TINJAUAN GARAP DAN RASA TEMBANG PADA SENI KARAWITAN
A. Tinjauan Garap Tembang pada Seni Karawitan
Garap
adalah tindakan seniman terkait dengan masalah interpretasi, imajinasi, dan
mewujudkan sajian gending dan atau tembang (Supanggah, 2007:3). Dalam karawitan
Jawa gaya Surakarta garap merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas
hasil sajian gending atau tembang. Hal ini tidak bisa lepas dari realitas yang
ada, bahwa repertoar tembang dari masa ke masa, baru dalam wujud
notasi titilaras dan cakepan, yang sama sekali tidak disertai keterangan
tentang cara menyajikannya. Wujud notasi itu belum memiliki makna musikal
sebelum disajikan, digarap atau diolah oleh senimannya.
Dengan
demikian, repertoar tembang yang ada adalah merupakan bahan mentah yang masih harus
ditafsir, diwujudkan, dan diterjemahkan lewat bahasa musikal. Dari sini tampak
jelas bahwa begitu pentingnya peran pelantun tembang dalam mencapai kualitas hasil
sajian tembangnya. Dengan kata lain pengrawit vokal sangat menentukan
dalam mencapai rasa musikal yang disajikan. Realitas yang demikian itu
memunculkan sebuah pemahaman bahwa kualitas hasil sajian tembang sangat bergantung pada kemampuan
dan pengalaman vokalis dalam menterjemahkan notasi dan cakepan ke dalam bahasa
musikal.
B. Tinjauan Rasa Tembang pada Seni Karawitan
Dalam
kehidupan sehari-hari, rasa orang Jawa, paling tidak dibedakan dalam dua hal
yaitu rasa yang besifat lahiriyah dan rasa (feeling) yang bersifat batiniyah. Rasa yang bersifat
lahiriyah terdiri dari dua hal. Pertama, rasa pada lidah manusia, seperti rasa
manis, asin, asam, gurih, pedas, enak, sedap, sepa, langu, dan sebagainya.
Kedua, rasa yang ada dalam jasad manusia, seperti rasa gatal, pegal, linu,
nyeri, dan sebagainya. Rasa yang bersifat batiniah adalah rasa yang ada dalam
hati, seperti; rasa senang, sedih, haru, galau, takut, dan sebagainya.
Rasa
dalam konteks karawitan Jawa dapat dimaknai kesan musikal yang ditimbulkan dari
hasil sajian gending atau tembang yang dirasakan oleh hati. Rasa dalam makna kualitas, rasa dalam
musik dianalogikan dengan persepsi rasa pada lidah, seperti; enak, sedhep, sepa, cemplang, langu,
dan sebagainya. Rasa yang demikian itu memiliki efek estetis, yakni kesan bunyi
yang sampai pada pendengaran. Rasa sebagai sebuah kemampuan, mampu
menginterpretasi yang sesuai dengan karakter.
Rasa
dalam makna kualitas hubungannya dengan tembang, secara musikal dapat ditafsirkan
kualitas hasil sajian tembang. Para pengrawit Jawa dalam menyebut
kualitas hasil sajian gending atau tembang, secara individu sering menggunakan
padanan kata yang biasa digunakan dalam menilai kualitas rasa makanan. Apabila
demikian, jelas bahwa capaian rasa berkaitan erat dengan persoalan garap. Pada
umumnya pengrawit Jawa biasa menganalogikan garap gending atau vokal sama
halnya dengan cara kerja memasak makanan. Hasil masakan menjadi enak apabila juru masak memiliki
wawasan yang luas terhadap berbagai jenis masakan berikut bumbu-bumbu dan
takarannya. Artinya, juru masak dapat menghasilkan kualitas rasa makanan
dituntut wawasan yang luas, memiliki keterampilan yang baik, dan bertindak
secara profesional.
