Search This Blog

7 Jun 2019

KAJIAN BENTUK TOKOH PANJI YUDARAWISRENGGA DALAM WAYANG KEDIREN







KAJIAN BENTUK TOKOH PANJI YUDARAWISRENGGA

DALAM WAYANG KEDIREN


Adiyanto
Pamong Budaya Ahli Muda
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jatim

ABSTRAK
Wayang Kediren pada dasarnya terinspirasi dari wayang kulit Purwa. Sumber ceritanya berasal dari sejarah Kerajaan Kediri atau cerita rakyat yang berkembang di daerah Kediri dan sekitarnya. Wayang Kediren adalah karya wayang kulit kreasi baru dari perkembangan wayang kulit dengan inspirasi dari wayang gaya Surakarta, Jogjakarta, Cirebon, Kedu, Banyumas, Bali dan wayang gaya Jawatimuran. Inspirasi wayang Kediren tersebut  yang disesuaikan dengan sejarah setempat yaitu keberadaan cerita tentang Kerajaan Kediri dan sekitarnya.
Penelitian ini mengkaji tentang Bentuk Tokoh Panji Yudarawisrengga dalam Wayang Kediren, sehingga untuk mengkaji, mendeskripsikan dan menganalisis keterkaitan itu    maka  makalah  ini           menggunakan pendekatan unsur-unsur seni rupa diantaranya adalah desain elementer.
Tokoh Panji Yudarawisrengga karya Ki Djoko Langgeng yang diteliti oleh penulis adalah tokoh Panji Yudarawisrengga yang berbeda dengan wayang kulit gedog, maupun wayang klitik. Perupaan Panji Yudarawisrengga Wayang Kediren ini terinspirasi dari cerita yang berkembang di daerah Kediri yang dipadukan dengan irah- irahan wayang topeng Malangan. Sehingga secara bentuk akan berbeda dengan wayang gedog, jika wayang gedog tokoh panji menggunakan irah-irahan topi tekes mirip blangkon jawa tanpa tonjolan. Sedangkan tokoh panji wayang Kediren menggunakan irah-irahan rambut tekes memakai garuda mungkur yang memadukan konsep irah-irahan dari wayang topeng cirebon, wayang topeng klaten dan wayang topeng malangan yang diinovasi sesuai inspirasi Panji dalam cerita yang berkembang di daerah Kediri, dengan memadukan unsur pakaian rampekan seperti wayang karyanya yang sudah berkembang sampai saat ini

Kata Kunci : Panji Yudarawisrengga, wayang Kediren
ABSTRACT

Kediren puppets are basically inspired by Purwa shadow puppets. The source of the story comes from the history of the Kingdom of Kediri or folklore that developed in the area of ​​Kediri and its surroundings. Wayang Kediren is a work of wayang kulit new creations from the development of wayang kulit with inspiration from Surakarta style puppets, Jogjakarta, Cirebon, Kedu, Banyumas, Bali and Jawatimuran style puppets. The inspiration of the Kediren puppet is adapted to local history, namely the existence of stories about the Kingdom of Kediri and its surroundings.
This study examines the Form of Panji Yudarawisrengga Figure in Kediren Puppet, so that to study, describe and analyze the interrelationship, this paper uses the approach of elements of art including elementary design.
The character of Panji Yudarawisrengga by Ki Djoko Langgeng studied by the author is a character of Panji Yudarawisrengga which is different from the wayang kulit gedog, or klitik puppet. The presentation of the Panji Yudarawisrengga Kediren Puppet was inspired by a story that developed in the Kediri area which was combined with the wayang topeng Malangan. So that the form will be different from the wayang gedog, if the puppet gedog the character of the banner uses hat slips tekes resembling Javanese blangkon without bumps. Whereas the Kediren puppet characters use tekes using garuda mungkur which combines the concepts of irrants from wayang topeng cirebon, wayang topeng klaten and wayang topeng malangan that are innovated according to Panji's inspiration in the story that developed in the Kediri area, by combining the elements of robbery clothes like his puppet works which have developed to this day

