REVITALISASI
GENDING-GENDING YANG HAMPIR PUNAH
PADA
KARAWITAN DI WILAYAH JAWA TIMUR
Adiyanto
Pamong Budaya Pertama
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jawa Timur
Intisasri
Revitalisasi Gending-Gending yang hampir punah ini adalah suatu kegiatan
untuk mengimbangi perkembangan karawitan di masyarakat, yang mana ketika di
dalam kehidupan berkesenian khususnya seni karawitan sudah sangat jarang sekali
para pelaku seniman, penikmat seni menyajikan gending-gending tinggalan para
leluhur yang mempunyai nilai filosofi yang sangat hebat. Pada kenyataannya
karena pengaruh pergeseran kebudayaan khususnya seni karawitan mengalami penurunan
nilai yang cukup pesat dari seni karawitan yang sifatnya sebagai tuntunan,
tontonan dan tatanan sekarang hanya menjadi sebuah tontonan yang bersifat
menghibur.
Kata
Kunci : Uyon-Uyon - Gending-Gending - Revitalisasi
A.
KARAWITAN
DI WILAYAH JAWA TIMUR YANG HAMPIR PUNAH
Karawitan adalah seni suara yang menggunakan laras
slendro dan pelog, baik suara manusianya maupun instrument (gamelan)asal
berlaras slendro dan pelog dapat disebut karawitan. Ada dua pokok isi karawitan
yaitu irama dan lagu. Irama yaitu pelebaran atau penyempitan gatra. Lagu yaitu
susunan nada-nada yang diatur dan apabila nada tersebut dibunyikan sudah
terdengar enak. Pengatur nada-nada tersebut nantinya berkembang kearah suatu
bentuk, sehingga menimbulkan bermacam- macam bentuk, dan bentuk inilah yang
nantinya disebut gending ( R.L Martopangrawit : 1975).
Mengambil pengertian diatas, maksud dari karawitan
di wilayah Jawa Timur ini adalah penyajian gending-gending karawitan yang
berlaraskan slendro maupun pelog yang tumbuh dan berkembang di wilayah Jawa
Timur. Di Jawa Timur sendiri ada beberapa gaya karawitan antara lain gaya Malang-an, Banyuwangi-an, Madura (
Bangkalan, Sumenep) serta karawitan gaya Mojokerto-Surabaya ( Soenarto : 2016 :
10). Dari pemetaan gaya karawitan tersebut dapat di simpulkan bahwa di wilayah
Jawa Timur memiliki gaya karawitan yang
cukup majemuk ditambah lagi gaya Mataraman yaitu karawitan gaya Surakarta dan
Yogyakarta yang juga berkembang di wilayah Jawa Timur ini, bahkan keberadaannya
ada hampir di seluruh Kabupaten/ Kota se Jawa Timur.
Didalam perkembangannya seni karawitan diwilayah
Jawa Timur lambat laun akan terancam punah dalam hal jenis gending-gendingnya,
sanggar seninya, senimannya serta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam
seni karawitan tersebut. Seperti
contohnya karawitan gaya Madura untuk jenis gending-gending sudah banyak yang
hilang, senimanya sudah banyak yang meninggal dan tidak ada regenerasi,
sehingga tidak ada lagi sanggar seni karawitan. Sedangkan karawitan gaya Jawatimuran[1]
untuk pergelaran klenengan[2]
sudah sangat jarang sekali bahkan hampir tidak ada lagi para seniman yang
mempergelarkan gending- gending gaya jawatimuran. Dan sangat jarang juga masyarakat
yang nanggap[3]
klenengan gaya jawatimuran untuk keperluan upacara manten, sunatan dan
upacara yang lain.. Sehingga
keberadaan gending-gending untuk keperluan karawitan secara mandiri banyak
sekali yang sudah tidak diketahui lagi garap sajian gendingnya. Seperti
misalnya gending Gambir Sawit, Onang Onang, Titipati, Semeru dan yang lainnya
(gaya jawatimuran).