C. Tinjauan Kualitas dan Karakter Tembang
Persoalan
garap tembang dapat disejajarkan dengan juru masak, artinya pelantun tembang untuk dapat menghasilkan kualitas
rasa sesuai dengan karakternya, dituntut seperti halnya juru masak. Pelantun tembang harus memiliki wawasan luas tentang
garap vokal berkaitan dengan pemilihan vokabuler cengkok yang sesuai dengan karakter,
pengaturan nafas, dan keterampilan memainkan cengkok, wiled dan gregel sesuai
dengan cengkok
yang dipilih. Pada dasarnya rasa tembang adalah kesan rasa yang ditimbulkan perpaduan
dari seluruh persyaratan sebagai vokalis menggarap sesuai dengan karakternya.
Apabila demikian, maka rasa tembang sangat ditentukan oleh kemampuan
vokalis dalam menggarap tembang yang dituangkan lewat bahasa
musikal. Tidak tercapainya aspek-aspek musikalitas semacam itu disebut Ampang,
Cemplang, dan Langu.
Ampang
yaitu tembang yang tidak memiliki bobot, tidak sesuai dengan sifat dan
karakter, kesan rasa tembang ringan tidak berwibawa (ora mbawani), sehingga tidak mampu
menyentuh rasa yang mendalam. Hasil yang demikian ini biasanya dijumpai pada
pelantun tembang yang tidak memiliki kualitas vokal yang baik, kurang
menjiwai, sehingga hasilnya belum mampu menyentuh perasaan pendengarnya.
Cemplang
yaitu sajian tembang yang tidak enak didengar, kesan rasanya hambar atau tidak
sedap, laras tidak pleng. Rasa seperti itu juga dapat terjadi dalam gerongan yang semestinya disajikan
secara bersama, tetapi tidak mencerminkan kebersamaan. Akibatnya hasil sajian gerongan terasa hambar dan tidak
mantap.
Langu
adalah sebuah kesan musikal yang terkesan kaku, kasar, dan tidak pleng (rasane ngalor ngidul). Di samping
istilah-istilah itu dalam karawitan Jawa gaya Surakarta, juga dijumpai sejumlah
istilah yang menunjuk pada kualitas permainan vokal, misalnya; nyindheni, mbawani, dan nggerongi.
Hal demikian dapat dipandang memiliki efek estetis terhadap hasil penyajian
vokal. Dengan memperhatikan begitu kompleks, berat, dan rumit persyaratan untuk
dapat disebut sebagai pelantun tembang yang mbawani, apabila telah
memenuhi syarat seperti diuraikan.
Hal
yang terjadi pada pelantun tembang juga berlaku bagi pengrebab, pengendhang dan penggendèr.
Pengrebab disebut
telah ngrebabi, manakala mampu menerjemahkan kerangka gending ke dalam
melodi-melodi rebaban, mengalir, pleng, serta mampu memberikan ide musikal
terhadap permainan instrumen lainnya. Pernyataan untuk menengarai sebagai pengrebab
unggulan manakala hasil permainan rebabnya bisa mendirikan bulu kuduk para
pendengarnya. Penyaji gender disebut telah nggenderi, manakala telah mampu
menerjemahkan kerangka gending ke dalam permainan gender secara mengalir dalam memilih dan
menerapkan pola gender
dan wiletannya sesuai dengan esensi karakter gending yang sedang disajikan,
serta mampu berinteraksi secara musikal dengan penyaji instrumen garap lainnya.
Apabila di dalam permainan instrumen terdapat kualitas permainan yang dianggap
baik, di dalam penyajian vokal juga terdapat sejumlah kualitas dan suara yang
secara konvensional dipahami oleh masyarakat karawitan Jawa.
Berbagai
kualitas suara yang dipahami oleh masyarakat karawitan Jawa menunjukkan bahwa
di dalam masyarakat karawitan Jawa sejak lama yang berkait dengan suara manusia
telah terdapat konsep baik dan tidak baik. Oleh karena itu, dalam memilih
vokalis untuk kepentingan pertunjukan karawitan selalu mempertimbangkan
kualitas suara. Kualitas suara yang baik secara estetis oleh masyarakat
karawitan dikonsepkan ke dalam istilah gandhang, kung, gandem, empuk, kempel,
arum, anteb, landhung. Kualitas suara yang dianggap kurang memenuhi syarat
sebagai vokalis (untuk tidak mengatakan jelek) dikonsepkan ke dalam istilah
kemèng, ngeprèk, atos, cekak, dan langu.
