SULUK PATHETAN NEM AGENG LARAS SLENDRO PATHET NEM
Unggwan sêmbah niréng hulun,
kapurba risang murbèngrat,
yéka kang asung mring wadu,
mawèh boga sawêgung,
masih ring dêlahan,
unggwan kanang amujwèngwang,
ring jêng nataningrat,
dutèngrat hutama manggiha nugraha,
tarlèn siswa sagotra kang huwus minulya.
Artinya
Tempat menyembah sirnanya ke-aku-an,
berada dalam kekuasaan Sang Penguasa Jagad,
ialah yg memberi pada abdi (hamba),
memberi makan (kehidupan) pada segenap titah sawegung,
mengasihi sampai akhir hayat (akherat).
Adalah tempat hamba memuja,
pada Yang Luhur Raja yg mengatur dunia,
utusan di bumi yg utama semoga mendapat nugraha (berkah),
tiada lain semua murid yg sudah mendapat kemuliaan.
berada dalam kekuasaan Sang Penguasa Jagad,
ialah yg memberi pada abdi (hamba),
memberi makan (kehidupan) pada segenap titah sawegung,
mengasihi sampai akhir hayat (akherat).
Adalah tempat hamba memuja,
pada Yang Luhur Raja yg mengatur dunia,
utusan di bumi yg utama semoga mendapat nugraha (berkah),
tiada lain semua murid yg sudah mendapat kemuliaan.
Suluk ini adalah salah satu sulukan yang
terpakai di jagat pewayangan jawa sampai sekarang, bahasanya menggunakan bahasa
kawi yang berasal dari masa Jawi Kuno, suluk ini dibunyikan pada waktu jejeran pertama, setelah Janturan
dalang, dengan menggunakan iringan instrumen Rebab, Gender, Gambang dan Suling.
Tjahjo
Tribinuka mengatakan bahwa suluk pedalangan ini digunakan untuk mengundang arwah
Raja-Raja Majapahit, suluk ini
juga pernah dikumandangkan oleh ABIYASA NUSANTARA MAJAPAHIT secara khidmat dalam kondisi mistis
dan sakral, tanpa ada penerangan apapun kecuali oborbambu dan lampu minyak di
Candi Brahu.
No comments:
Post a Comment