Search This Blog

15 Oct 2021

SARASEHAN MACAPAT DI DISDIKBUD SIDOARJO (ADIYANTO)

 

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo menggelar Macapat rutin Anggara Kasih,
pada hari Rabu13 Oktober 2021.
dengan narasumber 
1. Adiyanto, S.Sn, MM
2. Oto Bambang Wahyudi
3. Suwarno
dalam sarasehan dihadiri oleh sanggar-sanggar Macapat di Sidoarjo, seperti Sekar Kawedhar, Jenggolo Manik dan masih banyak lagi.
 




MATERI SARASEHAN MACAPAT RABU 13 OKTOBER 2021

DI SIDOARJO

oleh : Adiyanto, S.Sn, MM

VOKAL MACAPAT

 

A.        Pengertian Macapat

Berdasarkan keterangan dari serat Mardawalagu (R. Ng. Ranggawarsita) macapat berasal dari kata maca dan pat, yang berarti buku bacaan (serat waosan) yang ke empat. Disebutkan juga sebagai frasa maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Dikatakan bahwa Maca-sa-lagu menjadi yang tertua yang konon diciptakan oleh para dewa yang diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Kategori ini yang sekarang disebutkan sebagai Tembang Gedhe. Maca-ro juga termasuk tipe tembang gedhé yang mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Sementara itu, Maca-tri menjadi kategori yang ketiga dan termasuk dalam tembang tengahan. Konon jenis ini diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan lagi oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Terakhir adalah Maca-pat-lagu yang mewakili Macapat atau disebut juga tembang cilik. Tembang ini diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.

Menurut Padmopuspito  dan  Suwardi  Endraswara mengartikan macapat adalah membaca empat-empat (macane papat-papat).

R.M.S Gitosaprodjo menyebutkan bahwa sekar macapat berasal dari kata macapat yang berarti dari desa ke desa. Jadi sekar macapat mempunyai arti tembangnya rakyat pedesaan.

Mula-mula macapat itu tidak untuk dilagukan, tetapi untuk membaca suatu cerita. Biasanya macapat itu berisi suatu cerita, pendidikan (tuladha), kisah (lelakon). Bahasa yang digunakan dalam macapat itu merupakan bahasa yang populer. Bentuk lagunya pun sederhana sehingga macapat ini seperti sudah memasyarakat dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun kelihatannya sederhana, tetapi sebenarnya di dalam macapat ini banyak terdapat hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh para seniman karawitan.

 

B.        Sejarah Macapat

Tembang Macapat memiliki sejarah yang cukup rumit untuk diketahui. Secara umum sejarah macapat ketika merujuk pada pendapat Pegeaud diketahui tercipta pada akhir masa Majapahit atau sejak hadirnya pengaruh Walisongo. Hanya saja, pendapat Pegeud bisa dikatakan kalau hanya berlaku untuk tembang macapat di Jawa Tengah, sebab di Jawa Timur dan Bali, sejarah Macapat telah dimulai sejak sebelum datangnya Agama Islam.

Di sisi lain, Purbatjaraka mengatakan bahwa macapat lahir bersamaan Syair Jawa Tengahan. Pendapat itu juga diperkuat oleh Karseno Saputra. Ia mengatakan “Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan. Jika tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan Macapat telah hadir dikalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 Masehi”.

Perkiraan diatas adalah berdasar angka tahun yang terdapat pada kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma = 1643 J atau 1541 Masehi. (Saputra, 1992 : 14 ). Pada kisaran tahun tersebut hidup berkembang puisi berbahasa jawa kuno, jawa tengahan dan jawa baru yaitu kekawin, kidung dan macapat.

Tahun perkiraan diatas sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder lebih kurang pada abad XVI di jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu jawa kuno, jawa tengahan dan jawa baru.

Melihat dalam Mbombong manah (Tedjohadi Sumarto 1958 : 5), disana telah disebutkan bahwa Macapat, dalam hal ini mencakup 11 Metrum adalah diciptakan oleh Prabu Dewawasesa (Prabu Banjaransari) di Segaluh di tahun Jawa 1191 (Masehi 1279). Meskipun begitu, selalu aja terdapat sumber lain yang memperkirakan bahwa Tembang Macapat diperkirakan telah dibuat tidak hanya oleh satu orang saja, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan. ( Laginem, 1996 : 27 ). Sebut saja Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra dan Adipati Nata Praja.

Kajian Ilmiah telah menyebutkan bahwa terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai keberadaan macapat. Jika pendapat yang pertama mengatakan bahwa macapat adalah lebih tua ketimbang Tembang Gede, pendapat yang kedua mengatakan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada pendapat lain tentang timbulnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa.

Pendapat yang mengatakan bahwa macapat lebih tua dari pada Tembang Gede memperkirakan macapat timbul pada zaman Majapahit akhir ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai berkembang ( Danusuprapta, 1981 : 153-154 ).

Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada. ( Poerbatjaraka, 1952 : 72 ).

Sedangkan yang berpendapat bahwa macapat lebih muda dari Tembang Gede beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir.

Lahirnya macapat berurutan dengan kidung, muncullah tembang gede berbahasa jawa pertengahan. Berikutnya muncul macapat berbahasa Jawa Baru dan pada zaman Surakarta awal, timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa jawa baru yang banyak digemari adalah kidung dan macapat.

Proses pemunculan bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa pertengahan yang biasa disebut dengan kitab-kitab kidung. Kemudian muncul karya-karya berbahasa jawa baru berupa kitab-kitab suluk dan kitab-kitab niti. Kitab suluk dan kitab niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.

Dalam hipotesis Zoetmulder (1983 : 35) disebutkan bahwa secara linguistik bahasa jawa pertengahan bukan merupakan pangkal Bahasa Jawa Baru. Melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa jawa kuno. Bahasa jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Sejak datangnya pengaruh Islam, bahasa jawa kuno berkembang menurut dua arah yang berlainan yang menimbulkan Bahasa Jawa Pertengahan dan Bahasa Jawa Baru. Kemudian, Bahasa Jawa Pertengahan dengan kidungnya, berkembang di Bali dan Bahasa Jawa Baru dengan macapatnya berkembang di Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya Sastra Jawa Kuno dan Pertengahan masih ada di Bali.

 

C.        Unsur Pokok Tembang Macapat

Dalam pengertiannya, selain menyiratkan gambaran hidup manusia sejak lahir sampai mati, tembang macapat juga mempunyai unsur pokok, karena sebelumnya tembang memiliki arti karangan dengan aturan tertentu dan cara membacanya dilakukan dengan menggunakan seni suara. Dalam pengertian tersebut, unsur pokok yang dimiliki adalah sebagai berikut.

1.        Karangan

Tembang adalah karangan. Karangan sebagai karya manusia seperti para pujangga, sastrawan, guru, dosen, mahasiswa, pembelajar, petani, buruh. Siapa saja diperbolehkan membuat tembang, asal mampu dan mau mentaati  aturan (guru gatra, guru lagu guru wilangan).

2.        Aturan tertentu

Aturan dalam tembang telah ditentukan dan tidak dapat dirubah. Merubah aturan tembang berarti merusak tatanan tembang. Akibatnya, tembang sulit dilagukan nada, irama, dan lagunya, baik dilagukan dengan vokal saja (accapela) maupun dilagukan dengan iringan gamelan.

3.        Cara membaca tembang dilagukan

Cara membaca tembang dilagukan dengan seni suara. Jika tidak dilagukan bukan nembang, tetapi membaca tembang. Agar dapat dilagukan dibuatlah rangkaian nada. Nada-nada ini yang melambangkan tinggi rendahnya suara. Menurut Padmopuspito (Suwardi, 2010: 13) Tembang macapat merupakan tembang yang berasal dari kata “mocone papat papat” (membacanya empat-empat). Hal ini dapat dinalar, karena dalam melagukan macapat hampir selalu silabik (empat suku kata).

Ada beberapa pengertian tentang tembang macapat yang menyatakan bahwa tembang macapat iku tembang anggone maca papat-papat “tembang macapat itu tembang yang dilagukan empat-empat (jeda pada setiap empat suku kata)”, dari suku kata larik, dan suku kata selanjutnya sisa dalam setiap lariknya. (Suwarna, 2008: 70).

 

Contoh tembang Mijil :

 

Dhek samana / durung ana / mijil /    : 4-4-2

Pangkur miwah / sinom /                 : 4-2

Dhandhanggula / pocung kinan- / thine /  : 4-4-2

Gambuh mega- / truh lawan mas / kintir / : 4-4-2

Durung ana / lair /                          :  4-2

Kabeh tembang / kidung /                : 4-2

 

4.        Konvensi Struktural Tembang Macapat

Konvensi struktural tembang macapat meliputi aspek sastra dan aspek lagu. Konveksi struktural tembang macapat adalah kaidah atau ketentuan terkait dengan aspek bahasa atau sastra dalam teks tembang macapat. Kaidah dalam tembang macapat meliputi: guru gatra, guru lagu, atau guru wilangan.

 

 

D.       Struktur Tembang Macapat

Menurut para ahli, tembang macapat ada bermacam-macam jumahnya, di dalam Widyaswara, tembang macapat terdapat delapan jenis, antara lain: pucung, dandanggula, sinom, pangkur, asmaradana, kinanti, durma, dan mijil (Sastrasuwignya dan Moelyono, 1981 :23-25).

Menurut Sarining Kasusastran Djawa, tembang macapat terdiri atas sembilan jenis, yaitu semua jenis tembang yang terdapat di dalam Widyaswara ditambah maskumambang (Subalidinata, 1968: 89).

Di samping itu, menurut "Serat Purwaukara", Kasusaslran Djawi I (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1946:29), Ngengrengan Kasusastra Djawa I (Padmosoekotjo, 1958: 17), dan Pengantar Puisi Djawa (Darnawi, 1964: 13) tembang macapat berjumlah sembilan jenis.

Selanjutnya, menurut buku yang berjudul Purwakanthi, tembang macapat terdiri atas sepuluh jenis, yaitu semua jenis tembang yang terdapat di dalam Sarining Kasusastran Djawa dilambah dengan megatruh atau dudukwuluh (Mangunwidjaja, 1992: (19). Hal itu terdapat juga di dalam Panglipur (Sasrasumarta, 1931 :3-21) dan kasusatran djawa I (Samidjo, 1975: 13).

Menurut buku yang berjudul Himpunan Tembang Mataraman, tembang macapat terdiri atas sebelas jenis, yaitu seperti pada jenis tembang yang terdapat di dalam Purwakanthi ditambah dengan gambuh (Madukusuma, 1980:3-54). Hal itu terdapat juga dalam Mbombong Manah I (Tedjohadisumarto, 1958:5), Serat Sekar Macapat (Bratadipura dkk .), Dasar Kasusastran Jawi (Soetetarno dan Hadisubrata, 1974:27), "Serat Kasusastran Jawa" (Hadisubrata, 1974:73), dan "Sekar Alit/ Macapat, Sekar Tengahan, Sekar Ageng, Lagon-Lagon".

Menurut Tata Sastra, tembang macapat terdiri atas lima belas jenis, yaitu seperti pada jenis tembang yang terdapat di dalam Himpunan Tembang Mataraman ditambah dengan balabak, jurudemung, wirangrong. dan gurisa atau girisa (Hadiwidjana. 1967:54). Hal itu terdapat juga di dalam Pathokaning Nyekaraken (Hardjowirogo. 1952: 9-12, 18-19). "Teori Tembang Jawi" (Sugiyo. 1978:9--10) dan Sekar Macapat (Arintoko. 1981:3).

Untuk saat ini pada umumnya tembang macapat yang berkembang di Jawa Timur, untuk gaya Surakarta sebanyak sebelas (11) tembang yaitu,

1.        Maskumambang

2.        Mijil

3.        Kinanti

4.        Sinom

5.        Asmarandana

6.        Gambuh

7.        Dandanggula

8.        Durma

9.        Pangkur

10.     Megatruh

11.     Pucung

Sedangkan untuk gaya Malangan sebanyak tujuh (7) tembang, yaitu :

1.        Durma

2.        Gambuh

3.        Dangdanggula

4.        Asmarandana

5.        Pangkur

6.        Mijil

7.        Sinom

Sedangkan untuk gaya Madura sebanyak sembilan (9) tembang, yaitu :

1.    Mijil

2.    Maskumambang

3.    Selangit (kinanti)

4.    Pocung

5.    Durma

6.    Kasmaran (Asmarandana)

7.    Pangkor

8.    Artate (Dandanggula)

9.    Sinom

Sedangkan untuk gaya Gresik sebanyak Sepuluh (10) tembang, yaitu :