Konsep
suara yang baik untuk keperluan pertunjukan karawitan ternyata tidak hanya
dibangun dari satu kualitas suara saja, melainkan merupakan perpaduan dari
sejumlah kualitas suara. Masing-masing vokalis yang dipandang telah memenuhi
persyaratan untuk keperluan pertunjukan karawitan, pada umumnya memiliki
sejumlah kualitas suara yang terpadukan itu.
Di
dalam penyajian vokal, dikenal istilah pleng, bléro, sasap, dan sliring.
Istilah-istilah ini digunakan untuk menyebut hasil sajian vokal kaitannya
dengan laras (nada). Istilah tersebut selain dalam vokal juga terdapat dalam
penyajian instrumen rebab, karena pada dasarnya nada-nada yang ditimbulkan dari
para vokalis dan pengrebab adalah ekspresi langsung dari pelakunya sendiri.
Dengan demikian terdapat beban dan risiko untuk mampu menyesuaikan terhadap
nada-nada gamelan. Dalam menyesuaikan terhadap nada-nada itu, bisa pleng, bléro,
sasap, dan sliring. Berbeda dengan instrumen, bahwa nada-nada pada instrumen
selain rebab telah dilaras secara pas, sehingga bagi pengrawit yang
menyajikannya sudah tidak ada lagi beban untuk menanggung risiko tidak sesuai
dengan nada-nada gamelan. Dari kenyataan inilah kemudian muncul konsep pleng,
bléro, sasap, sliring dan sebagainya.
1.
Pleng
Istilah
pleng di dalam vokal, yaitu menyuarakan nada, sama persis dengan nada gamelan
atau nada yang dituju, misalnya nada 6 dalam
gamelan disuarakan sesuai dengan nada nem dalam vokal.
2.
Bléro
Istilah Blero dalam vokal menyuarakan nada yang tidak sama, bisa lebih tinggi atau lebih rendah
dari nada gamelan. Misalnya nada 6 dalam gamelan di
suarakan lebih tinggi atau lebih rendah dari nada nem pada gamelan
3.
Sasap
Sasap
adalah menyuarakan nada-nada baik dalam instrumen rebab maupun vokal berada di
bawah larasan gamelan. Para empu pengrawit mengatakan bahwa sasap juga
terdapat dalam permainan rebab, yakni pidakan nada-nada selalu berada di bawah
larasan atau embat gamelan. Hal yang demikian ini para seniman sering
mengatakan “nggawa gamelan dhewe”-membawa
gamelan sendiri, karena suara yang dihasilkan tidak cocok dengan gamelan.
4.
Numpang
Di
dalam karawitan istilah numpang biasanya terjadi dalam permainan rebab, yakni
dalam steman dua dawai kawat rebab nada 6 (nem) dan nada 2 (ro). Steman numpang
adalah nada 6 dan nada 2 frekuensinya lebih tinggi dari nada 6 dan 2 pada
gamelan.
5.
Sliring
Sliring
terjadi karena terdapat ketidak stabilan, artinya kadang pleng, suatu saat numpang,
dan sasap. sliring adalah menyuarakan nada yang tidak ajeg. Sliring bukan
berarti tidak enak, atau tidak baik.
D. Tinjauan Estetika Garap dan Rasa Tembang
Tiap-tiap
hasil sajian tembang memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap
tercapainya estetika yang disajikan. Kategori larasan vokal yang pleng saja
yang mampu mencapai tataran rasa estetis yang diinginkan. Dapat dibayangkan
begitu rusaknya rasa estetik tembang, apabila vokalnya blero dan atau sasap, maka sebagus
apapun suaranya akan tetapi
karena tidak ditopang oleh kaidah-kaidah musikal tidak mungkin dapat dicapai
estetik yang prima.