Keywords: Panji Yudarawisrengga, Kediren puppets

PENDAHULUAN

Wayang kulit merupakan salah satu bentuk seni tradisi yang tergolong ke dalam teater rakyat Jawa. Eksistensi seni wayang kulit hingga saat ini masih terjaga kelestarian dan kelanggengannya. Wayang kulit memiliki dua fungsi, yakni sebagai sarana ritual secara vertikal dan juga sebagai sarana hiburan secara horizontal. Dalam aspek hiburan pun, fungsi wayang sebagai media pengkomunikasian nilai kepada masyarakat dianggap vital, karena selain membawa misi rekreatif, juga mengemban fungsi pendidikan tentang nilai dan norma tertentu yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Wayang mempunyai daya tahan yang kuat terhadap berbagai perubahan pemerintahan, politik, sosial, budaya maupun kepercayaan. Sehingga dapat membuktikan bahwa wayang kulit mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat.
Wayang merupakan hasil karya seni rupa yang penuh dengan unsur-unsur simbolis. Sudah banyak karya tulis para seniman dan budayawan terhadap seni wayang kulit. Meskipun terdapat kesamaan dan perbedaan argumen namun semuanya sependapat bahwa wayang sudah ada dan berkembang sejak zaman kuno, jauh sebelum agama dan budaya luar masuk di Indonesia.
Makalah  ini akan banyak membahas tentang wayang kulit purwa, mengingat bahwa makalah yang di bahas ini merupakan salah satu dari berbagai macam pengembangan dari wayang kulit purwa itu sendiri.
Wujud atau bentuk wayang kulit purwa jika ditinjau dari aspek seni rupa, bergaya ekspresif dekoratif tradisional. Tokoh-tokohnya diambil dari pelaku bersumber pada Mahabharata dan Ramayana dan diwujudkan dengan bentuk tangan panjang dan badan panjang. Sedangkan dalam pementasannya ditambah tokoh-tokoh pelaku humor yaitu wayang yang bergaya ekspresif dekoratif humoris karikaturis, atau tokoh dagelan seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung, Cantrik, Cangik, Limbuk dan yang lainnya.
Wayang Kediren pada dasarnya terinspirasi dari wayang kulit purwa. Sumber ceritanya berasal dari sejarah Kerajaan Kediri atau cerita rakyat yang berkembang di daerah Kediri dan sekitarnya, seperti Raja Jayabaya, Buta Locaya, Tunggul wulung, Lembu Amiluhur, Lembu Merdadu, Panji Kudarawisrengga, Panji Sastramiruda, Panji Gunungsari dan yang lainnya.
Wayang Kediren adalah karya wayang kulit kreasi baru dari perkembangan wayang kulit dengan inspirasi dari wayang gaya Surakarta, Jogjakarta, Cirebon, Kedu, Banyumas, Bali dan wayang gaya Jawatimuran. Inspirasi wayang Kediren tersebut  yang disesuaikan dengan sejarah setempat yaitu keberadaan cerita tentang Kerajaan Kediri dan sekitarnya. Karya wayang Kediren tersebut di buat oleh seorang dalang wayang kulit yang beliau juga bisa membuat wayang kulit, beliau adalah Ki Djoko Langgeng ( Ki Djoko Adi Carito). Untuk fokus pada makalah ini adalah pada salah satu tokoh yaitu, Panji Yudarawisrengga atau nama lainnya yaitu Panji Inukertapati, Panji Asmarabangun, Panji Kudarawisrengga, Panji Kudawanegpati yang merupakan tokoh utama pada wayang kediren ini.

