Search This Blog

15 Jun 2025

HIBAH KEBUDAYAAN DAN TANTANGAN BIROKRASI: Bagaimana Meningkatkan Efektivitas Pendampingan Pokmas?

 HIBAH KEBUDAYAAN DAN TANTANGAN BIROKRASI: Bagaimana Meningkatkan Efektivitas Pendampingan Pokmas?


Oleh: Adiyanto, S.Sn, M.MPd

Pamong Budaya Ahli Muda Disbudpar Jatim

Hibah kebudayaan merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah dalam menjaga dan mengembangkan seni serta tradisi lokal. Di Jawa Timur, program hibah kebudayaan telah menjadi instrumen penting bagi kelompok masyarakat (Pokmas) dalam menjalankan berbagai kegiatan seni budaya. Dengan adanya hibah ini, Pokmas dapat memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk sarana dan prasarana pelestarian kesenian seperti Gamelan, pakaian tari, Reog jaranan, kostum seni dan yang lainnya.

Namun, dalam praktiknya, berbagai tantangan masih kerap muncul, terutama terkait dengan birokrasi dan efektivitas pendampingan Pokmas. Proses hibah yang seharusnya menjadi stimulus bagi masyarakat justru sering kali menjadi beban administratif yang cukup berat. Mulai dari kesalahan dalam proposal, penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang tidak sesuai, kesulitan belanja barang setelah pencairan, hingga keterlambatan laporan pertanggungjawaban (LPJ), semua ini menjadi permasalahan yang menghambat efektivitas hibah kebudayaan.

Salah satu faktor utama penyebab permasalahan ini adalah minimnya pemahaman Pokmas terhadap prosedur administrasi yang berlaku. Sebagian besar Pokmas bukanlah entitas yang terbiasa dengan tata kelola anggaran pemerintah, sehingga banyak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif. Kurangnya sosialisasi dan bimbingan dari pihak terkait.

Di sisi lain, regulasi yang berlaku dalam penyaluran hibah kebudayaan sering kali dianggap terlalu ketat dan tidak fleksibel. Hal ini menyebabkan banyak Pokmas mengalami hambatan sejak tahap awal, seperti dalam penyusunan proposal dan pencairan dana. Dengan berbagai kendala ini, dampak hibah kebudayaan yang seharusnya optimal menjadi kurang maksimal

Dalam konteks ini, pendampingan yang efektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa Pokmas dapat memanfaatkan hibah secara optimal. Tanpa adanya sistem pendampingan yang baik, hibah kebudayaan berpotensi menjadi sekadar program administratif yang tidak benar-benar berdampak pada pelestarian budaya. Oleh karena itu, perlu adanya solusi konkret untuk meningkatkan efektivitas pendampingan dan memperbaiki sistem birokrasi hibah kebudayaan.

Berbagai tantangan yang dihadapi dalam program hibah kebudayaan, pentingnya pendampingan yang lebih intensif, serta langkah-langkah solutif yang dapat diambil untuk meningkatkan efektivitas program Hibah, dapat benar-benar menjadi instrumen yang bermanfaat bagi masyarakat dalam melestarikan budaya lokal.

Dalam konteks ini, pendampingan efektif diperlukan agar Pokmas dapat memanfaatkan hibah dengan baik. Tanpa pendampingan yang memadai, program hibah kebudayaan hanya akan menjadi prosedur administratif yang tidak memberikan dampak signifikan bagi pelestarian budaya.

Birokrasi yang Rumit dan Kendala Teknis

Hibah kebudayaan harus mengikuti prosedur ketat demi transparansi dan akuntabilitas. Namun, sistem birokrasi sering kali menjadi hambatan bagi Pokmas. Banyak proposal yang diajukan masih keliru atau perlu revisi karena kurangnya pemahaman terhadap format yang sesuai dengan regulasi. Kesalahan ini menyebabkan keterlambatan pencairan dana.

Dalam penyusunan RAB, masih banyak Pokmas yang menetapkan harga yang tidak sesuai dengan standar pasar, sehingga memerlukan revisi berulang. Selain itu, setelah dana dicairkan, Pokmas sering mengalami kesulitan dalam belanja barang karena harga di lapangan berbeda dengan yang tertera di RAB, kurangnya pemahaman prosedur pengadaan, serta kendala administratif.

Regulasi pengadaan barang yang kurang fleksibel juga menjadi masalah. Pokmas harus mengikuti prosedur ketat, termasuk dalam pemilihan penyedia barang dan pelaporan transaksi, yang menjadi beban administratif bagi mereka. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap regulasi hibah kebudayaan agar lebih fleksibel tanpa mengurangi transparansi.

Pentingnya Pendampingan yang Lebih Intensif

Pendampingan terhadap Pokmas menjadi aspek krusial dalam efektivitas hibah kebudayaan. Pendampingan sebaiknya dimulai sejak tahap awal, terutama dalam penyusunan proposal dan RAB. Dengan adanya fasilitator aktif, kesalahan dapat diminimalisir sehingga tidak perlu melalui proses revisi yang panjang.

Selain itu, Pokmas perlu mendapatkan bimbingan dalam tata cara pengadaan barang agar sesuai aturan yang berlaku. Proses penyusunan LPJ juga memerlukan sistem pendampingan agar tidak mengalami keterlambatan. Solusi yang dapat diterapkan adalah penyederhanaan format LPJ dan penyediaan template standar yang mudah dipahami.

Peran pemerintah daerah dalam mendampingi Pokmas harus lebih aktif. Pendampingan tidak hanya dilakukan di awal program tetapi harus berlanjut hingga implementasi dan pelaporan hibah. Diperlukan tenaga pendamping profesional dari pemerintah daerah, akademisi, atau pihak lain yang memahami tata kelola hibah kebudayaan.

Pendampingan yang intensif dan berkelanjutan memastikan hibah kebudayaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Dengan bimbingan yang tepat, Pokmas tidak hanya dapat menjalankan program dengan baik tetapi juga meningkatkan kapasitas dalam tata kelola keuangan dan administrasi.

Solusi untuk Meningkatkan Efektivitas Hibah Kebudayaan

Peningkatan efektivitas hibah kebudayaan memerlukan sejumlah perbaikan dalam sistem pendampingan dan regulasi. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan kapasitas Pokmas dalam penyusunan proposal. Pelatihan teknis diperlukan agar mereka memahami tata cara penyusunan proposal yang benar.

Pendampingan dalam penyusunan RAB juga harus diperkuat. Kesalahan dalam RAB sering kali menyebabkan keterlambatan pencairan dana, sehingga Pokmas tidak dapat segera melaksanakan kegiatan budaya. Pemerintah juga perlu menyediakan daftar vendor atau penyedia barang yang terpercaya agar Pokmas tidak mengalami kendala dalam pengadaan barang.

Selain itu, pengawasan yang lebih fleksibel dan responsif harus diterapkan. Verifikasi dan pengawasan terhadap penggunaan dana hibah tidak boleh hanya bersifat administratif tetapi juga memberikan solusi bagi Pokmas yang mengalami kendala di lapangan. Evaluasi rutin harus dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan dan mencari solusi lebih efektif.

Digitalisasi sistem administrasi hibah menjadi langkah penting untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Proses pengajuan proposal, pencairan dana, hingga pelaporan LPJ sebaiknya dilakukan secara digital. Dengan adanya sistem digital, Pokmas dapat lebih mudah mengakses informasi dan memantau perkembangan proses hibah secara real-time.

Refocusing Anggaran dan Efisiensi Hibah Kebudayaan

Dalam menghadapi kebijakan refocusing anggaran sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, program hibah kebudayaan perlu menyesuaikan diri agar tetap berjalan secara efektif meskipun dengan keterbatasan sumber daya. Salah satu langkah strategis adalah memastikan bahwa hibah dialokasikan secara lebih selektif dan tepat sasaran, dengan memprioritaskan kegiatan yang memiliki dampak nyata terhadap pelestarian seni dan budaya. Proses seleksi yang lebih ketat harus diterapkan untuk memastikan bahwa Pokmas yang benar-benar siap dan memiliki kapasitas administratif yang baik dapat mengakses dana hibah, sehingga program yang dijalankan tidak hanya sebatas pelaksanaan seremonial tetapi juga memiliki nilai keberlanjutan bagi masyarakat.