Berdasarkan
catatan ditemukan di lapangan dalam masyarakat karawitan Jawa terungkap
sejumlah istilah yang digunakan untuk menyebut rasa. Para empu
pengrawit menyebut
sejumlah rasa yang ditimbulkan dari garap vokal tembang adalah sebagai berikut. Rasa
mbawani, nyindheni, nggerongi. Istilah ini konon tidak seluruhnya dikenal oleh
masyarakat karawitan. Masing-masing hanya mengenal istilah yang akrab dan
sering didengar dan diucapkan. Hal ini berkait dengan pandangan masing-masing
kelompok terhadap istilah itu, kaitannya dengan pemahaman tentang sikap yang
berlaku pada komunitasnya. Hal demikian boleh jadi, karena terdapat kaitan yang
erat dengan kebudayaan yang berlaku di keraton. Para pengrawit istana mengenal
istilah rasa yang demikian itu dimungkinkan karena di dalam istana semula tidak
dikenal keplok, senggak, dan pola permainan kendhang ciblon, imbal bonang, dan
dalam sajian klenéngan.
Secara
tradisional, estetik musikal suatu gending dapat dilihat dari ketepatan tafsir musikal para
pengrawit terhadap gending atau tembang yang disajikan. Ketepatan interpretasi
itu dalam bahasa estetika musikal karawitan Jawa diterjemahkan dengan istilah
mungguh, enak, lulut dan atut.
Mungguh
diartikan sebagai nilai kepatutan atau ketepatan garap dalam berolah seni.
Dalam karawitan mungguh dapat dimaknai ketepatan dalam memilih cengkok,
pola-pola permainan vokal dan atau instrumen. Hal ini suatu indikasi, bahwa
untuk menyajikan vokal atau gending dituntut sebuah kemampuan garap yang
tinggi. Enak adalah sajian vokal yang dapat membangkitkan kesan rasa nikmat,
selaras (ndudut ati) bagi pendengar atau penikmat seni. Lulut adalah eratnya
sebuah lilitan dari berbagai unsur musikal, yang digarap secara profesional.
Atut adalah menyatu, artinya menyatunya dari beberapa unsur musik, sehingga
membentuk suatu kesatuan yang utuh dan menimbulkan keselarasan.
Sebagai
pembuktiannya ditampilkan hasil pengamatan terhadap peristiwa pertunjukan
karawitan, serta mencermati hasil rekaman suara. Menganalisis rasa harus
mendasarkan kepada realitas garapnya saat bawa itu disajikan. Beberapa
pertimbangan untuk menganalisis rasa digunakan pendekatan musikologis, yang
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Konsep
rasa, dalam pengertian estetik tidak cukup hanya mengandalkan sebuah informasi
tentang karakter tembang. Realitasnya bahwa beraneka jenis tembang Jawa dapat
dihayati setelah disajikan. Maka sangat logis bilamana rasa tembang baru dapat ditangkap ketika sudah
disentuh oleh seniman dan dihayati setelah tembang itu disajikan.
Pada
dasarnya rasa tembang adalah persoalan kesan yang ditangkap dari hasil sajian
yang kemudian menerobos ke dalam batin penghayatnya. Rasa sifatnya adalah
imajiner, abstrak, dan non fisik, tidak dapat diraba. Sifat yang imajiner itu
berkait erat, bahwa rasa yang sampai pada tingkat carem itu pada awalnya dari
hasil imajinasi yang dibangun seniman kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
musikal. Maka, carem hanya dapat ditangkap oleh para pendengarnya lewat
kepekaan merasakan terhadap sesuatu yang menyentuh jiwa. Jadi, rasa hanya dapat
ditangkap lewat kecerdasan emosional para penghayatnya, dan bukan lewat
kecerdasan intelektual.
Setiap
generasi memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan diri, menafsir
serta mengaktualisasikan tembang. Dalam hal demikian sangat mungkin
terdapat pergeseran cara pandang dalam memakna rasa dari sudut pandang estetik.
Contoh
penyajian bawa, macapat waosan, penyajian sindhénan, dan jenis vokal lainnya yang oleh etnik tertentu dianggap baik belum tentu
dianggap baik oleh etnik yang lain. Misalnya, teknik seleh penyajian lagu sindhen pada etnik
Jawatimuran yang dianggap
baik adalah yang tepat seleh
lagu kenong dan seleh lagu gong. Pada etnik gaya
Surakarta dan Yogyakarta penyajian
sindhenan
yang demikian itu justru dipandang kurang enak karena terkesan kaku. Sedangkan
yang dianggap baik oleh etnik gaya Surakarta maupun Yogyakarta adalah teknik
nglawer atau melambat.
Ketika
seseorang melantunkan tembang dengan kualitas baik, biasanya
kewibawaanya sampai mempengaruhi lingkungan sekitarnya, semua orang diam dan
mendengarkan. Tembang itu kelihatan harmonis.
Yang
jauh lebih penting dan perlu dicermati, serta harus hati-hati adalah untuk
tidak mengatakan, bahwa penyaji tembang harus 100% bersih dari jenis-jenis
vokal lainnya. Berdasarkan sejumlah pengamatan tidak dijumpai seorang pun
penyaji tembang yang tidak terdapat pengaruh dari jenis vokal yang lain.
Penyaji
tembang adalah
seorang seniman yang memiliki imajinasi, kreativitas, serta suara yang baik,
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan lagu tembang sesuai dengan keyakinannya.
Biasanya penyaji tembang sangat memperhatikan berbagai aspek dalam melantunkan tembang termasuk dalam membuat variasi-
variasi agar sajiannya lebih menarik. Akan tetapi bagi seorang yang berlatar
guru atau pelatih tembang lebih banyak mempersoalkan kaidah- kaidah yang kadang juga
kurang jelas asal-muasal kaidah-kaidah itu. Saling meminjam variasi dalam
tembang Jawa adalah hal yang biasa, kendatipun masing-masing dipahami memiliki
konsep penyajian yang berbeda-beda. Oleh karenanya dalam memaknai tembang harus disikapi secara lebih longgar.
Dalam penyajian tembang yang jauh lebih penting adalah mengupayakan bagaimana
sajian tembang dapat memancarkan estetika. Sesuatu dapat dirasakan ketika
sesuatu itu telah menyentuh indera rasa manusia.
Menjadi seorang vokalis tembang yang baik, diharapkan
mempunyai suara gandhang,
kung. Berkaitan
dengan pernafasan: landhung, cekak. Kaitannya dengan bobot: gandhem, anteb, kemèng. Yang berkaitan dengan kelenturan: empuk,
atos. Yang berkaitan dengan larasan: arum, langu. Yang kaitannya dengan vibrasi: kempel,
ngeprèk, serak. Sedangkan yang ada kaitannya dengan ambitus: tekan, ngaya.
Kualitas
suara yang baik, secara estetis oleh masyarakat karawitan dikonsepkan ke dalam
istilah: gandhang, kung, gandem, empuk, kempel, arum, anteb, landhung. Kualitas
suara yang dianggap kurang memenuhi syarat sebagai vokalis dikonsepkan ke dalam
istilah: kemèng, ngeprèk, atos, cekak, dan langu.
Segala
jenis kesenian akan mencapai pada tataran rasa yang paling tinggi atau mencapai
keselarasan yang luar biasa yang menurut orang Jawa disebut “carem”.
Melantunkan bawa untuk dapat mencapai carem paling tidak: memiliki dasar suara
baik larasan pleng, menguasai teknik penyuaraan (céngkok, luk, wiled, gregel),
menguasai teknik pernafasan, mampu mengatur dinamika, mampu mengatur laya,
memiliki kepekaan pathet, dan mampu memilih céngkok sesuai dengan jenis suara.
TINJAUAN PERKEMBANGAN PATET PADA KARAWITAN SAAT INI
Seni Karawitan pada perkembangannya untuk saat ini, dari berbagai
pertunjukan klenengan maupun wayang kulit ketika saya amati dari masing-masing pertunjukan tersebut
terdapat suatu permasalahan mengenai patet. Dalam karawitan jawa patet sering dianggap
sebagai kerangka acuan yang digunakan oleh pengrawit ketika menabuh
gending-gending Jawa. Seperti penggender, pengrebab, sinden dan wiraswara akan memerlukan patet sebagai
pertimbangan pemilihan cengkok, wiled, dan sebagainya.
Dalam hal ini, ketika menabuh
gending patet sangat penting bagi instrumen-instrumen tertentu. Penabuh Bonang Barung dan Penerus tidak terlalu memerlukan patet
sebagi pertimbangan, lain halnya ketika Bonang Barung dan Penerus menabuh secara imbal dengan
sekaran, maka patet akan menjadi pertimbangan untuk
pemilihan wilayah nada.
Secara tradisi, patet dijaga agar murni
secara keseluruhan, tidak tercampur secara acak.
Pada perkembangannya di beberapa
pertunjukan
klenengan maupun iringan wayang kulit, patet sudah diabaikan
keberadaannya, jelas-jelas
di dalam karawitan jawa patet sudah ada pembagianya.
Sebenarnya didalam gending-gending tertentu sudah ada permainan patet
campuran, akan tetapi banyak masyarakat
seniman yang sudah tidak menghiraukan atau tidak mempertimbangkan
keberadaan patet itu sendiri. Kadang- kadang para seniman dalam menggarap suatu
gending sudah jarang sekali yang menggunakan pertimbangan adanya patet, bahkan
ada beberapa seniman yang mengatakan bahwa “nggarap gending kuwi pokoke kepenak dirungokke” . yang artinya dalam
menggarap suatu gending yang terpenting adalah enak didengarkan. Sehingga
kadang suatu garapan gending tanpa menggunakan aturan baku atau pakem adanya
patet, yang terpenting adalah harmonisasinya jadi bukan lagu pakemnya.
Misalnya ada seorang penonton yang nyumbang lagu, yaitu Bawa Dandanggula
laras slendro patet Sanga, akan tetapi penyumbang tersebut tidak memahami
kaidah-kaidah laras, patet dan nadanya pun tidak pas dengan nada gamelan, yang jadi heran
setelah bawa, penyumbang tersebut minta lagu Nyidamsari yang mana lagu tersebut
berlaraskan pelog. Ketika
penyumbang tersebut
diberitahu tentang aturan dan kebiasaan yang sudah ada, pertimbangan rasa dan
intinya sajian itu tidak bisa dilakukan. Akan
tetapi penyumbang lagu tersebut tetap bersikukuh untuk menyayikannya walaupun
nada lagunya tidak pas dengan nada gamelan. Dalam khasus-khasus tersebut mencampur patet maupun
laras dalam suatu gending menjadi hal
yang biasa.
Ketika
seni karawitan
digunakan sebagai musik dalam pertunjukan tari, gending-gending biasa dirangkai sedemikian rupa sehingga
suasana yang di inginkan dapat tercapai.
Misalnya dalam Tari
Remo, menggunakan
Gending Jula-Juli Laras Slendro Patet Wolu kemudian dilanjutkan Gending Tropongan
Laras Pelog Patet Limo. Patet dan Laras tersebut dicampur demi terciptanya suasana Harmonis dalam sajian tari. Dalam hal ini,
keseluruhan sajian tidak bisa dijaga kemurnian patetnya, tetapi detail garapan tiap gending tetap dijaga
patetnya. Beberapa pengrawit jawa memang
terbiasa dengan kemantapan suasana yang dibawa oleh patet-patet tertentu.
Bahkan patet menjadi kesatuan dari sebuah keutuhan, misalnya patet barang dalam
pahargyan manten, kemantapan ini timbul karena kebiasaan tradisi yang berjalan
lama.
Dalam
buku-buku yang sudah ada seperti Wedhapradangga (STSI press 1990:16), terdapat
penggunaan sendhon Kagok Ketanon manyuro dalam adegan gara-gara yang
seharusnya masih wilayah Patet Sanga. Bahkan dalam setiap pagelaran wayang kulit, Pada saat
adegan limbukan penonton ada yang meminta langgam Caping
Gunung Laras Slendro Patet Sanga saat itu. jelas-jelas adegan limbukan tersebut masih berada diwilayah Patet Nem. Kebiasaan interaksi antara
penonton dalam pertunjukan wayang kulit ikut menjadikan percampuran patet yang
sering terjadi.