TEORI

Pengertian Wayang
Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan; seperti halnya kata watu dan batu, yang berarti batu dan kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Bunyi b dilambangkan dangan huruf b dan w pada kata yang pertama dengan yang kedua tidak mengakibatkan perubahan makna pada kedua kata tersebut. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/ kata Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang.[1]
Wayang pertama kali adalah mengambil dari cerita sebuah ukiran pada relief candi-candi yang menggambarkan tokoh leluhur, legenda kepala suku yang mengambil cerita-cerita dari Ramayana dan Mahabarata. Kemudian berkembang wayang itu diubah menjadi sebuah lukisan yang ditata dalam bentuk beberan dengan gambar-gambar manusia yang sesuai dengan ukiran yang terdapat pada relief candi. Wayang merupakan manifestasi dari gambaran sifat manusia dengan tingkah lakunya, wayang merupakan sarana pendidikan moral yang sarat berisi mengenai hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta, mengenai hubungan antara rakyat dengan penguasa, mengenai hubungan antara anak dengan orang tuanya.[2]
Wayang kulit purwa merupakan suatu kesatuan drama yang dalam penyajiannya merupakan suatu satu kesatuan bulat dari paduan serta ramuan segala unsur dan dimensi yang melekat dalam pewayangan yang di rakit sedemikian rupa, sehingga mewujudkan suatu nilai pewayangan secara seutuhnya.[3]
Wayang kulit purwa mempunyai umur paling tua di antara wayang kulit lainnya, salah satu warisan budaya bangsa yang mempunyai kelangsungan hidup, dan mempunyai nilai hiburan yang mengandung cerita pokok yang juga berfungsi sebagai media komunikasi yang sarat dengan kandungan nilai yang bersifat sakral dan merupakan bagian dari sistem kepercayaan masyarakat Jawa.
Di dalam cerita wayang, tiap-tiap tokohnya merupakan refleksi atau representasi dari sikap, watak, dan karakter manusia secara umum. Kehidupan di dunia ini dapat dikatakan sebagai perwujudan peperangan antara kedua buah kutub yang saling bertentangan yaitu antara kebaikan dan kejahatan, kekacauan dan ketertiban, benar dan salah, serta antara keindahan dan keburukan. Wayang diciptakan dalam berbagai lakon cerita yang mengandung pertentangan dalam diri manusia. Wayang dibawakan dan disampaikan oleh seorang dalang sebagai pelaku cerita tersebut secara dialog dan gerak perbuatan yang menghidupkan tokoh wayang dan jalan cerita. Wayang sebagai seni pertunjukan kebudayaan Jawa sering diartikan sebagai “bayangan” atau samar-samar yang dapat bergerak sesuai lakon yang dihidupkan berdasarkan isi cerita.[4]
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, orang semakin sulit mencatat pembaharuan dunia wayang, tetapi yang jelas wayang purwa tampak sudah berhenti pada puncaknya yang cukup canggih (adiluhung) dalam bentuk seni rupanya. Sungguhpun demikian kiranya masih ada seniman-seniman yang berusaha dengan segala kreativitasnya menginterpretasikan dengan membuat terobosan-terobosan baru untuk mencari nilai kwalitas dalam wujud visual dari wayang. Sehingga terciptalah beberapa bentuk-bentuk wayang versi baru seperti wayang Suluh, wayang Ukur, wayang Shadat, wayang Kediren dan yang lainnya.  
Berbicara mengenai bentuk/ wujud wayang kulit berarti membahas keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti ukuran/proporsi wayang, busana/ atribut-atribut yang dikenakan, wanda/ karakter wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, hidung dan mulut, dan sunggingan/ pewarnaan dalam wayang. Oleh karena itu makalah ini akan membahas bentuk rupa tokoh Panji Yudarawisrenga dalam wayang Kediren dengan menguraikan segala perincian dalam perupaannya. Makalah ini juga dibatasi oleh jumlah figur yang akan dianalisis, yaitu figur wayang kulit Panji Yudarawisrengga dalam wayang gedog, Panji Yudarawisrengga dalam irah-irahan wayang topeng gaya Malangan, wayang topeng Klaten, wayang topeng Cirebon dan wayang Panji Yudarawisrengga wayang Kediren karya Ki Djoko Langgeng.

