TINJAUAN TEHNIK TABUHAN KENDANG JAWATIMURAN
A. Kendang Jawatimuran/ Plak Kentong
Dalam seni karawitan Jawatimuran para empu pengrawit menyebut kendang
Jawatimuran sebagai kendang plak kentong/ kendang tong. belum ada
notasi baku untuk kendangan, termasuk kendangan gaya Jawatimuran. Memang sudah ada notasi yang digunakan
terutama untuk keperluan pengajaran, tetapi itupun hanya digunakan di kalangan
terbatas. Lagi pula kendangan yang dinotasikan belum
sepenuhnya sungguh-sungguh merupakan representasi dari suara kendhangan yang
dimainkan oleh pengrawit kendang. Artinya, yang dinotasikan adalah sebatas untuk
keperluan pengenalan lewat pengajaran. Untuk mampu memainkan kendang yang
betul-betul berkualitas perlu mendalami lagi melalui berbagai upaya.
Suara kendang plak kentong pada karawitan Jawatimuran dapat diproduksi melalui berbagai cara. Di antaranya
meliputi memukul dengan satu tangan, memukul kemudian mendorong dengan tangan
yang sama, memukul salah satu sisinya sementara menutup sisi lainnya, atau
cukup menyentuh dengan ujung tangan. Daerah yang dipukul meliputi bagian tepi dan tengah. Untuk teknik-teknik lain yang terkait
dengan uraian kendangan plak kentong, yakni dalam pengertian bahwa pengendang mengeksplorasi masing-masing
sisi dari kendang atau kombinasi dari kedua sisi, termasuk tuntutan kecekatan melaksanakan
semua jenis pukulan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa secara umum ada tiga
cara dalam memproduksi suara kendang plak kentong, yaitu pada sisi tebokan besar, pada sisi tebokan kecil, dan kombinasi
dari kedua tebokan. Berikut uraian secara rinci dari masing-masing sisi.
B. Produksi suara pada sisi tebokan besar
1.
Suara Deh/ Den
Suaran Deh/
Den dengan simbol (b), suara ini dapat diproduksi dengan memukul bagian tepi dari kendang
dengan posisi jari tangan tertutup.
2.
Suara Tung
Suara Tung dengan simbol (p), suara ini dapat diproduksi dengan memukul
bagian tengah kendang dengan telapak tangan dan jari terbuka, sementara ujung
dari telapak tangan menempel pada permukaan kendang.
3.
Suara Ket/ pet
Suara Ket/ Pet dengan
simbol (i), suara ini dapat
diproduksi dengan menyentuh secara lembut bagian tengah tebokan kendang dengan ujung tangan menutup.
4.
Suara Det
Suara Det dengan
simbol (dt) untuk memproduksi suara ini mirip dengan dah, tetapi dengan menutup kedua sisi tebokan kendang.
C. Produksi Suara pada Tebokan Kecil
1.
Suara Tak
Suara Tak dengan simbol (t).
suara ini dapat diproduksi dengan menutup tebokan besar, sementara tangan yang
satunya dengan jari tangan tertutup memukul bagian tengah tebokan kecil dengan
langsung menutupnya.
2.
Suara Tong
Suaran Tong dengan simbol
(o). Ujung tangan yang menutup memukul bagian tepi tebokan kecil
3.
Suara Lung,
Suara Lung dengan
simbol (l). jenis suaranya mirip dengan tung dengan memukul bagian tepi dalam
tebokan kiri tapi dengan lembut.
D. Produksi suara dengan mengkombinasikan kedua tebokan kendang
1.
Suara Dong
Suaran Dong dengan simbol
(bo). Suara ini merupakan kombinasi suara tong dan deh.
2.
Suara Dak
Suara Dak dengan simbol (dk).
Suara ini merupakan kombinasi suara tak dan det.
3.
Suara Trong
Suara Trong dengan simbol
(to). Suara ini merupakan kombinasi suara tong dan tung.
Kendang di tangan seniman
dapat bervariasi, enak didengar dan menimbulkan rasa nikmat di dalam batin.