Ada lagi pada pertunjukan wayang kulit dalam adegan gara-gara banyak sekali
yang masih menggunakan patet manyura dalam setiap lagu maupun gending. Yang
jelas jelas pada saat adegan goro-goro itu masih berada di wilayah patet Sanga.
Sehingga untuk saat ini kemurnian patet pada seni karawitan sudah
bercampur aduk
keberadaannya menyesuaikan perkembangan jaman yang ada.
BIODATA PENULIS
Adiyanto
dilahirkan di Semarang pada tanggal 02 Juli 1982. Sejak kecil ia sudah diajari
oleh orang tuanya di bidang seni,
diantaranya, seni karawitan, pedalangan dan seni tatah sungging wayang. Setelah
remaja Ia mematangkan ketrampilan olah seninya di SMKN 8 Surakarta Jurusan
Karawitan pada tahun 1998, kemudian melanjutkan kuliah di STSI Surakarta pada
tahun 2001 sampai semester 4 transfer ke STKW Surabaya lulus pada tahun 2006.
Sejak tahun 2011 di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jawa Timur Bidang Budaya, Seni dan Perfilman. Kemudian pada
tahun 2015 diangkat sebagai Pamong
Budaya Jawa Timur sampai sekarang. Di sela-sela kesibukanya sebagai Pamong
Budaya Ia juga aktif sebagai seniman, baik pelaku seni, pengkarya seni dan
pemerhati seni. Aktif menulis baik di media elektronikm media massa maupun
media cetak.
PENGALAMAN
BERKESENIAN
3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sabet pada Festival
Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya. 3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik
Bidang Sanggit Cerita pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa
Timur tahun 1999 di Surabaya. Sebagai
Pengamat Daerah pada Parade Lagu daerah Taman Mini “ Indonesia Indah” tahun
2011 mewakili provinsi Jawa Timur. Menjadi
salah satu pemusik dalam pertunjukan Festival Kesenian Indonesia III tingkat
Nasional tahun 2011 di Surabaya. Menjadi
Duta Seni mewakili Indonesia ke Ho Chi Mint City, Vietnam pada tahun 2005. Komposer
dalam Festival Gegitaan tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta. Komposer Iringan Tari Ganggasmara
dalam acara Festival Tari Sakral tingkat Nasional pada tahun 2013 di
Jogjakarta. Juara 1 (satu)
Komposer Iringan Tari Kidung Kasanga dalam acara Festival tari Sakral tingkat
Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 di Sidoarjo. Komposer Iringan Tari Mandaragiri dalam acara melasti
tingkat Provinsi Jawa Timur di Surabaya. Komposer
Iringan Tari Nawa Cita Negara Kertagama dalam acara Mahasaba Tingkat Nasional
pada tahun 2016 di Surabaya. Menjadi
Komposer pada Pembukaan Festival Seni Sakral tahun 2019 dengan Judul “ Babar
Sastra Pamucang” Juara
Penata Musik tradisional Terbaik pada Festival Seni Sakral Tingkat Nasional
Tahun 2019. Menjadi Ketua
Lembaga Seni Keagamaan Provinsi Jawa Timur, masa bhakti 2019-2023 Aktif menjadi Juri dan Narasumber d
berbagai kegiatan seni, seperti Macapat, Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan
dll.
BUKU
YANG TELAH DITULISNYA
Djoko Langgeng Dan Wayang Kulit Karyanya. Balungan
Gending Jawa Timuran. Karawitan
Jawatimuran. Pengetahuan
Vokal Jawatimuran. Campursari
Sekar Melati. Profil
Sekar Melati. Kebudayaan
Dalam Opini, Kebudayaan Dalam Opini,Tinjauan Seni Karawitan
No comments:
Post a Comment