Wayang Kediren

Lahirnya wayang Kediren adalah wayang kulit salah satu karya Ki Djoko Langgeng (Ki Djoko Adi Carito), Beliau terinspirasi ketika mulai tahun 1989 tinggal di daerah Kediri, sehingga ingin membuat wayang kediren dengan mengambil ceritera yang berkembang di daerah kediri seperti tokoh Prabu Sriaji Jayabaya, Buta Locaya, Tunggul Wulung, Prabu Erlangga, Narotama, Panji Yudarawisrengga, Lembu Amiluhur, Sekartaji, Gunungsari, Klana Sewandana, dan masih banyak tokoh lagi yang terkait dengan keberadaan sejarah Kediri.
Wayang Kediren sebenarnya mengambil kapangan wayang kulit dari wayang Mahabarata dan Ramayana karya baru yang beliau buat, akan tetapi di inovasi lagi sesuai dengan karakter tokoh wayang yang berkembang di daerah Kediri.
Makalah dengan judul kajian bentuk tokoh Panji Yudarawisrengga dalam wayang kediren ini adalah fokus penulis untuk menjadi bahasan karena sosok Panji Yudarawisrengga adalah salah satu tokoh wayang kediren yang keberadaannya untuk saat ini menjadi bahan pemikiran banyak seniman dan budayawan, yang mana tokoh Panji Yudarawisrengga berada pada sebuah realitas sejarah yang masih dipertanyakan. Usaha-usaha untuk menyelidiki dimensi historis dari sosok Panji Yudarawisrengga tidak pernah berhenti sampai saat ini. Banyak penemuan-penemuan yang akhirnya membuat pro dan kontra, karena tidak ada fakta yang paling mendasar sekalipun yang mendukung keberadaannya.
Ada beberapa orang seniman dan  budayawan mengatakan, Panji Yudarawisrengga merupakan tokoh yang ramah, rendah hati, dan lembut, bisa diibaratkan kalau di pewayangan purwa bagaikan Raden Arjuna. Sedangkan di pewayangan Gedog tokoh Panji di gambarkan seperti tokoh Arjuna yang memakai irah-irahan (tutup kepala) berbentuk tekes dengan busana/ sandangan yaitu rapekan/ bokongan. Sedangkan Panji menurut wayang topeng malang digambarkan dengan sesosok pria ideal memakai topeng bagusan dengan menggunakan irah- irahan gelung sumping serta rambut terurai.      
Menurut beberapa ahli purbakala menyatakan bahwa ciri utama tokoh Panji dalam penggambaran relief dan arca adalah jika ada figur pria yang digambarkan memakai topi tekes, topi mirip blangkon Jawa, tetapi tanpa tonjolan di belakang kepala (lebih mirip dengan blangkon gaya Solo/Surakarta). Badan bagian atas tokoh tersebut digambarkan tidak mengenakan pakaian, sedangkan bagian bawahnya digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat hingga menutupi paha. Pada beberapa relief atau arca ada yang digambarkan membawa keris yang diselipkan di bagian belakang pinggang, atau ada juga yang digambarkan membawa senjata seperti tanduk kerbau, sebagaimana yang dipahatkan pada Kepurbakalaan (Kep.) XXII/C.Gajah Mungkur Penanggungan.[5]
Meskipun wujud fisik Panji Yudarawisrengga tidak bisa diketahui secara detail dan bahkan sempat menjadi pertentangan diantara seniman dan budayawan, namun pembahasan dalam makalah ini pendekatannya adalah dengan menggunakan sudut pandang cerita yang berkembang di daerah khususnya Kediri yang mana keberadaannya ada dan diceritakan dalam cerita panji.