Pak Mulyono[4]
mengatakan untuk garap gending-gending seperti Gambirsawit, Onang-Onang,
Titipati, Semeru dan gending sejenisnya untuk garap sajiannya sudah lupa karena
sudah jarang sekali dibunyikan. Sehingga untuk pengendang jarang sekali yang
mengerti garap sajian kendanganya. dan
untuk instrument gamelan yang lain jalannya ajian, garapannya, serta
teknik tabuhan yang lain sudah tidak ada lagi yang tau. (wawancara: Mulyono,
Oktober 2016).
Keberadaan gending-gending klenengan gaya Jawatimuran
memang sudah jarang sekali dibunyikan yang ada sekarang hanya sebagian gending-gending
saja seperti gending Gandakusuma, Gedok Tamu, Ayak Kempul Kerep dan Ayak Kempul
Arang yang memang masih eksis sebagai iringan pakeliran gaya Jawatimuran.
(wawancara: Amuji[5],
September, 2016).
Dengan adanya pernyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa keberadaaan sebagian gending-gending klenengan sudah banyak sekali yang
hampir punah, baik karawitan gaya Jawatimuran, karawitan gaya Madura dan
karawitan Mataraman. Untuk keberadaan
gending – gending karawitan gaya Madura sudah banyak yang punah baik jenis
gendingnya maupun sumber daya senimannya, sedangkan karawitan gaya Jawatimuran
jenis gending yang masih ada dan eksis, adalah gending- gending yang digunakan
dalam iringan pakeliran gaya Jawatimuran. Keberadaan gending klenengan gaya
Jawa Timuran sudah dipastikan lima atau sepuluh tahun kedepan akan punah. Sedangkan
untuk karawitan gaya Mataraman di wilayah Jawa Timur keberadaannya hampir
seperti karawitan gaya Jawatimuran cuma untuk keperluan sajian klenengan masih
dibunyikan karena masih ada satu atau dua orang yang nanggap dalam keperluan hajatan
manten dan keperluan upacara yang lainnya.
B.
KEBERADAAN
UYON-UYON[6]
SAAT INI
Pada saat ini pertunjukan Uyon-Uyon khususnya di
Jawa Timur sudah mulai bergeser dalam suatu pertunjukan yang sifatnya
hura-hura. Ada salah satu seniman pengrawit yang bilang “sing penting rame” yang penting rame. Bentuk sajian karawitan yang
hanya bersifat materialistik dan hedonistik, yang menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan uang dengan berkesenian yang sifatnya hanya sebatas
hura-hura. Pernah saya bertanya kepada salah satu seniman pengrawit yang
intinya menanyakan apakah tidak jenuh ketika melakukan pementasan yang hanya
menuruti selera penonton yang dangkal akan nilai luhur yang kadang lagu-lagu
tersebut mempunyai syair yang jorok dan mengarah ke pornografi. dan beliau
menjawab “halah le sing penting payu lan
entuk bayaran entuk duwit, sak iki sing dijaluki tukang nanggap lan penonton ki
yo sing rame lan rodo mambu mambu jorok ngene “ artinya iya nak yang penting laku dan
dapat bayaran uang, saat ini yang diminta para penanggap dan penonton itu yang
penting rame dan agak berbau porno.
Dari salah satu pernyataan seniman tersebut
diatas penulis simpulkan bahwa untuk
sajian Uyon-Uyon pada saat ini yang terpenting adalah bagaimana caranya para
seniman pengrawit itu bisa laku dan dapat job-joban
sebanyak mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun lagu-lagu atau
gending-gending yang disajikan tidak etis. Seperti contohnya : gending Kutut Manggung pada pos-posan
cengkok Candralukitan
Syair : e manukke Pak Citro lemes
e
burungnya (kelaminnya) Pak Citro lemas
Syair : e manuke
sing ngendang dowo
E burungya (kelaminnya)
yang main kendang panjang
Syair yang sebenarnya adalah e manuke kutut. Syair ini diplesetkan sehingga menimbulkan asosiasi
yang jorok dan seronok mengarah kearah pornografi yang berubah dari arti syair
yang sebenarnya. Nampaknya untuk syair yang mengarah ke arah pornografi
tersebut sdah menjadi tren untuk penyajian karawitan pada saat ini. Ada lagi
lagu –lagu tren yang syairnya berbau porno dan sudah menjadi tren di kalangan
masyarakat seperti lagu penthil kecakot, penak mlumah, tali kotang, ngidam
pentol [7]dan
yang lainnya.
Kehidupan seni karawitan bila terus-menerus seperti
iu lambat laun seniman karawitan akan kehilangan arah dan hanya menghasilkan
karya seni yang tidak berjiwa dan tidak mempunyai sifat edukasi atau tuntunan
yang menggambarkan nilai- nilai luhur. Dengan
demikian akan menurunkan derajad seniman itu sendiri sebagai seniman karawitan
yang hanya memikirkan materi “ pokok
entuk duwit” asal mendapat uang dengan menghilangkan estetik musikal yang
melalui rasa. Sehingga dimungkinkan akan menghasilkan karya-karya musik
karawitan yang hanya menuruti pasaran yang dangkal akan nilai-nilai luhur.
C.
UYON-UYON
PROGRAM DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PROVINSI JAWA TIMUR
Pada tahun
2011 ketika penulis pertama kali menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Disitu ada salah satu
program kegiatan yang dinamakan Uyon-Uyon. Kegiatan tersebut dilaksanakan
setiap hari kemis kliwon malam jum’at
pahing dengan menampilkan salah satu Sanggar Karawitan dari Kota Surabaya.
Dalam acara tersebut menampilkan gending-gending
dan lagu –lagu yang sudah populer dimasyarakat. Seperti Ldr. Ayun-Ayun, Ldr
Elo-Elo Gandrung, Ngidam Sari, Yen Ing Tawang dll, yang memang gending-gending
atau lagu-lagu tersebut sangat familier sekali di masyarakat. Pada waktu
menjelang tengah malam sekitar pukul 22.00 Wib
ada penawaran ke penonton untuk menyumbang lagu serta ada yang joget
sehingga suasana menjadi meriah dan rame.
Pada waktu acara tersebut, kebetulan penulis di
tugasi untuk menjadi panita. penulis mulai berfikir dengan adanya kegiatan
tersebut, apa sih tujuan dari adanya kegiatan Uyon-Uyon ini, apa hanya sebatas
senang-senang / hura-hura. Pada saat itu penulis sempat bertanya kepada
pimpinan tentang kegiatan Uyon-Uyon ini, dan dijawab bahwa kegiatan ini adalah
bagian dari program pelestarian dan pengembangan kebudayaan khususnya seni
karawitan. Dari pengalaman menjadi penitia
tersebut, timbul pertanyaan dalam hati saya :
a. Mengapa
sanggar karawitan yang mengisi di kegiatan tersebut selalu sama?
b. Mengapa
gending- gending yang dibunyikan pada kegiatan tersebut hanya gending-geding
yang populer dimasyarakat dan setiap pementasan gendingnya juga kebanyakan
hampir sama?
c. Kalau
Program Uyon-Uyon ini merupakan pelestarian, yang dilestarikan itu yang mana,
Senimanya, Keseniannya, Sanggarnya atau nilai adiluhunggya?
Dengan adanya kegiatan Uyon-Uyon yang
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur dapat
di simpulkan bahwa kegiatan tersebut hanyalah mengikuti pasar seperti yang
berkembang dimasyarakat, yaitu sebagai media hiburan semata. Sehingga kegiatan
Uyon-Uyon sebagai program pelestarian serta pengembangan di bidang kebudayaan
menurut penulis masih kurang maksimal, karena pertunjukan Uyon-Uyon yang
seharusnya mempunyai nilai yang adiluhung sebagai tuntunan, tatanan dan
tontonan sudah bergeser ke pertunjukan yang sifatnya untuk hiburan semata atau
hanya sebatas hura-hura.
Dalam perkembangannya kegiatan Uyon-Uyon yang
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur ini setelah
melalui banyak evaluasi baik dari seniman, penikmat seni dan panitia, maka pertunjukan
Uyon-Uyon yang semula bersifat hura-hura
sekarang menjadi kegiatan yang mempunyai tujuan untuk merevitalisasi
gending-gending baik gaya Jawatimuran maupun gaya Mataraman yang berkembang di
seluruh Kabupaten / Kota se Jawa Timur.