Bunyi suara kendang bernilai estetis. Bunyi suara kendang dapat berdiri sendiri
seperti untuk komposisi, dan lebih banyak dibunyikan bersama dengan instrumen yang
lain. Suara kendang ketika dibunyikan bersama instrumen gamelan yang lain harus
menyatu, baik dari segi volume, ritme, warna suara sehingga secara keseluruhan
menimbulkan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan.
Peran pengendang dalam Karawitan, selain sebagai pengatur irama, juga dituntut
untuk mampu menghidupkan dan mendominasi gending yang disajikan. Dengan kata lain, apabila pengendang
berhasil memaksimalkan perannya, niscaya pertunjukan tidak akan terasa
membosankan. Berbeda halnya peran pengendang pada pertunjukan tari, wayang kulit, wayang topeng dan ludruk. Dalam konteks sebagai pendukung seni yang lain, pengendang dituntut
untuk berperan ganda, yakni sebagai pemimpin orkestra gamelan harus tetap
menjaga laya, dan pada saat yang bersamaan juga dituntut untuk mengikuti,
memacu, merangsang ekspresi gerak, dan memantapkan aksen gerak tari/wayang.
Suara kendangan yang dilakukan oleh pengendang berperan besar dalam membangun kesan
dramatik dan menghidupkan suasana pertunjukan. Kesan dramatik dapat diperoleh
dengan menggarap salah satunya dapat dicapai lewat garap laya atau tempo
(Supanggah, 2007:260). Kendangan dalam karawitan tari memiliki hubungan timbal
balik.
Kenikmatan gerak tari Jawa
dapat ditemukan pada permainan ritme dengan aksentuasi yang indah. Ritme itu
sendiri dalam karawitan diatur oleh kendang. Dengan demikian kendang sangat
menentukan keberhasilan pertunjukan tari. Antara kendang dengan tari menjadi partner dalam presentasi. Ketergantungan dan
saling mengisi pada aksen-aksennya merupakan kerja yang amat primer (Trustha,
2005:100).
Ketika menyertai tari,
wayang kulit, wayang topeng, dan ludruk, kadang-kadang peran pengendang hanya sebatas sebagai indikator ritme. Dengan demikian
tuntutan variasi wiledan tidak diterapkan dalam konteks ukuran nilai estetik.
Implementasi kendangan semacam ini misalnya pada jenis gerak tari yang
bernuansa tenang, stabil, konstan, misalnya pada jejeran wayang kulit dan wayang topeng, pada saat sajian gending dengan teknik ngendangi gending bukan
sebagai pembungkus gerak.
E. Kedudukan dan Peran Kendang
Kedudukan dan
peran kendang melalui pemain yang disebut pengendang, sebagai pemimpin instrumen gamelan sangat pokok. Pengertian secara
denotatif, pengendang adalah sebutan yang disandangkan kepada pengrawit kendang
Jawa yang memiliki kualitas tertentu. Ukuran kualitas tersebut tidak dapat
dikuantifikasikan dengan angka, namun pengakuannya lebih bersifat opini oleh
komunitas pendukung karawitan sendiri. Ketika seorang pengrawit mengomentari
positif untuk kendangan yang bagus, dikatakan “Wah kendangane si A anteb (mantap), wijang (jelas), atau mungkin pliket. Sebaliknya untuk komentar negatif, ampang (ringan), reged (kotor), atau
semrawut (tidak jelas). Komentar seserang adalah sebuah penilaian, oleh karenanya harus disertai penjelasan yang
detail, yakni dengan menyebut unsur-unsur yang membentuk suatu kualitas atas hal yang dinilai. Menghadapi kenyataan
kendangan yang anteb, wijang, pliket, merasa puas, nyaman, senang. Sebaliknya
terhadap kendangan yang ampang, reged, semrawut merasa risih, atau tidak
nyaman.
Dalam kaitan
dengan konsep estetik Pada umumnya apa yang kita sebut indah di dalam jiwa kita
dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, nyaman dan bahagia, dan
bila perasaan itu sangat kuat, kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta
menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah
dinikmati berkali-kali, kelangen dalam bahasa Bali (Djelantik, 2004:2).
