Search This Blog

19 Mar 2022

GENDING PANGKUR DALAM PERSPEKTIF HISTORY SEKAR MACAPAT, SINDENAN DAN GERONGAN

 S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya

 

 
 
 
 
GENDING PANGKUR DALAM PERSPEKTIF HISTORY
SEKAR MACAPAT, SINDENAN DAN GERONGAN
 
Adiyanto
Mahasiswa S-3 Antropologi Budaya
Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Email: yantoadipuji@gmail.com
 

Sejarah Gending Pangkur

Garap gending dalam sebuah sajian karawitan jawa sangat banyak macamnya, disesuaikan oleh skill kemampuan, rasa, serta selera dari penyajinya. Salah satu diantaranya adalah gending pangkur. Menurut R. Ng. Pradjapangrawit atau Warsadinigrat salah satu empu karawitan kraton di tahun 1920-an dalam bukunya yang berjudul Wedhapradangga, mengatakan bahwa pencipta gending Pangkur adalah R.M. Harya Tandhakusuma. Induk dari gending Pangkur sebenarnya adalah sekar Macapat Pangkur paripurna yang kemudian terjadi pergeseran fungsi dan tujuan yang semula sebagai sekar waosan kemudian berubah menjadi gending Pangkur laras slendro pathet sanga, yang dalam penyajiannya menggunakan sarana seperangkat gamelan yang digunakan untuk gending beksan langendriyan, dalam penyajiannya digarap dengan model sindenan menggunakan cakepan Pangkur Paripurna dan tidak menggunakan lagu gerongan. (K.R.T. Warsodiningrat, 1972: 155).

Dalam buku Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal Music tercatat sebagai berikut:

 Gendhing Pangkur came from Pangkur Paripuma, slendro pathet sanga, a gendhing langen driya composed by Raden Mas Harya Tandhakusuma with no gerongan but with a sindhenan whose text was sekar pangkur Paripuma”. (Judith Becker, 1987:155).

 

Artinya adalah: “gending pangkur diambil dari sekar macapat Pangkur paripurna laras slendro pathet sanga, gending Pangkur digunakan untuk beksan langendriyan, yang diciptakan oleh Raden Mas Harya Tandhakusuma, tidak menggunakan lagu gerongan, tetapi disajikan dengan garap sindenan dengan mengunakan syair lagu sekar macapat Pangkur Paripurna”.

 

       

Sumarsam mengemukakan pendapat dalam bukunya yang berjudul “Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa”, dikatakan olehnya bahwa gending pangkur merupakan karya gending dari sekar macapat pangkur paripurna yang dimulai dari bagian irama ciblon atau wilet terlebih dahulu, sedangkan gending pangkur pada bagian irama tanggung dan irama dadi diciptakan belakangan. Irama tanggung dan irama dadi tersebut merupakan versi ringkasan dari gending pangkur irama ciblon atau wilet. (Sumarsam, 2003: 283-284).

Dalam buku pengetahuan karawitan jilid I dan II, R.L. Martopangrawit mengatakan bahwa gending pangkur yang kuno, dulunya tidak mempunyai bagian yang disebut dengan irama tanggung dan irama dadi. pada perkembangannya gending Pangkur yang selanjutnya munculah gending Pangkur dengan menggunakan irama tanggung dan irama dadi. (Martopangrawit, 1975 : 35-36).

Perubahan dari sekar Macapat Pangkur Paripurna ke dalam balungan gending Pangkur bagian irama ciblon atau wilet, adalah sebagai berikut:

Sekar Macapat Pangkur dan balungan gending Pangkur irama ciblon atau wilet

 

Perkembanga dari irama ciblon atau wilet gending Pangkur ke dalam bagian irama tanggung dan dadi, adalah sebagai berikut:

Kajian gending Pangkur menurut sejarah seperti yang telah tersebut diatas, dapat dianalisa bahwa keberadaan gending Pangkur tersebut berasal dari sekar Macapat Pangkur Paripurna, yang disajikan untuk kebutuhan beksan langendriyan. Dengan garap sajian menggunakan sindenan dengan cakepan sekar macapat Pangkur Paripurna, tanpa menggunakan lagu gerongan. Dalam penyajian gending Pangkur tersebut, digarap dengan menggunkan irama ciblon atau wilet, yang pada perkembangannya disusul dengan garap sajian menggunakan irama tanggung dan irama dadi.