Dengan adanya revitalisasi gending-gending pada
kegiatan Uyon-Uyon ini, diharapkan bisa sebagai wahana apresiasi dan dapat meningkatkan
rasa handarbeni terhadap budaya sendiri khususnya para pelaku seni karawitan
(pengrawit), penggemar seni dan masyarakat secara umum. Serta bisa
menginventarisasi dengan langkah nduduk,
ndudah, ndeder dan ngrembakakaken gending-gending tradisi peninggalan para
leluhur yang hampir punah.
Kegatan Uyon-Uyon yang dilaksanakan oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur selain menyajikan gending-gending
yang hampir punah, penyaji diharapkan membuat diskripsi gending yang
diunggulkan sebagai pertanggungjawaban dalam penyajian karawitan yang natinya akan
menjadi aset data dalam bentuk tulisan
diskripsi dan audio sebagai data yang kedepan sangat dibutuhkan bagi para
seniman, akademisi seni dan para kolektor seni khususnya seni karawitan.
D.
SAJIAN
UYON-UYON SEBAGAI USAHA REVITALISASI
Sanggar
karawitan “Sekar manik Dhanirogo” dari Kabupaten Ponorogo menyajikan gending
unggulan “ Gending Mega Mendung, Ketuk 4
Kerep, Minggah Ladrang Remeng, Laras Slendro Patet Nem”. Gending Mego
Mendung ini biasa digunakan untuk mendatangkan hujan lebat, meskipun semua itu
tidak dapat dibbuktikan secara ilmiah, tetapi para pengrawit bisa membuktikan
dengan rasa yng mereka miliki. Pada perkembangannya gending Mega mendung ini
biasa digunakan pada pergelaran wayang kulit pada waktu jejer kedua. Di
Kabupaten Ponorogo gending ini sudah jarang di bunyikan karena pengaruh
pergeseran budaya, baik pergelaran dalam upacara manten maupun sebagai iringan
pakeliran dalam wayang kulit. Karena di Kabupaten Ponorogo untuk porsi
pergelaran dalam upacara manten serta pakeliran wayang kulit terlalu banyak
dihiburan sehingga seakan tidak ada waktu untuk membunyikan gending-gending
yang memakan waktu cukup lama.
Gending
Mega Mendung, Ketuk 4 Kerep, Minggah Ladrang Remeng,
Laras Slendro Patet Nem
Buka : . . . 2 2 1 y t
. 3 5 . 2 3 5 6 1 2 1 g6
..65 eety etyt 2232 ..2. 22.3 5653 212n6
..y1 2353 5653
212y 22.. 22.3
5653 21ynt
.ttt wwet
we5e 212y .1y.
y123 5653 21ynt .y12
.1yt .y12 .1yt
.et. wet. 2ety
121gy
Omp. .y12 .1yt
.y12 .1yt .y12
.1yt !!.. #@!g6
Ladrang
Remeng Laras Slendro Patet Nem
..6. 665n6
!65p3 223n2
..yp1 223n2
321py ty1g2
321y ty1n2
321py 335n3
.21py 335n3
56!p6 532g3
6521 y12n3
56!p6 532n1
.11p1 232n1
321p2 .1ygt
.y12 .1ynt
.y1p2 .1ynt
.y1p2 .1ynt
!!.p. #@!g6
Sangar Karawitan “Gita Laras” dari Kabupaten Malang
menyajikan Gending Unggulan “Gending Kembang
Gayam Laras Slendro Patet Sanga”. Gending Kembang Gayam ini adalah gending pemangku praja, gending pedanyangan atau gending punden. Gending tersebut pada jamannya selalu di bunyikan
di Pendopo Kabupaten dalam acara pisowanan kemudian berkembang ke masyarakat
dan selalu mengumandangkan di punden-punten
dalam upacara bersih desa. Namun karena pelakunya telah habis termakan usia
maka gending Kembang Gayam kini nyaris hilang tertelan jaman. Maka dari itu
pada kegiatan Revitalisasi gending gending ini Sanggar Gita Laras menggali
kembali keberadaan gending tersebut supaya bisa muncul kembali di tengah
masyarakat.