Tokoh figur Panji Yudarawisrengga dan spiritnya dalam karya seni adalah sebuah bentuk dari upaya untuk lebih merevitalisasi keberadaannya. Pengilustrasiannya dapat dilakukan secara bebas berdasarkan persepsi, imajinasi seniman atas keberadaan Panji. Dalam hal ini unsur subyektifitas pikiran dan perasaan pembuatnya tidak dapat dihindari. Dalam kerangka berpikir inilah kita bisa mengerti kenapa tokoh Panji dapat dilukiskan dalam berbagai karakter.
Selain relief, arca, wayang gedog, wayang beber, wayang topeng dan wayang krucil, tokoh Panji Yudarawisrengga mempunyai penafsiran yang berbeda-beda tentang keberadaan, karakter dan bentuk secara fisiknya.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian kwalitatif, yaitu metode yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain- lain. Dalam penelitian kwalitatif, data yang dikumpulkan adalah berbentuk kata-kata atau gambar, bukan angka-angka seperti dalam penelitian kuantitatif.
Penelitian ini mengkaji tentang bentuk tokoh Panji Yudarawisrengga dalam wayang Kediren, sehingga untuk mengkaji, mendeskripsikan dan menganalisis keterkaitan itu    maka  makalah  ini  menggunakan pendekatan unsur-unsur seni rupa diantaranya adalah desain elementer.
Penelitian ini akan dilakukan di sanggar wayang milik Ki Djoko Langgeng, Dusun Sumber, Desa Tiru Kidul, RT. 24, RW. 06 Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, dan juga wawancara langsung dengan beberapa Seniman dalang dan sejarawan yang mengetahui tentang keberadaan Panji Yudarawisrengga.
Sesuai dengan batasan lingkup penelitian yang telah disebutkan di atas, sudah jelas bahwa populasinya adalah seluruh cerita, wayang, pertunjukan tentang Panji, dengan lingkup permasalahan aspek bentuk, filosofi, spesifikasi, dan karakteristiknya.
Sedangkan contoh yang diambil adalah tokoh figur Panji Yudarawisrengga Wayang Kediren ciptaan karya Ki Djoko Langgeng. Sedangkan metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi, kemudian menganalisis data.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam makalah ini penulis mendapatkan data dan informasi tentang tokoh Panji Yudarawisrengga dalam Wayang Kediren langsung dari narasumber Ki Djoko Langgeng, sebagai pengkarya wayang kediren tersebut.
Tokoh Panji Yudarawisrengga karya Ki Djoko Langgeng yang diteliti oleh penulis adalah tokoh Panji Yudarawisrengga yang berbeda dengan wayang kulit gedog, maupun wayang klitik. Perupaan Panji Yudarawisrengga Wayang Kediren ini terinspirasi dari cerita yang berkembang di daerah Kediri yang dipadukan dengan irah- irahan wayang topeng Malangan. Sehingga secara bentuk akan berbeda dengan wayang gedog, jika wayang gedog tokoh panji menggunakan irah-irahan topi tekes mirip blangkon jawa tanpa tonjolan kepala di belakang dan menggunakan pakaian bokongan jangkah seperti contoh gambar di bawah ini :
  