Penyajian gending Pangkur secara tradisional diawali dengan sajian irama tanggung atau irama dadi kemudian selanjutnya digarap menggunakan irama wilet, selalu diawali dengan sajian irama dadi. Apabila mengacu pada pendapat tersebut, Ladrang Pangkur Paripurna diciptakan pertama kali untuk keperluan gending langendriyan yang mengedepankan garapan bagian irama wilet sebagai sarana untuk dialog, maka Ladrang Pangkur Paripurna bagian irama tanggung dan dadi, hanya digunakan sebagai rambatan sebelum menuju pada sajian irama wilet.

 

Gerongan Gending Pangkur (Cakepan Sekar Kinanthi Dan Sekar Pangkur)

Menurut cerita di lingkungan pengrawit keraton Surakarta, gerongan baru lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IX (akhir abad XIX), konon pada waktu itu, secara periodik susuhunan berkenan bersilaturahmi dengan Pangeran Mangkunegara IV di pasanggrahan Langen Harjo ( kurang lebih sekitar 5 km dari Surakarta kearah selatan). Selain berbincang-bincang, pada setiap pertemuan tersebut selalu disuguhkan pula acara-acara kesenian. Pada suatu pertemuan, Paku Buwana IX berkenan menyuguhkan sajian kesenian baru/ kejutan dengan menampilkan vokal gerong, yaitu sajian vokal bersama yang dilakukan oleh sekelompok wiraswara/ vokalis pria yang disebut penggerong. Dalam sajian vokal bersama tersebut dilagukan menggunakan irama metris (mengikuti matra dari gending). Dari peristiwa tersebut diperkirakan mulai timbulnya gerongan pada karawitan. (R.L. Martapangrawit, 1988)

Sebelumya di dalam karawitan hanya terdapat istilah sindenan untuk menyebut seni suara vokal didalam gending. Sindenan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seni suara vokal baik untuk vokal bersama atau koor (yang pada waktu itu dilakukan oleh sekelompok pesinden) wanita dan atau pria (seperti sindenan bedaya/ srimpi), maupun vokal tunggal putri yang dilakukan oleh pesinden/ waranggana atau swarawati dengan irama lagu ritmis (tidak terikat oleh matra gending). Sejak dikenalkannya gerong prakarsa paku Buwana IX tersebut, yang konon disajikan oleh Pangeran Kusumabrata, saat itu gending yang di sajikan adalah gending Pangkur Paripurna laras slendro patet sanga. Kemudian barulah muncul pemisahan penggunaan istilah sindenan dengan gerongan. Sindenan digunakan untuk menyebut vokal putri, baik vokal tunggal maupun vokal bersama pada sindenan bedaya/ srimpi, sedangkan untuk vokal bersama pria disebut penggerong. (R.L. Martapangrawit, 1988).

K.R.T Warsodiningrat dalam Wedhapradangga, menyebutkan:

“Sareng jumeneng dalem ingkang Sinuwun Paku Buwana XI kaping sewelas, sadhatengipun Nipon (Jepang) nguwaosi tanah jawi, sedaya ungel-ungelan utawi pakecapan ingkang mawi basa landi wau, dhawuh dalem, ingandikakaken anyantuni cakepanipun gending Ludira piyambak, inggih punika: Mideringrat hangelangut, sapiturutipun, mijilipun wastra ngangrang tebinging patani, sapiturutipun, dene gendhing Ludiramadura minggah Kinanthi lajeng Mijil, dalah sakcakepanipun wau yasan dalem Paku Buwana V”.

 

“Panembrama gendhing Ludira kasebut nginggil wau, kejawi kagem sisindhen Kinanthi Sarimpi, dawuh dalem Paku Buwana X, ingandikakaken kangge gerongan gendhing Pangkur ingkang laras slendro pathet sanga”. (K.R.T. Warsodiningrat, 1979: 90).