Gending Kembang Gayam Laras Slendro Patet Sanga
Buka: 6 5 6 ! . 3 . 5
. 3 . g2
A ...6 ...p5
...6 ...n3 ...2
...p1 ...5 ...n3
5353
232p1 6!6! 235n3
65!6 35!p6 3565
231g2
B 6 3 6 j52 j52j35j63j5p6 j35j.1j216
j23j53j65n3
6 5 ! 6
j36j51j21p6 3 5 6 5 2 3 1 g2
C 6 . j653 6 . j165
2 . 2 3 5 ! 6 p5
6 . j653 ! j.6j@!6 5 3 6 j52
j35j6!j65n3
5 j.3j653
5 j.3j653 2 . 2 3 5 j65j32p1
5 j.3j653 5 j.3j653
2 . 2 3 5 j65j32p1
6 6 !65
! @ ! 6 5 3 6 5 6 2 1 p6 pos
. 2 3 5
3 6 3 5 . 2 3 5 2 1 3 g2 swk
Gending yang disajikan oleh kedua sanggar yaitu dari
Sanggar Sekar Manik Danigoro dan Sanggar
Gita Laras, dengan penyajian “Gending Kembang
Gayam Laras Slendro Patet Sanga” gaya Mataraman dan “Gending Kembang Gayam Laras Slendro Patet Sanga”. Gaya Jawatimuran.
Ini adalah sebagian contoh revitalisasi gending-gending dalam bentuk
kegiayan Uyon-Uyon. Dengan semangat
revitalisasi gending-gending sebagai
peninggalan para leluhur yang adiluhhung ini adalah sebagai bentuk karya
kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai filosofi, sosial, etika dan estetika
yang hebat dan tinggi bagi kehidupan masa lalu dan sekarang.
Revitalisasi gending-gending tradisi ini adalah
suatu langkah maju bagi kepentingan kehidupan khususnnya seni karawitan. Ada
beberapa hal yang pokok yang didapatkan pada revitalisasi gending-gending ini ,
adalah dapat menyegarkan kembali kehidupan gending-gending kuno/ terdahulu
serta dapat memahami dan menghargai gending-gending tradisi karya para leluhur
sebagai karya yang adiluhung.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyanto, Kumpulan
Diskripsi Uyon-Uyon tahun 2016, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Jawa Timur, 2016
Martopangrawit, Catatan
Pengetahuan Karawitan, Volume I, ASKI Surakarta, 1975.
Prabawanti, Wingit. 1983. “Pengetahuan Karawitan Daerah Surakarta”.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan dan
Kebudayaaan Dasar dan Menengah.
Prasetyo, Puguh. 2015 “Tabuhan dan
Vokal Wayang Jawatimuran”. Surabaya,
Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur.
Soenarto, Tehnik
Tabuhan Karawitan Jawa Timur Gaya Mojokerto Surabaya. Surabaya, PT Revka
Petra Media, 2016.
[1]
Karawitan gaya jawatimuran adalah karawitan yang berkembang di wilayah pesisr
Jawa Timur seperti, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Gresik, Pasuruan dan
Sidoarjo.
[2]
Klenengan adalah sajian karawitan secara mandiri
[3]
Nanggap adalah membutuhkan untuk menyajikan/ megelar pertunjukan.
[4]
Pak Mulyono adalah empu seniman dari Kabupaten Jombang yang sampai saat ini
masih eksis dalam pertunjukan karawitan iringan pakeliran gaya
Jawatimuran.
[5]
Amuji adalah seniman karawitan gaya jawatimuran dari RRI Surabaya.
[6]
Uyon –Uyon adalah istilah lain dari klenengan
[7]
Lagu-lagu ini adalah lagu campursari yang pada saat ini di gunakan juga pada
sajian Uyon-Uyon di daerah- daerah khususnya di daerah Jawa Timur.