                                                  






                                                                                     

  


Tokoh Panji Yudarawisrengga (wayang gedog)                          
Gambar dari :                                                                                
www.pinterest.com/pin/456482112213740473         

               

 












Tokoh Panji Yudarawisrengga (wayang klitik)

Gambar dari
             www.ngv.vic.gov.au/explore/collection/work/53015/




 Sedangkan tokoh panji wayang Kediren menggunakan irah-irahan rambut tekes memakai garuda mungkur yang memadukan konsep irah-irahan dari wayang topeng cirebon, wayang topeng klaten dan wayang topeng malangan yang diinovasi sesuai inspirasi Panji dalam cerita yang berkembang di daerah Kediri, dengan memadukan unsur pakaian rampekan seperti wayang karyanya yang sudah berkembang sampai saat ini, berikut contoh gambarnya :















Tokoh Panji Yudarawisrengga (wayang Kediren)

 Ganbar karya Ki Djoko Langgeng

Menurut penjelasan Ki Djoko Langgeng tokoh Panji Yudarawisrengga  tidak seukuran dengan tokoh wayang Arjuna (dalam wayang purwa) akan tetapi lebih seukuran bambangan seperti Abimanyu ukuran tingginya sekitar 45-50 cm.
Jika dilihat dari posisi irah-irahan tekes Panji wayang Kediren hampir sama dengan irah-irahan tekes wayang topeng Cirebonan dengan diberi garuda mungkur terbalik ke arah depak seperti irak-irahan wayang topeng malangan, dan di tambahi dengan rambut keling dibawah garuda mungkur sebagai penyeimbang irah-irahan kepala sehingga terkesan menggunakan irah-irahan sebagai seorang pangeran kerajaan.  Untuk atribut busana bagian bawah, jenis wayang Panji Yudarawisrengga wayang kediren menggunakan rampekan seperti wayang wayang ramayana dan mahabarata versi baru karyanya akan tetapi di inovasi kembali sesuai dengan karalter tokoh wayang kediren, dan tokoh wayang panji ini termasuk dalam wayang jangkahan, karena posisi kakinya melebar dan lemahannya tampak lebih panjang. Berarti berdasarkan ukuran, wayang dengan tokoh figur Panji ini tersebut bukan golongan wayang bokongan, melainkan wayang bambangan jangkah.
Semua contoh tokoh figur Panji Yudarawisrengga antara wayang Gedog, wayang Krucil, wayang topeng dan yang lainnya memang mempunyai perbedaan dalam hal penerapan tatah, sungging, dan atribut maupun asesorisnya, tetapi secara garis besar semua contoh tersebut memiliki persamaan dalam hal imajinasi kreatornya tentang sifat atau karakter, yaitu menggambarkan sosok Panji Yudarawisrengga sebagai wayang golongan alusan luruh (penggambaran tokoh yang bersifat alusan, tenang, pendiam). Belum ada tokoh figur Panji Yudarawisrengga dalam wayang kulit maupun topeng yang diwujudkan dalam golongan wayang gagahan. Disini jelas ada kaitannya dengan pemahaman dan keyakinan dari masing- masing kreator bahwa sosok Panji Yudarawisrengga adalah pribadi baik, tenang, sabar, lembah manah, setia, adil, berwibawa, penuh kelembutan, ketulusan, dan cinta kasih.

KESIMPULAN  DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa pengilustrasian tokoh figur Panji Yudarawisrengga dalam wayang dalam wayang Kediren dibuat selaras dengan tingkat pemahaman, latar belakang dan kapasitas kreatif masing- masing senimannya. Berdasarkan pandangan diatas, tokoh figur Panji Yudarawisrengga diilustrasikan dan diolah dengan persepsi dan sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi karakter yang diterapkan adalah sama yaitu menggambarkan sosok Panji Yudarawisrengga sesuai yang mereka yakini.
Untuk muatan filosofisnya Panji Yudarawisrengga dititikberatkan pada eksistensi citra tokoh dan jalan cerita (lakon) yang diperagakan. Bentuk rupa wayang ini lebih condong pada fenomena filsafat   Jawa  atau   lebih   mudah  dicerna   dalam  paradigma   kejawen,  dan ini tampaknya di luar wilayah jangkauan masyarakat awam, karena lebih berurusan  dengan bahasa internal dunia wayang. Perupaannya memang tercipta dari tangan seniman wayang Jawa, dan lahir sebagai sosok wayang yang tidak dapat lepas dari paradigma pewayangan, tetapi sama sekali tidak bertujuan menciptakan cerita baru dari cerita tentang keberadaan Panji, melainkan tetap membawa nilai- nilai untuk merevitalisasi keberadaan tokoh Panji supaya ikut berperan serta dalam pelestarian budaya Panji.
Proses berkesenian dalam pertunjukan wayang Kediren tidak menitikberatkan pada indah atau tidak indah, benar atau salah dalam estetika pakeliran (pakem), melainkan benar atau salah dalam kacamata berkesenian, serta menarik atau tidak menarik sebagai bahan penghayatan dalam wilayah penghayatan seseorang dan juga sebagai sarana hiburan masyarakat.
Buku-buku yang mengandung literatur tentang wayang Panji bisa dikatakan sangat jarang. Semoga selanjutnya ada pihak-pihak yang tergugah untuk menerbitkan Ensiklopedia mengenai wayang mengenai Panji yang isinya adalah segala sesuatu tentang wayang Panji.
Wayang Kediren yang menceritakan tentang keberadaan Panji yang sekarang sudah ada, perlu terus dilestarikan agar suatu saat tidak hanya menjadi sebuah cerita, tetapi terus hidup dan berkembang. Apalagi menghadapi perkembangan jaman, globalisasi dan teknologi informasi yang semakin canggih, jelas perlu upaya yang lebih keras lagi untuk mempopulerkan, mempertahankan, dan menjaga kelestarian wayang tentang Panji. Perlu juga dibuat terobosan-terobosan baru agar pertunjukan wayang Panji menjadi media populer dan digemari masyarakat, baik sebagai media hiburan dan sekaligus media informasi. Harapan besar sangat tergantung pada para seniman dan budayawan khususnya dan masyarakat umumnya dalam upaya pengembangan aset budaya lokal yang memiliki kekua tan universal ini.