 

Artinya adalah: “bersamaan dengan naiknya tahta kerajaan Paku Buwana XI yang kesebelas, dengan kedatangan tentara Jepang (Nipon) menguasai tanah Jawa, semua pembicaraan yang menggunakan bahasa Belanda, raja memerintahkan, untuk memeriksa syair gending Ludira sendiri, yaitu: Mideringrat hangelangut, dan seterusnya. Mijilnya: Wastra ngangrang tebinging patani, dan seterusnya, Sedangkan gending Ludiramadura minggah Kinanthi terus Mijil, beserta syairnya adalah ciptaan Paku Buwana V”.

 

“penyajian gending Ludira tersebut diatas, selain digunakan suara vokal Kinanti Sarimpi, perintah Paku Buwana X, mengatakan untuk digunakan dalam gending Pangkur yang menggunakan laras slendro patet sanga”.

 Berdasarkan  pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa gending Pangkur laras slendro patet sanga, memiliki vokal gerongan yang diambilkan dari syair gending Ludiramadura, karena situasi pada saat itu, Sinuwun Paku Buwana XI memerintahkan untuk tidak menggunakan bahasa Belanda, sehingga beliau memeriksa sendiri syair yang digunakan dalam gending Ludira tersebut.  Syair lagunya adalah: Mideringrat hangelangut dan seterusnya, yang merupakan karya dari leluhur beliau yaitu Paku Buwana V. Penyajian gending Ludiramadura minggah Kinanti lajeng Mijil tersebut, Sinuwun Paku Buwana X memerintahkan supaya syair vokal pada Kinanti Sarimpi digunakan dalam gending Pangkur Laras Slendro patet sanga.  

Menurut para empu dikalangan pengrawit sepuh keraton Surakarta, bahwa pada masa Paku Buwana IX dan Pangeran Mangunegara IV selain untuk Bedaya dan Srimpi belum ada gending yang mempunyai vokal bersama atau koor, akan tetapi setelah peristiwa gending Pangkur yang di garap menggunakan vokal bersama atau koor yang disuarakan oleh vokalis pria (penggerong), lalu timbulah bakat seni Pangeran  Mangkunegara IV yang menumbuhkan inspirasi dan kemudian menyusun sembilan paket gending berbentuk ketawang yang mengutamakan vokal gerongan sebagai tulang punggungnya, yaitu: ketawang Langengita, Walagita, Rajaswala, Sitamardawa, Puspanjala, Tarupala, Puspagiwang, Lebdasari dan Puspawarna. (Haryono, 1994: 44).

Keberadaan ngelik gending Pangkur pada irama ciblon atau wilet, meminjam dari bagian ngelik ladrang Kasmaran (Eling-Eling). Penambahan bagian ngelik pada ladrang Pangkur ini dimaksudkan sebagai pelengkap agar sajian gending tidak kemba atau hambar. Buku “Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal Music”, tercatat sebagai berikut:

 

“When Paku Buwana X obtained Gendhing Pangkur, he changed the laras to pelog pathet barang and added a gerong part. The wilet of the gendhing and the melody and wilet of the gerong part reflect great feeling and a sense of respect proper to the kraton. To enhance the beauty and effectiveness of Gendhing Pangkur, a ngelik from Ladrang Kasmaran was added. Upon approaching the first kenong, the irama changes to rangkep. After the gong, the irama reverts to its previous state. [These alternations in irama] became standard [during the reign of Paku Buwana] X, and for that reason Pangkur [played in this style] is referred to as "the Pangkur of Kaping Sadasa" [that is, of Paku Buwana X]. (Judith Becker, 1987:155).

 

Artinya adalah: “Ketika Paku Buwana X memperoleh Gendhing Pangkur, ia mengubah laras menjadi pelog pathet barang dan menambahkan bagian gerong. Wilet dari gendhing dan melodi, dan wilet dari bagian gerong mencerminkan perasaan yang besar dan rasa hormat yang tepat untuk keraton. Untuk meningkatkan keindahan dan efektivitas gendhing Pangkur, ditambahkan sebuah ngelik dari Ladrang Kasmaran. Saat mendekati kenong pertama, irama berubah menjadi rangkep. Setelah gong, irama kembali ke keadaan sebelumnya. Pergantian irama ini menjadi standar pada masa pemerintahan Paku Buwana X, dan oleh karena itu Pangkur yang dimainkan dengan gaya ini, disebut sebagai "Pangkur Kaping Sadasa" yaitu:  Paku Buwana X.

 

Kutipan pernyataan diatas menunjukan, bahwa bagian ngelik Ladrang Pangkur tersebut ada sejak zaman Paku Buana X, yang meminjam dari bagian ngelik Ladrang Kasmaran (Eling-eling). Penambahan bagian ngelik ini dimaksudkan sebagai pelengkap agar sajian ladrang Pangkur tidak kemba (hambar) karena disajikan dalam bentuk klenengan, jika disajikan dalam bentuk langendriyan maka tidak akan memerlukan penambahan ngelik yang digarap rangkep seperti pada Ladrang Kasmaran (Eling-eling), karena dalam langendriyan hanya dibutuhkan vokal sindenan atau macapatnya saja. Pada sajian klenengan, ngelik menjadi ajang garap terutama pada irama rangkep. Maka semuanya juga akan ikut untuk menggarap rangkep yang umumnya pada garap rangkep terkesan gayeng, serta prenes. Maka dari itu perlu ditambahkan ngelik dari Ladrang Kasmaran yang menggunakan garap rangkep agar terkesan lebih sigrak serta tidak kemba atau hambar.

Peminjaman bagian ngelik yang disebut diatas sepertinya tidak diadopsi secara utuh, tetapi diambil kenong pertama, kenong ke dua, dan tiga gatra kenongan ke tiga yang digunakan untuk keperluan bagian ngelik Ladrang Pangkur laras slendro pathet sanga mempunyai kerangka balungan gending yang berbeda. Namun demikian keduanya masih mempunyai nada-nada seleh yang sama. (Uni Ambarwati, 2019: 76).

 K.R.T Wasitodiningrat dalam bukunya “The Vokal Natation Of K.R.T Wasitadiningrat Volume I: Slendro”, mendiskripsikan garap gending Pangkur yang disajikan dengan menggunakan sindenan tanpa menggunakan gerongan, cakepan sekar Pangkur Paripurna tersebut yaitu: “Jinejer ning wedhatama, Mrih tan kemba kembenganing pambudi, Mangka nadyan tuwa pikun, Yen tan mikani rasa, Yekti sepi asepa lir sepah samun, Samangsane pakumpulan, Gonyak-ganyuk nglelingsemi”. Disajikan pada irama ciblon atau wilet tanpa menggunakan ngelik, dengan garap sindenan mengunakan irama ritmis atau tidak terikat dengan matra gending. (K.R.T. wasitodiningrat, 1995: 112-113).

Lagu dan cakepan gerongan gending-gending gaya Surakarta “Dibuang Sayang” karya R.L. Martopangrawit, mencatatkan gerongan Pangkur Paripurna laras slendro patet sanga dengan garap irama tanggung menggunakan syair rujak-rujakan, yaitu : Rujak laos ginodhong lestari atos, Durung jegos anggepe kaya wus bontos, Ala bapak balung sate, yen wani ijen-ijenan. Irama dadi menggunakan cakepan salisir dan pangkur larasmadya, syair salisirnya adalah: Parabe sang smara bangun, Sepat domba kali oya, aja dolan lan wong priya, gerameh nora prasaja, sedangkan syair pangkur laras madyanya yaitu: Sekar pangkur kang winarna, lelabuhan kang kanggo ing ngaurip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ingkang tata karma, den kaesti siyang ratri. Pada irama ciblon atau wilet menggunakan ngelik dan cakepan gerongan kinanti, syair lagunya adalah: Midering rat hangelangut, Lelana njajah nagari, Mubeng tepining samudra, Sumengka hanggraning wukir, Anelasak wana wasa, Tumuruning jurang terbis, sedangkan untuk ngelik menggunakan syair: Sayekti kalamun suwung, Tangeh miriba kang warni, Lan sira pepujaning wang, Manawa dhasaring bumi, Miwah luhuring angkasa,Tuwin jroning jalanidhi.(R.L. Martapangrawit, 1988: 88-90).

Tuntunan Karawitan gending Jawi mendiskripsikan gerongan gending pangkur pada irama dadi menggunakan cakepan yang diambil dari serat “Pralambangin Rasa Kenya” karya Mangkunegara IV. Syair cakepan tersebut pada gending pangkur irama dadi menggunakan salisir, yaitu : Indahe swasana mahya, Sapta wlas agustus warsa, Eka nawa catur panca, Dorengan wiwit mardika. Irama ciblon atau wilet menggunakan cakepan kinanti, yaitu: Kinanti pralambangipun, Kenya kang nedeng birahi, Anglir sekar naga puspa, kang medem mencit neng uwit, Sekare mudra salaga, Kang sari misih piningit, untuk gerongan pada ngelik, yaitu: Kang ganda mung sumber arum, Tan kongas sangkaning tebih, Marma sagung kang sadmada, Kang ngruruh maduning sari, kekilapan kang mangkana, mung marsudi kang kaeksi. (Kodirun, B.A, 1975: 28-31). 

K.R.M.T Bodjrodiningrat mengatakan bahwa gerongan gending Pangkur irama ciblon atau wilet yang pertama ada adalah menggunakan cakepan sekar Kinanti. Adanya gerongan gending Pangkur menggunakan cakepan sekar Pangkur adalah perkembangan kemudian. Gending Pangkur pada irama ciblon atau wilet dianggap lebih sigrak, sedangkan gending Pangkur yang menggunakan cakepan sekar Pangkur dianggap kurang sigrak dan dianggap sulit untuk para wiraswara yang belum berpengalaman, karena guru wilangan atau jumlah suku katanya tidak sama. Untuk guru wilangan atau jumlah suku kata sekar Kinanti : 8, 8, 8, 8, 8, 8. Sedangkan sekar Pangkur : 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8. (R.M.S. Gitasapraja,1996: 38).

Buku panduan rekaman gendhing mat-matan volume 5-8, mendiskripsikan gerongan Pangkur pada irama dadi menggunakan cakepan salisir, syairnya yaitu: Parabe sang smara bangun, Sepat domba kali oya, aja dolan lan wong priya, gerameh nora prasaja. Sedangkan untuk irama ciblon atau wilet diberikan opsi pilihan antara menggunakan gerongan cakepan sekar Pangkur dan cakepan sekar Kinanti. Gerongan yang menggunakan cakepan sekar pangkur, yaitu dengan syair: Sekar pangkur kang winarna, lelabuhan kang kanggo ing ngaurip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ingkang tata karma, den kaesti siyang ratri, sedangkan untuk gerongan yang menggunakan cakepan sekar Kinanti, dengan syairnya yaitu: Midering rat hangelangut, Lelana njajah nagari, Mubeng tepining samudra, Sumengka hanggraning wukir, Anelasak wana wasa, Tumuruning jurang terbis.

Berbagai Garap sajian Gending Pangkur

Sebagai karya kreatifitas, gending Pangkur terbuka untuk diinterpretasi  musikalitasnya sesuai dengan citra rasa estetik dari para penggarapnya. Bentuk interpretasi musikal terhadap sajian Ladrang Pangkur yang berupa: tafsir instrumentasi, tafsir irama, tafsir dinamik, tafsir laras dan pathêt, tafsir vokal, dan sebagainya diwujudkan dalam garapan aneka Pangkur yang kemudian diberi sebutan sesuai dengan unsur garap yang ditonjolkan, seperti: Pangkur Pamijen, Pangkur Jengleng, Pangkur Gobyog, Pangkur Cengkok Kethoprak, Pangkur Wolak-walik, dan sebagainya.

Pangkur Pamijen adalah ladrang Pangkur yang disajikan secara tradisional dengan sajian gending, seluruh ricikan atau instrumen dalam sajian ini ikut dimainkan. Namun demikian, untuk menambah variasi garap dalam sajian tersebut, kadang-kadang diselingi garapan gendhing dengan hanya menampilkan ricikan tertentu untuk ditonjolkan garap-nya. Pemilihan garap ricikan yang demikian merupakan bentuk perkembangan garap musikal yang berpijak dari tafsir instrumentasi. Salah satu sajian gending yang berpijak dari tafsir instrumentasi tersebut adalah Pangkur Pamijèn.