Cara pandang
setiap pengamat yang berbeda-beda menyebabkan konsekuensi penilain yang berbeda
pula. Bagi para seniman mengungkap rahasia kendhangan yang bernilai estetis
merupakan hal penting dan diperlukan penghayatan yang seksama. Kajian kendangan
dalam tulisan ini bersifat umum, artinya tidak menunjuk pada satu jenis instrumen dalam karawitan. Keberadaan kendang bersama
instrumen lainnya, baik sebagai perangkat mandiri maupun ketika menyertai seni
lain, yakni tari, wayang kulit, wayang topeng, dan ludruk memerlukan kajian tersendiri.
Uraian diatas
menjadi titik pijak untuk mengungkap nilai estetik dari kendangan pada gamelan
Jawa. Pengungkapan ini mendasarkan pada asumsi bahwa setiap karya seni medium
beserta segenap unsur yang membangun disusun dan disatupadukan sehingga
menjelma menjadi satu kebulatan yang solid dan utuh. Kerja mengorganisasi dalam
pengertian ini, seniman harus mampu dan berhasil mewujudkan suatu bentuk yang
menarik dan bermakna. Sejalan dengan hal ini para empu karawitan yang cenderung sebagai obyektif berpendapat bahwa keindahan karya seni terletak pada kualitas obyektif dari suatu benda. Kecenderungan itu
nampak pada gagasan tentang
teori bentuk. Segenap seni visual dan auditif sepanjang masa
memiliki apa yang di sebut
sebagai bentuk bermakna. Ditambahkan bahwa bentuk bermakna adalah bentuk dari karya seni yang
menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetik dalam diri penghayat.
Bentuk ini
dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk besar dan bentuk kecil. Bentuk besar merupakan organisasi antara
bagian-bagian secara keseluruhan, sedangkan bentuk kecil adalah organisasi dari
masing-masing bagiannya. Kajian ini merupakan telaah dari organisasi bentuk kecil,
yaitu nilai estetik kendangan plak kentong gaya Jawatimuran.
Berikut ini
adalah aspek-aspek pokok yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar pijakan
kriteria untuk mengkaji estetika kendangan pada berbagai perangkat. Aspek-aspek
kendangan meliputi laya, kebukan, dan wiledan. Aspek-aspek tersebut selanjutnya
difahami sebagai obyek estetik yang memiliki bentuk bermakna, yaitu bentuk yang
berpotensi menimbulkan pengalaman estetik. Berikut ini adalah aspek-aspek kendangan
yang dikaji.
1.
Laya
Cepat atau lambatnya irama
dalam dunia karawitan disebut laya (Supanggah, 2007:216) atau dalam istilah
musik pada umumnya secara luas disebut tempo. Dalam pengertian ini bahwa satu
irama tertentu berpeluang ditampilkan beberapa jenis laya, yaitu tamban,
sedeng, seseg, dan sebagainya. Penguasaan secara praktis terhadap laya adalah
aspek penting dalam kendangan. Kegagalan dalam merealisasikan
laya dalam suatu sajian gending akan mengurangi atau bahkan melemahkan nilai
estetiknya. Sebagaimana dalam praktik pertunjukan uyon-uyon/ klenengan biasa digunakan berbagai variasi laya
pada masing-masing bagian dari sebuah gending, misalnya laya bagian kendangan gedukan seharusnya lebih tamban daripada bagian gambyak. Pada titik inilah ketika sajian suatu gending
akan berpindah irama dan atau kebagian selanjutnya, misalnya dari gedukan ke gambyak pengendang dituntut mampu merealisasikannya secara estetik, dalam arti tidak bergejolak. Pembedaan laya
dalam sajian uyon-uyon/ klenengan
sangat pokok, mengingat sajiannya mandiri, sehingga implementasi berbagai laya
secara tepat pada bagian-bagian gending sangat diperlukan. Implementasi
berbagai laya di sini dimaksudkan untuk mencapai kesan dinamis dari sajian
suatu atau serangkaian gending.
Sesuai dengan yang
diungkapkan oleh para empu karawitan bahwa pertunjukan gending yang bagus, bernilai
estetis adalah ketika sajiannya ada kesesuaian dengan suasana dan juga jenis
gendingnya, selain itu pertimbangan karakter gending, sehingga ekspresi rasa harmonis dapat tercapai.
Perbedaan dalam
merealisasikan laya juga terjadi pada sajian gending untuk keperluan menyertai seni lain, yaitu tari,
wayang kulit, wayang topeng, dan ludruk. Secara umum penggunaan
laya dalam sajian gending adalah klenèngan menggunakan laya tamban, dan untuk
pertunjukan tari lepas, wayang kulit, wayang topeng pada umumnya menggunakan laya sedeng dan laya seseg.
Kemampuan dalam
merealisasikan laya yang mungguh untuk masing-masing jenis pertunjukan tersebut
merupakan salah satu unsur pokok yang menentukan nilai estetik kendhangan. Pada
waktu sajian suatu gending sudah berjalan, pengendhang dituntut memiliki
kemampuan untuk menjaga konsistensi dalam menjaga irama untuk tidak menjadi
cepat (ngesuk) atau menjadi lambat (nggandhul), aspek ini juga merupakan faktor
yang mempengaruhi nilai estetik. Keseluruhan uraian tentang laya tersebut
menyiratkan bahwa kendangan dalam gamelan Jawa mengutamakan unsur kesatuan,
tanpa adanya pengikat, yaitu laya/irama elemen-elemen lainnya tidak mungkin
menyatu. Selain itu variasi sajian laya dapat dilihat sebagai intensitas yang
merupakan kekuatan pendukung nilai estetik.
2.
Kebukan
Aspek lain
yang turut menentukan nilai estetik kendangan adalah kebukan, yaitu kemampuan
memproduksi suara kendang. Ukuran kualitas kebukan meliputi kemampuan
memproduksi kejernihan suara, konsistensi untuk memproduksi kualitas warna
suara, pengaturan volume, dan artikulasi. Kejernihan menunjuk pada pengertian
kejelasan suara, artinya suara yang dihasilkan bernilai musikal, bukan sekedar
suara wadag. Intensitas dalam pengertian kehebatan kualitas suara, merupakan
salah satu titik perhatian yang perlu dicermati. Konsistensi dalam konteks ini
artinya suara yang diproduksi sama, misalnya kualitas suara thung (p) harus relatif sama sepanjang pertunjukan. Volume dari setiap suara yang
dihasilkan harus merata, artinya harus dihindari penonjolan salah satu suara.
Untuk aspek artikulasi berkenaan dengan upaya menampilkan semua jenis suara
terdengar wijang (jelas). Kebukan ini saling mengkait satu dengan lainnya. Dalam dunia karawitan, kebukan
yang sempurna dikatakan pulen.
Pengendang
harus mampu membedakan kualitas kebukan yang sesuai untuk setiap jenis
pertunjukan karawitan. Kendangan memang sangat berbeda dari satu konteks pertunjukan
dengan lainnya. Biasanya pengrawit membedakan antara spesialisasi kendangan
dalam tari, wayang kulit, wayang topeng, dan uyon-uyon/ klenèngan.
Masing-masing membutuhkan pola yang berbeda, mirip tetapi vokabuler dari
kebukannya tidak persis sama. Kebukan dalam klenèngan secara umum relatif
lirih, untuk menyertai tari maupun wayang kulit, wayang topeng dan ludruk dituntut kebukan lebih keras. Tentunya juga menyesuikan adegan yang ada
di panggung.
3.
Wiledan
Terdapat
kesepahaman pengrawit Jawa bahwa wiledan adalah pengejawantahan dari cengkok,
artinya cengkok adalah satuan melodi yang abstrak. Dalam pembicaraan
sehari-hari di dunia karawitan penggunaan kedua istilah itu sering tumpang suh.
Istilah cengkok biasanya diterapkan pada melodi yang dimainkan oleh sekelompok
instrumen garap termasuk kendang, gendèr, gambang, rebab, dan perangkat
instrumen yang lain. Dalam hal wiledan sebagai ukuran untuk melihat nilai
estetik dari kendangan berarti kajian kekayaan variasi dari seorang pengendang.
Pengendang dituntut memiliki berbagai variasi wiledan untuk setiap cengkok.
Pengendang juga dituntut memiliki kemampuan meramu, mengolah, mengkaitkan
antara wiledan satu dengan lainnya, yakni untuk mencapai kualitas pliket juga menjadi ukuran dalam menilai estetik kendhangan.
Dalam memilih wiledan untuk berbagai ensambel juga merupakan kemampuan yang
harus dikuasai oleh pengendang. Misalnya, pemain kendang dituntut mampu
membedakan wiledan gambyak dalam sajian uyon-uyon/ klenengan dengan wiledan gambyak untuk keperluan mengikuti gerakan tari maupun wayang. Inilah pentingnya
tingkat kompleksitas menjadi titik kajian untuk melihat nilai estetik dari kendangan.
Komplesitas juga dapat ditemui pada hubungan wiledan satu ke wiledan lainnya
(sambung rapet).
BIODATA PENULIS
Adiyanto
dilahirkan di Semarang pada tanggal 02 Juli 1982. Sejak kecil ia sudah diajari
oleh orang tuanya di bidang seni,
diantaranya, seni karawitan, pedalangan dan seni tatah sungging wayang. Setelah
remaja Ia mematangkan ketrampilan olah seninya di SMKN 8 Surakarta Jurusan
Karawitan pada tahun 1998, kemudian melanjutkan kuliah di STSI Surakarta pada
tahun 2001 sampai semester 4 transfer ke STKW Surabaya lulus pada tahun 2006.
Sejak tahun 2011 di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jawa Timur Bidang Budaya, Seni dan Perfilman. Kemudian pada
tahun 2015 diangkat sebagai Pamong
Budaya Jawa Timur sampai sekarang. Di sela-sela kesibukanya sebagai Pamong
Budaya Ia juga aktif sebagai seniman, baik pelaku seni, pengkarya seni dan
pemerhati seni. Aktif menulis baik di media elektronikm media massa maupun
media cetak.
PENGALAMAN
BERKESENIAN
3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sabet pada Festival
Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya. 3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik
Bidang Sanggit Cerita pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa
Timur tahun 1999 di Surabaya. Sebagai
Pengamat Daerah pada Parade Lagu daerah Taman Mini “ Indonesia Indah” tahun
2011 mewakili provinsi Jawa Timur. Menjadi
salah satu pemusik dalam pertunjukan Festival Kesenian Indonesia III tingkat
Nasional tahun 2011 di Surabaya. Menjadi
Duta Seni mewakili Indonesia ke Ho Chi Mint City, Vietnam pada tahun 2005. Komposer
dalam Festival Gegitaan tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta. Komposer Iringan Tari Ganggasmara
dalam acara Festival Tari Sakral tingkat Nasional pada tahun 2013 di
Jogjakarta. Juara 1 (satu)
Komposer Iringan Tari Kidung Kasanga dalam acara Festival tari Sakral tingkat
Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 di Sidoarjo. Komposer Iringan Tari Mandaragiri dalam acara melasti
tingkat Provinsi Jawa Timur di Surabaya. Komposer
Iringan Tari Nawa Cita Negara Kertagama dalam acara Mahasaba Tingkat Nasional
pada tahun 2016 di Surabaya. Menjadi
Komposer pada Pembukaan Festival Seni Sakral tahun 2019 dengan Judul “ Babar
Sastra Pamucang” Juara
Penata Musik tradisional Terbaik pada Festival Seni Sakral Tingkat Nasional
Tahun 2019. Menjadi Ketua
Lembaga Seni Keagamaan Provinsi Jawa Timur, masa bhakti 2019-2023 Aktif menjadi Juri dan Narasumber d
berbagai kegiatan seni, seperti Macapat, Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan
dll.
BUKU
YANG TELAH DITULISNYA
Djoko Langgeng Dan Wayang Kulit Karyanya. Balungan
Gending Jawa Timuran. Karawitan
Jawatimuran. Pengetahuan
Vokal Jawatimuran. Campursari
Sekar Melati. Profil
Sekar Melati. Kebudayaan
Dalam Opini, Kebudayaan Dalam Opini,Tinjauan Seni Karawitan
No comments:
Post a Comment