1.        Pocung

2.        Maskumambang

3.        Kinanti

4.        Mijil

5.        Pangkur

6.        Durma

7.        Asmarandana

8.        Sinom

9.        Dandanggula

10.     Balabak

Tembang Macapat disajikan dalam beberapa jenis yang mana masing-masing tembang tersebut dibedakan dengan aturan-aturan yang membentuknya. Adapun aturan-aturan dalam sekar macapat adalah :

1.        Terikat Guru Wilangan, yaitu banyaknya suku kata pada tiap-tiap baris.

2.        Terikat Guru Lagu, yaitu dong-dingnya suara ( suara akhir pada tiap baris : a,i,u,e,o).

3.        Terikat Guru Gatra, yaitu baris pada tiap pupuh tembang.

Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini :


 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

Untuk aturan-aturan seperti guru gatra, guru lagu dan guru wilangan, berlaku untuk tembang macapat gaya Surakarta, gaya Madura dan gaya Gresik. Untuk gaya malangan tidak terikat oleh aturan- aturan tersebut, Contohnya :

 

Macapat Sinom 1 (gaya Malangan)

 

Golar Galir keno guna                                8a

Wong mbatik sinambi nagis                       8i

Malam wutah belabaran                             8a

Geni murup den damoni                             8i

Cantinge den uring-uring                           8i

Gawangan sinandung putung                     8u

Rujak gadung mas pangeran                      8a

Kecubung lara mendemi                             8i

Eman-eman wong ayu yen keno guna          12a

 

Macapat Sinom  (gaya Gresik)

 

Edan manira kusuma                                 8a

Lamun ora aningali                                    8i

Sedina jangkep ping sang                          8a

Atemahan lara brangti                               8i

Sawengi datanpa guling                             8i

Tang ana ingkang kaetok                           8a

Mider ingsun kusuma                                 7a

Negara sabrang lan jawi                            8i

Tembe tuwuh duh wong ayu kang kaya ndika      13a

 

 

Perhatikan contoh tembang macapat Sinom gaya malangan ini untuk aturan guru gatra, guru lagu dan guru wilangan, Macapat Sinom 1 (8a-8i-8a-8i-8i-8u-8a-8i-12a) dan Macapat Sinom gresik (8a-8i-8a-8i-8i-8a-7a-8i-13a). Cari contoh kedua tembang Sinom tersebut, tidak sama dengan aturan pada umunya yaitu, (8a-8i-8a-8i-7i-8u-7a-8i-12a). Dan hal itu terjadi untuk tembang macapat yang lain pada gaya Malangan. Seperti Durma, Gambuh, Dangdanggula, Asmarandana, Pangkur dan Mijil.

 

E.        Jenis Tembang Macapat

Secara umum ada beberapa jenis tembang macapat yang berkembang sampai saat ini ada sebelas (11). Tembang macapat tersebut, adalah: Maskumambang, Mijil, Kinanti, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung. Jenis-jenis tembang macapat menurut beberapa ahli, yaitu: 

1.        Macapat Dandanggula, Istilah Dangdanggula diambil dari nama Raja Kediri yang terkenal setelah Prabu Jayabaya yakni Prabu Dhangdhanggendhis. Dhandhanggula diberi arti ngajeng-ajeng kasaean, bermakna menanti-nanti kebaikan (Serat Purwaukara).

2.        Macapat Sinom, Sinom bisa dikaitkan dengan istilah Sinoman yang memiliki arti perkumpulan pemuda untuk membantu orang punya hajat. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara bagi anak-anak muda zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti sekaring rambut yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.

3.        Macapat Asmarandana, Asmaradana merupakan dua gabungan kata yakni Asmara dan Dhana. Asmara sendiri bisa diartikan sebagai dewa percintaan, sedangkan Dhana mewakili api. Penamaan tembang Asmaradana sering dikaitkan dengan peristiwa hangusnya Dewa Asmara oleh sorot mata ketiga Dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi.

4.        Macapat Pangkur, Dikatakan bahwa istilah Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kependetaan yang biasa tercantum pada piagam – piagam bahasa jawa kuno. Pangkur diartikan sebagai Buntut atau Ekor (Serat Purwaukara). Identik dengan sasmita atau isyarat tut pungkur berarti mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti.

5.        Macapat Kinanti, Kinanti berarti bergandengan, teman, nama zat atau benda, nama bunga. Sesuai arti itu, tembang Kinanthi berwatak atau biasa digunakan dalam suasana mesra dan senang.

6.        Macapat Mijil, Mijil memiliki arti keluar. Bisa juga dihubungkan dengan Wijil yang bersinonim dengan lawang atau pintu. Kata Lawang juga berarti nama sejenis tumbuh-tumbuhan yang bunganya berbau wangi. Bunga tumbuh-tumbuhan itu dalam bahasa latin disebut heritiera littoralis.

7.        Macapat Pucung, Pucung merupakan nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan ( kuncup dedaunan ) yang biasanya tampak segar. Ucapan cung dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.

8.        Macapat Gambuh, Gambuh berarti ronggeng, tahu, terbiasa, nama tetumbuhan. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa digunakan dalam suasana tidak ragu-ragu.

9.        Macapat Megatruh, Megatruh berasal dari awalan am, pega dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala ( membuang yang serba jelek ). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.

10.     Macapat Maskumambang, Istilah Maskumambang dihasilkan dari gabungan dua kata yakni Mas dan Kumambang. Kata Mas berasal dari Premas yang berarti punggawa dalam upacara Shaministis. Sedangkan Kumambang bisa diartikan dengan terapung yang juga bisa berarti kembang. Selanjutnya Maskumambang membawa pengertian bahwa punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis. Mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti Ulam Toya yang berari ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.

11.     Macapat Durma, Durma (Jawa Klasik) bisa diartikan sebagai Harimau. Seperti namanya, Macapat Durma identik dengan watak atau digunakan dalam suasana seram.

Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain :

1.        Macapat Wirangrong,  berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu ),. Namun dalam teks sastra, Wirangrong digunakan dalam suasana berwibawa.

2.        Macapat Jurudemung, berasal dari kata juru yang berarti tukang, penabuh, dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, Jurudemung diberi arti lelinggir kang landep atau sanding (pisau) yang tajam.

3.        Macapat Girisa, berarti arik (tenang), wedi (takut), giris (ngeri). Girisa yang berasal dari bahasa Sansekerta, Girica adalah nama dewa Siwa yang bertahta di gunung atau dewa gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, Girisa diberi arti boten sarwa wegah, bermakna tidak serba enggan, sehingga mempunyai watak selalu ingat.

4.        Macapat Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.

 

 

F.        Filosofi Tembang Macapat

Dibalik keindahan ritme bahasa ataupun kesyahduan tembang macapat, tersimpan sebuah kedalaman pemikiran dari sang pembuatnya. Sebuah filosofi kehidupan yang sering terkandung dalam kebiasaan dan adat Jawa tertanam juga dalam tembang-tembang Macapat.

Tembang Macapat merupakan harmoni antara keindahan dan khasanah kearifan. Ajaran keluhuran budi dan sebuah gambaran perjalanan hidup manusia sejak lahir hingga sampai dengan meninggalnya.

Berikut ini adalah detail penjelasan Filosofi Tembang Macapat yang terkandung dalam setiap metrumnya :

1.        Macapat Maskumambang

Maskumambang berasal dari kata mas dan kumambang. Mas atau emas berarti sesuatu yg sangat berharga, yang bermakna bahwa Anak meskipun masih dalam kandungan merupakan harta yang tak ternilai harganya. Mambang atau kemambang artinya mengambang. Maskumambang menggambarkan Bayi yang hidup mengambang dalam rahim ibunya. Selama 9 bulan tumbuh dan hidup dalam dunianya yaitu rahim ibunda

2.        Macapat Mijil

Mijil bisa dikatakan sebagai sebuah ilustrasi proses kelahiran manusia, dimana telah jelas jenis kelaminnya, Mijil bisa diartikan sudah lahir atau keluar.

3.        Macapat Kinanti

Berasal dari istilah “Kanthi” yang berarti dituntun supaya bisa berjalan. Menjadi lambang hidupnya anak kecil atau bayi yang perlu tuntunan lahir dan batin supaya bisa berjalan di dalam samudra alam dunia. Gambaran sebuah proses pembentukan jati diri dan meniti jalan menuju cita-cita.

4.        Macapat Sinom

Berasal dari tembung “Sinoman” atau bisa di maknai sebagai  para pemuda. Dimana manusia yang masih muda itu memiliki arti penting dalam babak kehidupannya.

Karena itu perlu banyak belajar untuk mempersiapkan diri hidup berumah tangga. Sebuah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.

5.        Macapat Asmarandana

Mewakili sebuah proses dimana manusia telah memiliki rasa cinta pada lawan jenis. Telah menjadi kehendak sang Khalik, dimana ini merupakan awal untuk membangun kehidupan rumah tangga.

Masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati.

6.        Macapat Gambuh

Berasal dari kata “Jumbuh” yang bisa dimaknai telah didapati kecocokan antara pria dan wanita yang didasari cinta (Asmaradana). Sebuah komitmen untuk  membangun kehidupan rumah tangga. Saling melengkapi dan bersinergi secara harmonis.

7.        Macapat Dandanggula

Ilustrasi hidup seseorang ketika keinginannya terkabul yang intinya semua itu menjadikan dia bahagia (Punya Istri, Punya Anak, Rumah serta cukup sandang dan pangan).

Sebuah tahap kemapanan sosial, dimana dalam tahap ini dibutuhkan kedewasaan berfikir, karena kunci hidup bahagia adalah rasa syukur.

8.        Macapat Durma

Berasal dari kata “darma” yang bisa diartikan dengan berbakti, manusia jika sudah hidup kecukupan harus melihat kanan kirinya. Melihat keadaan saudaranya dan tetangga yang masih dalam kesengsaraan, lalu member pertolongan pada sesamanya.

9.        Macapat Pangkur

Berasal dari kata “Mungkur”. Dimaknai dengan manusia yang musti menghindari sifat angkara murka, selalu berfikir dan bergerak dengan niat berbuat baik dan bermanfaat bagi sesama.

10.     Macapat Megatruh

Bermula dari kata “Megat Ruh” atau telah terpisahnya Ruh dari Raga. Kehendak sang Khalik yang tidak bisa dielakkan, setiap manusia akan menghadapi kematian.

11.     Macapat Pucung

Gambaran manusia yang telah mati, sesuai dengan syariat Islam, dimana jasad manusia dibungkus kain mori putih, diusung dipanggul laksana raja-raja. Itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang lahat, rumah terakhir kita didunia

 

G.       Watak Tembang Macapat

Tembang macapat pada umumnya apabila di tinjau berdasarkan wataknya, yaitu:

1.         Mijil berwatak himbauan dan mengasihi. Cocok digunakan untuk menyampaikan nesehat.   

2.         Kinanthi mempunyai watak gembira, senang, cinta kasih. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan piwulang, cerita cinta.

3.         Sinom berwatak lincah dan bermasyarakat. Cocok untuk nasehat dan pendidikan atau pengajaran.

4.         Asmaradana mempunyai watak sedih karena cinta, biasanya  digunakan  dalam cerita cinta.

5.         Dhandhanggula berwatak luwes, indah dan menyenangkan. Tembang ini cocok untuk menyampaikan suasana apapun.

6.         Gambuh berwatak cocok, senang bergaul. Melukiskan kesenangan karena telah menemukan kecocokan.

7.         Maskumambang berwatak memilukan. Tembang ini melukiskan perasaan sedih dan memilukan.

8.         Durma berwatak keras, marah. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyamapaikan suasana marah, dan cerita perang.

9.         Pangkur berwatak keras. Tembang ini digunakan untuk menceritakan sesuatu yang keras, cinta yang menyala-nyala atau membara.

10.      Megatruh berwatak prihatin, sedih, biasanya digunakan untuk menceritakan sesuatu penyesalan dan kesedihan.

11.      Pocung berwatak menggemaskan. Biasanya digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang lucu dan sesuka hati.

12.      Wirangrong berwatak : Wibawa berwibawa Kegunaan: kemuliaan keagungan, Menjelaskan Kebesaran.

13.      Balabak berwatak: Sembrana, Saenake, Lucu Kegunaan: Sembrono, Bercanda 

14.      Girisa berwatak: Gagah, wibawa, wanti-wanti/ Pengingat, Kegunaan: Piwulang/ Pelajaran.

15.      Jurudemung berwatak: Kenes, Kasmaran/ Genit, Kegunaan: Mancing Asmara/ Memancing Cinta.

 

H.       Beberapa Pengertian Fungsi Tembang Macapat

Beberapa fungsi tembang macapat yang berkembang dan masih eksis di kalangan masyarakat, diantaranya adalah:

1.        Sebuah karya sastra yang lokal genius

a.         Karya sastra istimewa, menyampaikan pesan-pesan moral yang mengandung nilai Pendidikan etik, estetik, religi, menjadi inspirasi seniman kreatif (seni sastra)adalah sebuah nilai puisi jawa (sastra dan lagu) yang mencerminkan nilai-nilai yang adiluhung, dapat membangun dan mengembangkan imaginasi.

b.        Berbentuk seni sastra ( susastra jawa yang indah) disenangi oleh orang jawa sepanjang masa.

c.         Berbentuk metrum yang waton dan beragam, terdiri dari judul/ jenis/ pupuh/ pada/ pedhotan/ gatra/ wilangan/ lagu yang beragam cengkok lagu dan wiletannya.

2.        Macapat dalam fungsi waosan (lagu winengku sastra) yang artinya lagu sangat dibatasi oleh sastra atau kejelasan sastranya lebih diutamakan daripada keindahan lagunya.

a.         Membaca harus benar (maca kudu bener kedaling lesan)

b.         Keindahan (ngesing kata)harus dapat diluluhkan, misalnya ngenes ing tyas    menjadi ngenesing tyas.

3.        Macapat dalam pertunjukan (sastra winengku lagu) yang artinya sastra sangat dibatasi oleh lagu atau keindahan lagu seperti cengkok gregel, luk dan sebagainya sangat diutamakan daripada sastranya.

a.         Dalam sekar gendhing macapat menjadi gerongan, palaran, sindenan, laras madya, suluk dalang dan sebagainya.

b.        Dalam bentuk drama tembang macapat menjadi langen driyan, langen mandrawanaran, drama gong di Bali dan sebagainya.

c.         Dalam bentuk upacara adat macapat menjadi hastungkara, macapatan mantra wedha, nebus kembar mayang dan sebagainya

4.        Macapat dalam edukatif, tembang mengandung nilai-nilai pendidikan (estetik, etik, religi, spiritual dan kearifan lokal).

a.         Nilai estetik, keindahan tembang tercermin pada penyusunan penciptaan suku kata (sastra) kalimat lagu suasana lagu dalam metrum tembang macapat, sebagaimana tercipta puisi sastra jawa yang menarik, elok indah dalam sajiannya. Serta Teknik vocal melalui cengkok, wiletan, luk gregel menjadi sesuatu yang mengesankan.

b.        Nilai etik, makna yang tersirat dalam syair tembang menyampaikan pesan-pesan yang penting, unggah-ungguh, sopan santun dan sebagai kata-kata pesan moral dalam kearifan lokal.

c.         Nilai Religi, nilai ketuhanan tercermin pada bentuk tembang yang isinya tentang ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga menjadi hastungkara.

 

I.         Tembang Macapat dalam berbagai etnik dan cengkok

Tembang macapat yang berkembang di daerah jawa timur, diantaranya adalah gaya  Surakarta, gaya Madura, gaya Gresik dan gaya Malangan dengan berbagai cengkok yang berbeda sesuai dengan etnik yang berkembang di daerahnya: diantaranya adalah :


 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

……………………., 1951. Surat Tuntunan Aku Bisa Nembang 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan Pengajaran, dan Kebudayaan.

Adiyanto, 2019. Pengetahuan Vokal Jawatimuran. Surabaya: Karunia

Hardjowirogo, R, 1980. Pathokaning Nyekaraken (jarwan Sulistyo HS). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Martopagrawit, RL, 1988. Dibuang Sayang, Lagu dan Cakepan Gerongan Gending-Gending Gaya Surakarta. Surakarta: Setiaji bekerjasama dengan Akademi Seni Karawitan Indonesia.

Nartasabda, Ki, 1994. Kumpulan Gendhing-Gendhing lan Lagon Dolanan Jilid 1 (pangimpun Sri Widodo Bima Putro). Sukaharja: Cenrawasih

Padmosoekotjo, S, tt.Limpad Nembang Macapat. Surabaya: Trimurti

Padmosoekotjo, S, 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hie Hoo Sing.

Prabawanti. Wingit, 1983. Pengetahuan Karawitan Daerah Surakarta. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kejuruan.

Sulistiani, Sri dkk, 2017. Mata Pelajaran/ Paket Keahlian Bahasa Jawa: Tembang Dolanan lan Tembang Dolanan. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan.

Sutardjo, Imam, 2015. Tembang Jawa (Macapat). Surakarta: Bukutuju.

 

 

 

 

 

DATA PRIBADI

 

Adiyanto dilahirkan di Semarang pada tanggal 02 Juli 1982. Sejak kecil ia sudah diajari oleh orang tuanya  di bidang seni, diantaranya, seni karawitan, pedalangan dan seni tatah sungging wayang. Setelah remaja Ia mematangkan ketrampilan olah seninya di SMKN 8 Surakarta Jurusan Karawitan pada tahun 1998, kemudian melanjutkan kuliah di STSI Surakarta pada tahun 2001 sampai semester 4 transfer ke STKW Surabaya lulus pada tahun 2006. Tahun 2011-2013 Sambil bekerja kuliah lagi jenjang Magister di jurusan Manajemen Pendidikan   di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Malang. Dan kemudian tahun 2020 ini masih menempuh pendidikan program Doktor di Fisip Unair Surabaya dengan konsentrasi Ilmu Sosial Budaya sampai sekarang.

Sejak tahun 2011 di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Bidang Budaya, Seni dan Perfilman. Kemudian pada tahun  2015 diangkat sebagai Pamong Budaya Jawa Timur sampai sekarang.

Di sela-sela kesibukanya sebagai Pamong Budaya Ia juga membantu mengajar sebagai Dosen mata kuliah bahasa Jawa, Tembang Macapat dan Mata kuliah Seni sakral dan eni Profan di STAH Santika Dharma Malang pokja Sidoarjo.

Sampai sekarang masih aktif sebagai seniman, baik pelaku seni, pengkarya seni dan pemerhati seni. Aktif menulis baik di media elektronik, media massa maupun media cetak.

Aktif menjadi Juri dan Narasumber di berbagai kegiatan seni, seperti Macapat, Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan dll. 

 

PENGALAMAN BERKESENIAN

1.        3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sabet pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya.

2.        3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sanggit Cerita pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya.

3.        Sebagai Pengamat Daerah pada Parade Lagu daerah Taman Mini “ Indonesia Indah” tahun 2011 mewakili provinsi Jawa Timur.

4.        Menjadi salah satu pemusik dalam pertunjukan Festival Kesenian Indonesia III tingkat Nasional tahun 2011 di Surabaya.

5.        Menjadi Duta Seni mewakili Indonesia ke Ho Chi Mint City, Vietnam pada tahun 2005.

6.        Komposer dalam Festival Gegitaan tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta.

7.        Komposer Iringan Tari Ganggasmara dalam acara Festival Tari Sakral tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta.

8.        Juara 1 (satu) Komposer Iringan Tari Kidung Kasanga dalam acara Festival tari Sakral tingkat Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 di Sidoarjo.

9.        Komposer Iringan Tari Mandaragiri dalam acara melasti tingkat Provinsi Jawa Timur di Surabaya.

10.     Komposer Iringan Tari Nawa Cita Negara Kertagama dalam acara Mahasaba Tingkat Nasional pada tahun 2016 di Surabaya. 

11.     Menjadi Komposer pada Pembukaan Festival Seni Sakral tahun 2019 dengan Judul “ Babar Sastra Pamucang”.

12.     Juara Penata Musik tradisional Terbaik pada Festival Seni Sakral Tingkat Nasional Tahun 2019.

13.     Menjadi Ketua Lembaga Seni Keagamaan Provinsi Jawa Timur, masa bhakti 2019-2023.

14.     Aktif menjadi Juri dan Narasumber di berbagai kegiatan seni, seperti Macapat, Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan dll. 

BUKU YANG PERNAH DITULISNYA

Djoko Langgeng Dan Wayang Kulit Karyanya, Balungan Gending Jawa Timuran, Karawitan Jawatimuran, Pengetahuan Vokal Jawatimuran, Campursari Sekar Melati, Profil Sekar Melati, Tinjauan Seni Karawitan, Inspirasine urip

 

 MATERI MEGATRUH LRS SL PT SANGA

OLEH : SUWARNO



 



 

 

 

 





























SLENDANG SUTRA PELOG BARANG LANGGAM NOTASI BALUNGAN (ADITYASTUTI)

 SLENDANG SUTRA PELOG BARANG LANGGAM NOTASI BALUNGAN (ADITYASTUTI)