Garapan Pangkur Jenggleng diduga berasal dari daerah Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari lagu vokal yang diambil dari lagu Rambangan Pangkur Paripurna yang digarap Jenggleng. Selain itu garap Pangkur Jenggleng sangat populer di daerah Yogyakarta. Ketika almarhum Basiyo (pelawak) masih hidup, ia selalu menyajikan Pangkur Jenggleng pada setiap acara uyon-uyon manasuka di RRI Yogyakarta. Penyajiannya diselingi dengan banyolan-banyolan yang segar, sehingga menjadikan garapan Pangkur Jenggleng banyak disukai oleh para pendengarnya. Cakepan sekar Pangkur yang selalu disajikan oleh almarhum Basiya dalam garapannya, mengambil dari Serat Wedhatama pupuh I, yaitu: Uripe sepisan rusak, nora mulur nalare ting seluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki. (Sugimin, 2013: 101).

Pangkur Jenggleng adalah bentuk pengembangan garap musikal ladrang Pangkur yang berpijak dari tafsir garap intrumentasi yang lain. Pangkur Jenggleng adalah sajian Ladrang Pangkur dengan menampilkan ricikan balungan, seperti: demung, saron, dan slentem sebagai garapan ricikan yang menonjol. Tabuhan ricikan balungan dilakukan secara bersama-sama dengan intensitas tabuhan yang keras dan digunakan sebagai penguatan rasa seleh pada nada-nada seleh lagu vokal. Suara gleng yang ditimbulkan dari tabuhan ricikan balungan pada sajian ladrang Pangkur inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Pangkur Jenggleng.

Pangkur Cengkok Kethoprak biasanya digunakan pada penyajian ketoprak, sehingga disebut cengkok ketoprakan.Penyajian gendingnya hanya menampilkan satu macam garapan irama, yaitu irama rangkep dengan menggunakan pola kendhang ciblon. Dengan sajian semacam ini, maka Pangkur Cengkok Kethoprak merupakan bagian Ladrang Pangkur yang disajikan secara mandiri, yakni bukan merupakan rangkaian sajian Ladrang Pangkur secara keseluruhan. Pemilihan satu macam garapan irama semacam ini merupakan bentuk interpretasi musikal yang berpijak dari tafsir irama. Penyajian pada umumnya selalu memunculkan  senggakan untuk membangun suasana kasmaran.

Pangkur Wolak-walik adalah garap ladrang Pangkur yang disajikan dalam laras slendro maupun pelog, pada umumnya disajikan dalam irama wiled dan rangkep dan disajikan dengan menggunakan dua perangkat gamelan laras slendro dan pelog secara bergantian dalam satu sajian gending. Sajian semacam ini merupakan bentuk perkembangan garap musikal yang berpijak dari tafsir laras dan patet. Pemilihan patet dalam sajian  Pangkur wolak walik sangat mempertimbangkan larasan gamelan yang digunakan, supaya pada saat pergantian dari laras slendro menjadi laras pelog atau sebaliknya tidak terasa njeglek. (Sugimin, 2013: 101-108).

Gending Pangkur garapan Ki Nartasabda adalah bentuk reinterpretasi yang berpijak dari balungan gending Ladrang Pangkur. Beliau banyak menggarap Ladrang Pangkur dengan menonjolkan garap irama dan vokal yang kemudian diberi judul sesuai dengan tema yang terkandung dalam syair lagu, seperti Pangkur Gala-gala, Pangkur Padhang Rembulan, Pangkur Sumbangsih, Pangkur Rimong Batik, Pangkur Macan Ucul, dan sebagainya (A. Sugiarto, 1998 : 137-162).

 Kesimpulan

Terdapat opini dalam masyarakat pelaku seni atau seniman bahwa gerongan gending Pangkur harus menggunakan cakepan sekar pangkur, dan yang menggunakan cakepan sekar kinanti adalah sesuatu yang tidak ada dan bahkan dianggap sesuatu yang salah. Diantara perdebatan para seniman tersebut, dalam perspektif historis telah terjawab bahwa gerongan gending Pangkur yang menggunakan cakepan sekar kinanti dibenarkan oleh sejarah dan bahkan keberadaannya sudah ada sejak dulu yaitu pada masa Paku Buwana IX. 

Dengan kajian analisa literatur terkait dengan gending Pangkur dalam perspektif historis, sebenarnya pendapat para pelaku seni atau seniman terkait dengan garap vocal macapat, sindenan ataupun gerongan hanya berpijak pada situasi yang terjadi maupun pada hasil penyajiannya. Kajian analisa tentang gending Pangkur tersebut  bukan dilihat dari aspek sejarah yang telah tertulis melainkan lebih condong kepada informasi verbal yang ditularkan melalui turun temurun. Hal tersebut membuat seolah-olah gerongan gending Pangkur yang benar, hanya di gerongi menggunakan cakepan sekar Pangkur.

Secara historis  gending Pangkur yang ada, disajikan dengan garap vokal sindenan tanpa menggunakan vokal gerongan dengan memakai cakepan sekar Macapat Pangkur. Sajian gending Pangkur  tersebut digunakan sebagai sajian untuk  kebutuhan langendriyan, pada perkembangannya dimasa Paku Buwana IX munculah gerongan gending Pangkur yang mengambil cakepan dari syair bedhaya Ludiramadura dengan cakepan syair Kinanti. Selanjutnya dalam irama wilet ditambahi ngelik dengan mengambil ngelik dari ladrang Eling-Eling Kasmaran. Perkembangan selanjutnya terdapat aneka garapan gending Pangkur yang merupakan karya kreatifitas para pelaku seni menyesuaikan kebutuhan.

Berbagai ragam garap ladrang Pangkur seperti yang telah dipaparkan tersebut diatas menunjukkan bahwa sampai tahapan ini gending Pangkur telah mengalami perkembangan garap vokal dan musikal sesuai dengan dinamika yang berkembang dalam dunia karawitan. Terkait dengan penyajian gending Pangkur yang hanya sindenan saja, menggunakan gerongan kinanti, menggunakan gerongan Pangkur ataupun digarap dengan versi yang lain itu semua disesuaikan dengan kebutuhan dan selera dari pelaku seninya. Dalam sajian gending Pangkur sudah tidak ada lagi garapan yang salah dan benar, yang ada hanyalah enak dan tidak enak, harmonis dan tidak, disesuaikan dengan skill dari pelaku seni itu sendiri atau dengan kata lain menyesuaikan selera. Dengan munculnya aneka garapan gending Pangkur tersebut, yang akan terjadi keberadaan gending Pangkur semakin populer di masyarakat khususnya seni karawitan.

 

Daftar Pustaka

 Ambarwati U, Suyoto (2019). “Ngelik Silihan Dalam Karawitan Gaya Surakarta”. Keteg. Vol. 19. No. 2. hlm. 67-84.

 Becker, Judith (1987). Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal Music”. America, Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan.

 Gitosaprojo, R. M. S (1996). “Buku Panduan Rekaman Gendhing Mat-Matan Volume 5 - 8”. Surakarta: Hadiwijaya.

_____________   (1992). “Titi Laras Gendhing Jilid I”. Surakarta: Hadiwijaya.

 Haryono (1994). “Gending Ketawang Puspawarna Awal Jadi Dan Perkembangannya”. Yogyakarta. Lembaga Penelitian Institut Seni Yogyakarta.

 Kodirun, B.A (1975). “Tuntunan Karawitan Gending Jawi Jilid I”. Surakarta: T.B Pelajar.

 Martapangrawit, R.L (1975). “Pengetahuan Karawitan” Jilid I dan II”. Surakarta: ASKI.

 _____________(1988). “Dibuang Sayang”. Surakarta: Seti-Aji. ASKI.

 Sugiarto, A (1998).  Kumpulan Gending-gending Karya Ki Nartosabdo”. Semarang : Pemda Tingkat I Jawa Tengah.

 Sugimin (2013). “Aneka Garap Ladrang Pangkur”. Keteg. Vol. 13. No. 1. hlm. 88-122.

 Sumarsam (2003). “Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar offset.

 Warsodiningrat, K.R.T (1979). “Wedhapradangga”. Surakarta: Sekolah Menengah Kesenian Indonesia.

 

Link Download File (dibawah ini)

https://id.scribd.com/document/565652360/GENDING-PANGKUR-DALAM-PERSPEKTIF-HISTORY-SEKAR-MACAPAT-SINDENAN-DAN-GERONGAN
















 

SLENDANG SUTRA PELOG BARANG LANGGAM NOTASI BALUNGAN (ADITYASTUTI)

 SLENDANG SUTRA PELOG BARANG LANGGAM NOTASI BALUNGAN (ADITYASTUTI)