalam perilaku tidak terpuji, tidak luhur dan tidak senonoh, misalnya dengan skandal-skandal suap-menyuap dan korupsi, kolusi dan nepotisme (kkn). Para pemimpin masyarakat dan bangsa yang seharusnya menjadi tauladan dan model manusia insan kamil malahan memberikan dan membangun citra yang amat buruk bagi bangsanya lantaran menjauhi pengamalan nilai-nilai luhur bangsanya. Melihat kondisi demikian, kiranya tepat jika kita terus-menerus berupaya untuk memberdayakan dan mengamalkan nilai-nilai luhur budaya spiritual bangsa.
3. Pembinaan Nilai-Nilai Luhur Budaya Spiritual
Banyak ajaran dan nilai moral-spiritual Jawa
berharga yang sampai sekarang dihayati dan diyakini menjadi bagian dari
kebudayaan luhur bangsa Jawa, yang disampaikan melalui ujaran, nasehat, pitutur
dan ucapan sehari-hari, tapi dilupakan dan diabaikan keluhurannya oleh para
pemimpin kita. Dalam keadaan bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap seperti
ini, upaya-upaya penanaman watak dan pekerti bangsa, melalui pembinaan dan
pengamalan nilai-nilai luhur budaya spiritual bangsa, kiranya sangat mendesak
untuk diselenggarakan. Sebagai bangsa kita sangat kaya akan nilai-nilai luhur
budaya spiritual yang merupakan daya hidup masyarakat kita yang hidup selama
berabad-abad dan telah teruji sebagai kekuatan budaya masyarakat. Beberapa
nilai yang sering menjadi ungkapan dan pengamalan dalam kehidupan luhur antara
lain sebagai berikut.
(1) Memayu Hayuning Bawana.
”Menjaga keselamatan atau keselarasan dunia.” Manusia sebagai khalifah,
makhluk utusan Sang Khalik Yang Maha Wenang, diutus ke dunia bukan untuk
merusaknya melainkan menjaganya untuk kemaslahan hidupnya dan keturunannya.
Nilai luhur ini pada saat ini memudar dengan bukti diabaikannya kaidah-kaidah
utama bagi manusia untuk menjaga kelestarian alam. Watak dan pekerti bangsa
harus diperbaiki lagi dengan pemberdayaan kesadaran bahwa menjaga alam adalah
menyelaraskan hubungan tidak saja antara manusia dengan manusia melainkan juga
antara manusia dan alam sekitarnya, lingkungannya, baik lingkungan jauh maupun
dekat. Jika watak dan pekerti tidak terpuji berlanjut dengan terus-menerus
merusak alam, menebangi pepohonan, mencemari udara, tanah, sungai, dan lautan,
tentulah akibatnya dirasakan oleh manusia juga. Terutama para pemimpin yang
mendapatkan amanah bidang lingkungan hidup harus terus berpikir dan mengamalkan
watak dan pekerti luhur bangsa yang mengutamakan keserasian hubungan antara
manusia dan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pemimpin yang
demikian akan memperkuat nilai-nilai luhur budaya spiritual dalam upaya
penanaman watak dan pekerti bangsa yang utama. Penderitaan rakyat kurang-lebih
sebagai akibat dari tingkah-laku para pemimpinnya. Oleh sebab itu, perilaku
adil dan anti korupsi lingkungan harus menjadi pedoman para pemimpin agar
rakyat tidak berkubang dalam penderitaan bangsa.
(2) Sabda Pandito Ratu
”Sabda/ucapan atau janji Raja atau Pemimpin.” Ajaran dan nilai luhur
budaya spiritual ini disampaikan untuk mengingatkan pemimpin agar selalu
memegang ucapan dan memenuhi janji yang pernah disampaikan di hadapan publik
atau rakyat. Seorang pemimpin diharapkan berhati-hati dalam mengucapkan janji,
karena ucapan Raja/pemimpin adalah hukum dan aturan yang harus dilaksanakan,
dipatuhi dan dipenuhi. Apabila seorang pemimpin menyampaikan ucapan atau janji
dan tidak dapat melaksanakannya maka dia tidak dipercaya lagi sebagai pemimpin.
Akibatnya, rakyat protes, berunjuk rasa, menagih janji dengan pepe (memanggang
diri) di alun-alun sampai sang Raja/pemimpin memberikan tanggapan.
(3) Idu Geni atau ndilat idune dewe
”Ludah api” atau ”menjilat ludah yang sudah dilepas” menyarankan wujud
kesaktian ucapan atau janji pemimpin atau orang berpengaruh yang sudah
terlanjur diucapkan jangan sampai ditarik kembali. Menjilat ludah sendiri
dipandang sebagai sikap nista yang nggawe wirang (memalukan) atau
mirang-mirangake (mempermalukan diri sendiri) bagi pemimpin Jawa. Oleh sebab
itu, pemimpin yang berbudi luhur tidak akan menarik ucapan atau janji yang
sudah dilontarkan, dan janji
itu harus dipenuhi, apapun risikonya.
(3) Eling lan waspada: Aja Dumeh dan
Aji Mumpung, (Jalma tan Kena Kinira: Aja Adigang, Adigung, Adiguno).
Kepada orang-orang Jawa yang menghayati nilai-nilai luhur budaya
spiritual agar terbangun watak dan pekerti utama selalu dipesankan untuk selalu
“ingat dan waspada” akan diri dan tugas hidupnya, agar menjadi manusia yang
paling beruntung. Sekarang ini banyak pemimpin masyarakat yang jauh dari sikap
eling lan waspada: mereka tidak ingat terutama dalam mengelola hak rakyat
sehingga menjadi manusia yang dipenjara nalurinya dan dapat berakibat dipenjara
sesungguhnya secara fisik. Oleh masyarakat mereka sudah diingatkan dengan
memasang ujaran di dinding-dinding rumah keluarga-keluarga: Aja dumeh (jangan
sewenang-wenang) dan jangan berpedoman Aji mumpung (selagi berkuasa).
Sikap-sikap bawaan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya spiritual sering masíh menjadi pedoman hidup sebagian pemimpin dan pemuka masyarakat kita, seperti adigang, adigung, adiguna (besar kepala, megalomania, arogan, keminter, sok berkuasa) dapat mencelakakan diri sendiri, lingkungan dan masyarakatnya, di masa keterbukaan, penegakan hukum, dan keteguhan perjuangan wong cilik melawan wong gedhe (juga hubungan Gusti-kawula) tumbuh dan berkembang oleh demokratisasi dan reformasi. Jalma tan kena kinira: LSM, rakyat, paguyuban, terus menyoroti, mewaspadai, dan bertindak untuk menyikapi para pemimpin yang jauh dari budi luhur.
Sikap-sikap bawaan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya spiritual sering masíh menjadi pedoman hidup sebagian pemimpin dan pemuka masyarakat kita, seperti adigang, adigung, adiguna (besar kepala, megalomania, arogan, keminter, sok berkuasa) dapat mencelakakan diri sendiri, lingkungan dan masyarakatnya, di masa keterbukaan, penegakan hukum, dan keteguhan perjuangan wong cilik melawan wong gedhe (juga hubungan Gusti-kawula) tumbuh dan berkembang oleh demokratisasi dan reformasi. Jalma tan kena kinira: LSM, rakyat, paguyuban, terus menyoroti, mewaspadai, dan bertindak untuk menyikapi para pemimpin yang jauh dari budi luhur.
(5) Ber budi bawa Laksana, Rame ing Gawe – Sepi ing Pamrih
Sebaliknya, Ber budi bawa Laksana, sikap dan sifat
yang mencerminkan budi luhur dan mulia: egaliter, ramah, murah hati, berhati
nurani, suka memperhatikan dan mendahulukan kepentingan pihak yang dipimpin,
menjadi dambaan rakyat dalam mencapai ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan
bagi semuanya. Sikap dan sifat demikian menjadikan seseorang pemimpin yang
sempurna, dambaan masyarakat, dengan pedoman perilaku Rame ing Gawe – Sepi ing
Pamrih (Rajin bekerja dan berjuang tanpa ingin dipuji), sehingga semua
kebijakan dan keputusan politik dan pemerintahan publik yang dicapai
berorientasi kepada amanat rakyat atau yang dipimpin.
4. Penutup
Dengan memberdayakan dan mengamalkan ajaran-ajaran
yang mengandung nilai-nilai luhur dari khasanah budaya spiritual Jawa baik
berupa anjuran, peringatan maupun perintah kiranya upaya-upaya penanaman watak
dan pekerti bangsa yang utama akan bermanfaat bagi kemaslahatan rakyat dan
bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment