Materi Sarasehan
PEMBUATAN KONSERVASI
DAN FILOSOFI WAYANG KULIT
Oleh : Djoko Langgeng
Pembuatan
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau/
sapi yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, yang kemudian di corek/ atau digambar sesuai dengan tokoh
wayang yang diinginkan. yang kemudian ditatah menggunakan besi berujung runcing
berbahan dari baja yang berkualitas baik yang disebut tatah. Tatah wayang kulit
ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing,
pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya
berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, tatahan wayang
adalah bentuk tatahan yang sudah menjadi aturan untuk pembuatan wayang. Setelah
selesai di tatah selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti
tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara
menyambungnya dengan gegel, gegel
biasanya nterbuat dari kulit, tulang, logam atau menggunakan tali biasa. Setenlah
itu baru melakukan penyunggingan atau
pengecatan.pengecatan dilakukan sesuai dengan aturan penyunggingan wayang yang
disesuaikan dengan tokoh wayang yang ada. Setelah selesai baru di lakukan penggapitan. Untuk gapit biasayang
terbuat dari tanduk kerbau, bambu atau kayu.
Peralatan Yang Digunakan untuk menatah wayang kulit
1.
Pandukan, yaitu landasan tatah yang terbuat dari kayu asem
atau kayu sawo.
2.
Tindih yaitu logam seberat sekitar 2,5 Kg, biasanya
terbuat dari kuningan, namun terkadang juga ada yang terbuat dari besi. Tindih
berfungsi untuk menekan atau memberati wayang kulit yang sedang ditatah.
Sehingga kulit tidak bergeser kesana kemari sehingga hasilnya pun bagus.
3.
Tatah merupakan alat yang paling penting dalam proses
tatah wayang kulit. Setidaknya harus tersedia 20 macam tatah dalam pembuatan
wayang kulit ini. Namun pada dasarnya tatah bisa dibagi menjadi dua golongan yaitu
tatah lurus dan tatah lengkung. Tatah yang mata tatahnya lurus terdapat
berbagai ukuran mulai dari kecil, sedang dan besar sedangkan tatah lengkung ada
pembubuk, bubuk iring, patran, rambutan, mas masan, gubahan dan tatah untuk
sembulian.
4.
Ganden yaitu semacam palu besar yang terbuat dari kayu
(biasanya dari kayu asem atau sawo).
Selain peralatan utama di atas, ada beberapa peralatan
tambahan yang digunakan diantaranya adalah jangka, paku corekan, pensil, mistar
atau penggaris, penghapus dan batu asahan.
Sunggingan
wayang kulit
Cara menyungging Wayang Kulit dengan
cara menerapkan warna pada bidang-bidang sungging wayang kulit seperti pada jamang,
makutho, sumping, uncal, praba, sembuliyan, dodot (jarik), sonder, kalung,
kelatbau, gelang, dan sebagainya. untuk menyungging bagian sembuliyan
disungging dengan tlacapan, keongan, atau sawutan, sonder dan tali praba dengan
unsur sungging bludiran, bagian celana menggunakan sunggin cinden, sedangkan
dodot atau kampuh disungging dengan motif-motif kain seperti parang, semen,
atau kawung dan seterusnya. Penerapan warna itu dengan menggunakan sistem
gradasi.
Konservasi
Wayang Kulit
Perawatan dan perbaikan pada wayang sangat diperlukan
untuk menjaga dan memperbaiki wayang-wayang yang termakan oleh jaman. Karena
wayang merupakan benda yang sangat sensitif terhadap cuaca dan suhu. Oleh
karena itu, sangat rawan terhadap air, kelembapan, jamur, udara, suhu. perawatan
yang paling sering adalah pada gapit dan kulit wayang. Gapit yang semuanya
terbuat dari tanduk kerbau bisa bengkokdan kulit bisa berjamur karena cuaca yang bisa merusak wayang itu sendiri. begitu juga
dengan jamur. merusak warna dan kualitas dari wayang itu sendiri. bagaimana
jika sudah terkena jamur? Salah satu caranya adalah dengan
menyikat dengan sikat halus. Karena wayang biasanya sudah dilapisi
dengan pernis atau dikenal dengan istilah di dus. Sehingga
cukup bisa melapisi dan menjaga warna wayang dalam
waktu tertentu. sedangkan gapit wayang bila cara menata wayangnya salah gapit
bisa tertekuk, patah, wayang menjadi tidak rata atau molet dalam istilah jawa. Penangananya yaitu dengan cara, wayang
kulit perlu di angin-anginkan minimal 2 atau 4 minggu sekali. dibuat seperti
pemepe tapi sekedar untuk angin-angin saja. agar tidak lembab.
Filosofi Wayang Kulit
Filsafat dan wayang,
keduanya tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang wayang berarti kita
berfilsafat. Wayang adalah filsafat Jawa. Karena wayang mengambil
ajaran-ajarannya dari sumber sistem-sistem kepercayaan, wayang pun menawarkan
berbagai macam filsafat hidup yang bersumber pada sistem-sistem kepercayaan
tersebut, yang dari padanya dapat kita tarik suatu benang merah filsafat
wayang.
- Tujuan Hidup Manusia
Hidup haruslah berdasarkan kepada
apa yang dinamakan kebenaran. Dan menurut wayang, “kebenaran sejati” hanyalah
datang dari Tuhan. Untuk mendapatkan ini, manusia harus dapat mencapai
“kesadaran sejati” dan memiliki “pengetahuan sejati” . Untuk itu, manusia harus
dapat melihat “kenyataan sejati” dengan melakukan dua hal. Pertama,
mempersiapkan jiwa raganya sehingga menjadi manusia yang kuat dan suci, dan
kedua memohon berkah Tuhan agar dirinya terbuka bagi hal-hal tersebut (tinarbuka).
Dimaksudkan terbuka di sini
adalah, sesuatu yang dicapai bukan melulu dari kekuatan penalaran atau rasio.
Saat rasio terhenti, untuk mencapai kebenaran sejati, manusia harus menggunakan
“rasa sejati” melalui mistik. Jika filsafat oleh orang Barat dilakukan atas
dasar rasio semata (akal, budi, pikiran, nalar), maka bagi dunia kejawen
pengkajian kebenaran dilakukan melalui rasio plus indera batin. Inilah bedanya
antara “ilmu” dan “ngelmu”. Dengan mistis, manusia dapat melihat
“kenyataan sejati” tentang dirinya, asal mula diri dan kehidupannya, yang semua
itu dirangkum dalam ajaran “sangkan paraning dumadi” (asal mula dan
akhir kehidupan manusia).
Wayang semacam “Kitab
Undang-undang Hukum Dharma” yang menuntun manusia dalam meniti jalan kehidupan
antara “sangkan” (asal) dan “paran” (tujuan) menuju yang abadi
(Tuhan). UU Dharma itu tidak dituang dalam berbagai bab, pasal, dan ayat
sebagaimana UU Hukum Kenegaraan,malainkan terjalin dalam serangkaian
kisah-kisah simbolik yang menarik semacam “dharmakathana” atau “dharmmasarwacastra”
yang menggambarkan pertarungan dua kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia.
Kekuatan napsu rendah, keangkaramurkaan yang menuju kepada kemungkaran (hidup
sesat, urip sasar-susur), dan satu lagi kekuatan konstruktif
(napsu luhur, keutamaan) yang mengangkatnya kepada kebenaran. Sebagai pasemon,
perlengkapan wayang seperti kotak kelir, blencong, dan dalang yang
digunakan dalam pertunjukan wayang, juga mengandung nilai filosofi tentang ilmu
sangkan paraning dumadi. Kelir melambangkan jagad kang gumelar,
blencong sebagai surya yang meneranginya, wayang diperjalankan oleh
dalang yang melambangkan Gusti, sementara kotak sebagai alam baka setelah
berkiprah di jagad “pakeliran”. Seni pertunjukan wayang itu sendiri, juga
mengandung nilai filosofi. Sebagai contoh, gending-gending pembukaan (talu)
yang mengawali sebuah pergelaran wayang, sudah dibakukan jenis dan urutannya.
Gending patalon itu terdiri dari Cucur bawuk, dilanjutkan Pare
Anom, Ladrang Srikaton, Ketawang Sukmailang, naik ke Gending
Ayak-ayakan Manyura dan Srepegan Manyura, dan dipungkasi Gending Manyura.
Gending patalon ini melambangkan suatu tataran tingkat kehidupan manusia, atau
penjelmaan zat. Gending patalon ditabuh sebelum pertunjukan sebagai lambang
penjelmaan zat sebelum manusia lahir di alam kehidupan nyata. Ini berarti,
rancangan tataran tingkat kehidupan manusia sudah ada terlebih dulu di zaman
alam baka.
Ketauladanan dalam
Wayang Kulit
Manusia sebagai
makhluk batas antara kedua kekuatan yang berlawanan, selalu diharapkan kepada
suatu pilihan yang dilematis, yakni konflik dengan dirinya sendiri. Di sini,
terserah kepada manusia sendiri jalan mana yang dipilihnya, dengan resiko
masing-masing. Dalam menghadapi dualisme demikian ini, manusia memerlukan
pemimpin yang dianggap bisa membimbing dan menuntunnya menuju jalan yang benar
menurut ajaran dharma yang berlaku dan dianutnya.
Ada beberapa tokoh
pewayangan yang bisa dijadikan pemimpin atau panutan bagi manusia hidup di
dunia. Uniknya, dalam sistem filsafat perwayangan, tokoh pemimpin sentralnya
ternyata bukanlah seorang raja yang menjadi pahlawan dalam sebuah lakon seperti
Sri Ramawijaya, Prabu Basukarna, Sri Kresna, Prabu Suyudana, atau Bathara Guru.
Lalu siapa? Kiai Semar Badranaya sang panakawan (punakawan). Para panakawan
adalah sahabat-sahabat yang arif. Mereka selalu mengabdi kepada kesatria yang
berbudi luhur, dari pihak yang memperjuangkan kebenaran dan keagungan.
Semar adalah tokoh
Panakawan asli bangsa Indonesia sejak 2500 tahun lalu. Tetapi dalam kisah
perwayangan, Semar adalah Bathara Ismaya. Dewa ini turun ke bumi di
Karangkedhempel dengan misi suci mengabdi kepada manusia yang berbudi luhur.
Istilah Jawanya, “dewa ngawula kawula kang ngawula dewa’, dewa mengabdi
manusia yang beriman kepada Tuhannya. Jika nabi dari rasul adalah pemimpin yang
mendasarkan kepemimpinannya atas ajaran Kitab Suci, Semar kepemimpinannya atas
kelima prinsip “sangkan paraning dumadi”. Semar lebih banyak berada di
belakang layar sebagai panakawan (abdi, batur) yang selalu “tut wuri
handayani’. Karena itu, siapa saja yang diemong Semar (yang berarti iman
kepada Tuhan), akan memperoleh kejayaan. Sebagai pasemon, Semar melambangkan
kesadaran kita yang paling dalam, yakni rasa eling (ingat). Rasa eling
inilah yang memimpin kita meniti jalan kehidupan kita antara sangkan dan
paran menuju “Yang Abdi”. Rasa eling ini diharapkan senantiasa
melindungi kita dari goda dan bencana. Jika dalam menghadapi kemelut apapun dan
sebesar apapun, kita selalu eling dan waspada, maka kita akan aman dan rahayu
slamet nir sambekala.
PROFIL KI DJOKO LANGGENG
Ki Djoko Langgeng adalah
keturunan trah dalang dari Klaten. Djoko Langgeng adalah anak dari
pasangan seniman dalang yaitu Ki Gondo Tukasno dengan Ibu Subini, dari
Manjungan, Ngawen Klaten Jawa Tengah, Djoko Langgeng mempunyai nama lain yaitu
Djoko Adi Carito, Djoko Langgeng Soedarsono, dan Djoko Langgeng Suryo Alam. Ia
dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1953. Pada masa remaja ia pernah tinggal
bersama Ki Dalang Wiro Warsono (Mbah Soran), karena Ki Dalang Wiro Warsono (Mbah
Soran) masih kakak dari kakeknya yang bernama Ki Dalang Harjo Martono dari
Kwiran Klaten, Ia juga pernah nyantrik untuk belajar ndalang di desa Samber,
Kabupaten Klaten di rumahnya Ki Dalang Puspo Carita, Beliau adalah
adik Ibunya Djoko langgeng yang bernama Ibu Subini, karena Ia lama nyantrik
disana maka Ia mencintai anak Ki Puspo Carita yang akhirnya Djoko Langgeng
menikah dengan anaknya yang pertama bernama Endang Sutarmi.
Pada
waktu menikah Djoko Langgeng beserta istri nyantrik di Semarang dengan Ki
Dalang Slamet, istri Ki Dalang Slamet adalah kakak ayahnya yaitu Ki Dalang
Gondo Tukasno. setelah beberapa lama Djoko Langgeng mulai hidup sendiri dengan
keluarganya di Desa Gumuk, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah
dan mulai kariernya sebagai seorang dalang dan istrinya sebagai sinden. Mulai
tahun 1989 Djoko Langgeng pindah tempat ke Dusun Sumber, Desa Tiru Kidul, Kec.
Gurah, Kab. Kediri, Provinsi Jawa Timur sampai sekarang.