Selain itu, dalam situasi refocusing, efisiensi birokrasi harus menjadi perhatian utama. Penyederhanaan prosedur administrasi tanpa mengurangi transparansi perlu menjadi prioritas agar Pokmas tidak terbebani dengan persyaratan yang terlalu kompleks. Digitalisasi dalam sistem hibah, mulai dari pengajuan proposal, pencairan dana, hingga pelaporan pertanggungjawaban, harus segera diterapkan untuk mengurangi kendala teknis yang selama ini menjadi hambatan utama. Dengan sistem yang lebih sederhana dan berbasis digital, pengelolaan hibah kebudayaan dapat dilakukan secara lebih cepat, akurat, dan akuntabel.

Selain reformasi dalam aspek administrasi, pendampingan yang lebih efektif dengan sumber daya yang terbatas juga menjadi tantangan dalam kebijakan refocusing. Oleh karena itu, perlu diterapkan strategi pendampingan berbasis komunitas, di mana Pokmas yang telah berpengalaman dapat menjadi mentor bagi Pokmas lain yang baru mengakses hibah. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi pelatihan daring atau menyediakan modul panduan standar agar Pokmas lebih mandiri dalam mengelola dana hibah. Dengan pendekatan ini, efektivitas pendampingan dapat tetap terjaga meskipun dengan keterbatasan tenaga pendamping yang tersedia.

Lebih lanjut, dalam kondisi refocusing, pengawasan terhadap hibah kebudayaan juga harus diperkuat dengan sistem evaluasi berbasis kinerja. Selain mengandalkan laporan administratif, perlu dilakukan monitoring berbasis dampak nyata di lapangan untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar berkontribusi dalam pelestarian budaya. Fleksibilitas dalam regulasi pengadaan barang juga perlu dipertimbangkan, agar Pokmas tidak mengalami kendala teknis yang justru dapat menghambat kelancaran pelaksanaan program. Dengan reformasi yang tepat, hibah kebudayaan dapat tetap menjadi instrumen yang efektif dalam mendukung pelestarian budaya, meskipun dalam kondisi keterbatasan anggaran akibat refocusing.

Kesimpulan

Hibah kebudayaan merupakan instrumen penting dalam menjaga kelestarian seni dan budaya daerah. Namun, tanpa sistem pendampingan yang baik dan birokrasi yang efisien, banyak Pokmas mengalami kendala administratif yang dapat menghambat efektivitas program. Oleh karena itu, peningkatan efektivitas pendampingan, penyederhanaan regulasi, serta pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan hibah menjadi langkah penting agar hibah kebudayaan benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal.

Dalam konteks kebijakan refocusing anggaran yang diberlakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, diperlukan penyesuaian dalam mekanisme hibah agar tetap relevan dan berdampak nyata. Selektivitas dalam pemberian hibah, efisiensi birokrasi melalui digitalisasi, serta strategi pendampingan yang inovatif menjadi kunci utama dalam mempertahankan keberlanjutan program hibah kebudayaan. Selain itu, sistem evaluasi berbasis kinerja harus diperkuat agar penggunaan dana hibah tidak hanya memenuhi aspek administratif tetapi juga memberikan dampak nyata bagi pelestarian budaya.

Dengan reformasi yang tepat, hibah kebudayaan dapat tetap menjadi solusi efektif dalam upaya pelestarian budaya di Jawa Timur dan dapat menjadi model bagi daerah lain di Indonesia. Pemerintah, akademisi, dan komunitas budaya perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem hibah yang lebih transparan, efisien, dan berkelanjutan demi mendukung pengembangan seni dan budaya lokal di tengah tantangan kebijakan refocusing anggaran.


https://cakdurasim.com/artikel/hibah-kebudayaan-dan-tantangan-birokrasi-bagaimana-meningkatkan-efektivitas-pendampingan-pokmas

KOLABORASI MEMBANGUN EKOSISTEM SENI JAWA TIMUR: ANTARA HARAPAN DAN UPAYA NYATA

KOLABORASI MEMBANGUN EKOSISTEM SENI JAWA TIMUR: ANTARA HARAPAN DAN UPAYA NYATA

Oleh: Adiyanto, S.Sn, MM

Pamong Budaya Ahli Muda Disbudpar Jatim


Ekosistem seni dan budaya di Jawa Timur tak henti menjadi topik diskusi, menghadirkan berbagai perspektif tentang perkembangannya. Adalah hal yang wajar dalam iklim demokrasi untuk adanya suara-suara yang menyuarakan pandangan kritis, yang seyogianya diterima sebagai masukan berharga demi perbaikan dan kemajuan bersama di bidang kebudayaan. Artikel ini hadir untuk meluruskan dan memperkaya narasi, menyajikan gambaran utuh tentang upaya-upaya yang telah dan sedang berjalan dalam menjaga serta mengembangkan kesenian Jawa Timur.

Pemanfaatan pihak ketiga seperti event organizer (EO) dalam penyelenggaraan acara budaya, bertujuan untuk memastikan efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara. Setiap kegiatan yang didanai oleh APBD wajib dipertanggungjawabkan secara administratif dan hukum. Dengan melibatkan EO, pelaksanaan kegiatan sesuai dengan prosedur pengadaan barang dan jasa pemerintah serta aturan keuangan yang berlaku. Kehadiran EO meminimalisir potensi penyalahgunaan anggaran oleh pihak internal, karena seluruh pelaksanaan teknis, transaksi keuangan, dan laporan pertanggungjawaban menjadi tanggung jawab mitra eksternal yang diawasi oleh pihak dinas. Substansi dan konsep artistik acara tetap berasal dari kurator, seniman, dan pelaku budaya, sementara EO menjalankan fungsi manajerial dan teknis lapangan. Model kemitraan ini dianggap lebih efisien dan mengurangi risiko korupsi dibanding pengelolaan acara secara internal yang rawan konflik kepentingan.

Selain itu, keberadaan EO juga memiliki kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kreatif. Industri event, di mana EO menjadi pemain utamanya, merupakan salah satu sektor vital yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi berbagai profesi, mulai dari desainer, teknisi, pengisi acara, hingga pekerja logistik. Melalui berbagai acara yang diselenggarakan, EO tidak hanya menyediakan hiburan, tetapi juga mempromosikan produk dan budaya lokal kepada audiens yang lebih luas, merangsang perputaran ekonomi di sektor pariwisata, kuliner, fesyen, dan industri kreatif lainnya. Berbagai studi menunjukkan bahwa sektor ekonomi kreatif, termasuk di dalamnya industri event, memberikan sumbangan yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dan daerah, serta memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. (Sumber: Kementerian Luar Negeri RI, Berbagai Jurnal Penelitian Ekonomi Kreatif di Indonesia).

Dukungan anggaran langsung juga disalurkan melalui dana hibah kesenian kepada sanggar, kelompok masyarakat (pokmas), lembaga pendidikan seni, dan Dewan Kesenian. Dana hibah ini diperuntukkan bagi pengadaan alat-alat kesenian, penyelenggaraan pendidikan dan kegiatan seni, serta penguatan kelembagaan komunitas budaya. Dalam pelaksanaannya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur kini menerapkan pendampingan intensif agar hibah tepat sasaran, dengan memfasilitasi bimbingan dalam perencanaan hingga pelaporan penggunaan dana. Langkah ini merupakan respons proaktif atas berbagai kasus penyelewengan hibah di masa lalu. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur bekerja sama dengan Inspektorat dan Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengawal hibah, memastikan penggunaannya sesuai peruntukan. Upaya preventif ini menunjukkan komitmen terhadap potensi penyalahgunaan anggaran kebudayaan.

Di bidang pelestarian budaya, Jawa Timur termasuk provinsi yang paling aktif mengusulkan Warisan Budaya Takbenda (WBTb) ke pemerintah pusat. Hingga tahun 2024, Jawa Timur telah memiliki lebih dari 100 karya budaya yang ditetapkan sebagai WBTb Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, pada ajang Anugerah Warisan Budaya Indonesia 2024, sebanyak 13 karya budaya disetujui dan ditetapkan menjadi WBTb nasional. Prestasi ini tidak lepas dari peran tim ahli, akademisi, dan pegiat budaya lokal yang bekerja sama dalam mendokumentasikan dan mengusulkan warisan-warisan leluhur. Di aspek cagar budaya atau warisan benda, Jawa Timur juga menerima 5 sertifikat penetapan Cagar Budaya Peringkat Nasional dari Kemendikbudristek, jumlah terbanyak se-Indonesia. Penetapan ini berarti objek-objek tersebut dilindungi undang-undang dan diperhatikan kelestariannya dengan standar tinggi. Inventarisasi dan fasilitasi terus dilakukan agar situs-situs bersejarah di Jawa Timur terjaga, serta melibatkan akademisi, pelaku seni, dan budayawan untuk menentukan kebijakan perlindungan cagar budaya daerah. Hal ini menunjukkan kolaborasi antara pemerintah, tim ahli, akademisi, dan komunitas seniman-budayawan dalam melestarikan warisan budaya.

Kiprah para seniman daerah di tingkat nasional juga menunjukkan ekosistem seni yang produktif. Beberapa tokoh budaya asal Jawa Timur telah meraih penghargaan bergengsi di kancah nasional, seperti dalam ajang Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024. Prestasi ini tak lepas dari peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur serta pelaku seniman budayawan yang mengusulkan nama-nama tersebut ke tingkat pusat, menunjukkan upaya aktif mendorong seniman daerah mendapat pengakuan. Pencapaian ini mencerminkan bahwa sistem pembinaan dan perhatian pemerintah memberikan hasil konkret.

Terkait infrastruktur seni, pengelolaan fasilitas seperti Taman Budaya Jatim (Surabaya), Taman Candra Wilwatikta (Pasuruan), Museum Mpu Tantular (Sidoarjo), dan Taman Krida Budaya Jatim (Malang) terus diupayakan revitalisasi dan optimalisasi fungsinya untuk mendukung kegiatan seni secara aktif.

Penting untuk diingat bahwa upaya menjaga dan mengembangkan ekosistem seni budaya adalah sebuah proses yang dinamis. Tidak ada satu pun model yang sempurna, dan adaptasi terhadap perubahan zaman serta kebutuhan komunitas menjadi kunci keberlanjutan. Diskusi dan dialog yang konstruktif antara pemerintah, seniman, budayawan, akademisi, dan masyarakat umum adalah fondasi untuk mencapai tujuan bersama ini. Dengan semangat kebersamaan, segala tantangan dapat diatasi dan potensi besar seni budaya Jawa Timur dapat terus digali dan disalurkan.

Pembentukan forum-forum komunikasi yang lebih intensif antara pemangku kepentingan, seperti dialog rutin, lokakarya, atau platform daring, dapat menjadi sarana efektif untuk menampung aspirasi, merumuskan kebijakan, dan mengevaluasi program yang ada. Keterbukaan informasi dan transparansi dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi, akan membangun kepercayaan dan meminimalkan kesalahpahaman. Dengan demikian, setiap kritik yang muncul dapat menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar keluhan tanpa arah.

Kritik dari berbagai pihak dipandang sebagai cermin untuk melihat apa yang masih kurang dan harus dibenahi. Suara kritis ini disambut sebagai vitamin bagi perbaikan, dan penting untuk melihatnya dalam konteks fakta di lapangan secara menyeluruh. Daripada saling berhadapan secara konfrontatif, ajakan kolaborasi selalu terbuka untuk menemukan solusi. Dengan memahami tantangan sekaligus mengapresiasi capaian yang sudah diraih, diharapkan dapat melangkah maju secara lebih proporsional. Ekosistem seni Jawa Timur adalah milik bersama, dan semua pihak memiliki peran dalam merawatnya. Melalui kolaborasi yang sinergis, optimisme muncul bahwa iklim seni budaya Jawa Timur akan semakin subur, dengan program pemerintah yang tepat sasaran, seniman yang berkembang dan sejahtera, serta masyarakat yang semakin menikmati kekayaan budaya daerah sendiri. Gotong royonglah yang akan membangkitkan kembali marwah ekosistem seni Jawa Timur untuk jangka panjang, secara sehat dan berkelanjutan. 

https://cakdurasim.com/artikel/kolaborasi-membangun-ekosistem-seni-jawa-timur-antara-harapan-dan-upaya-nyata



HIBAH KEBUDAYAAN DAN TANTANGAN BIROKRASI: Bagaimana Meningkatkan Efektivitas Pendampingan Pokmas?

 HIBAH KEBUDAYAAN DAN TANTANGAN BIROKRASI: Bagaimana Meningkatkan Efektivitas Pendampingan Pokmas? Oleh: Adiyanto, S.Sn, M.MPd Pamong Budaya...