DAFTAR PUSTAKA

 

Adiyanto, Djoko Langgeng dan Wayang Kulit Karyanya, Karunia, Surabaya, 2017.
Aizid, Rizem, Atlas Tokoh-Tokoh Wayang, Diva Press, Yogyakarta, 2012.
Haryanto, S, Bayang-Bayang Adhiluhung, Dahara Prize, Semarang, 1995.
Haryanto, S. Pratiwimba Adhiluhung, Djambatan, Jakarta, 1988.
Kempers, Bernet,  A.J. Ancient Indonesia Art, Massachusetts: Harvard University Press, Cambridge, 1959.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.
Mertosedono, Amir, Sejarah Wayang, Asal-Usul, Jenis dan Ciriny, Dahara Prize, Semarang,1994.
Mulyono, Sri. Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya ,Jakarta, CV Haji Masagung, 1989.
Pranoto, Teguh, Ajaran Hidup Tuntunan Luhur Piwulang Agung,  Kuntul Press, Solo, 2007.
Samsugi, Sagio, Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1991.
Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Balai Pustaka, Jakarta, 1989 Tim Penulis Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 1 (A-B), Sena Wangi, Jakarta, 1999.
Surwedi, Jaman Antaraboga Layang Kandha Kelir: Kumpulan Lakon Wayang Kulit Purwa Jawa Timuran. Buku Litera, Yogyakarta, 2014.
Tim Penulis Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 3 (K-L-M-N-P), Sena Wangi, Jakarta, 1999.
Walujo, Kanti, Dunia Wayang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Widodo, K i Marwoto Panenggak, Tuntunan Ketrampilan Tatah Sungging Wayang Kulit, PT. Citra Jaya Murti, Surabaya, 1984 .
Wirastodipuro, Ringgit Wacucal, Wayang Kulit, Shadow Puppet, ISI Press Solo, Surakarta, 2006.
www.ngv.vic.gov.au/explore/collection/work/53015/




[1] Amir Mertosedono, Sejarah Wayang, Asal-Usul, Jenis dan Cirinya (Semarang: Dahara Prize, 1994), hal . 28
[2] Teguh Pranoto, Ajaran Hidup Tuntunan Luhur Piwulang Agung (Solo: Kuntul Press, 2007), hlm. 12
[3] Sri Mulyono, Wayang Asal-Usul, Filsafat, Dan Masa Depannya, CV Ha ji Ma
[4] Rizem Aizid, Atlas Tokoh-Tokoh Wayang,( Yogyakarta: Diva Press 2012), hal. 12
[5] Bernet Kempers, A.J. Ancient Indonesia Art, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. 1959, Hal 6



No comments:

Post a Comment

BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI

 BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI