Search This Blog

15 Oct 2021

LAKON WAYANG SUKRASANA DAN SUMANTRI (ADIYANTO)

 

 LAKON WAYANG SUKRASANA DAN SUMANTRI:

Kajian Filosofis tentang “Kita dan Liyan” dalam lakon Sukrasana dan Sumantri : gambaran rakyat jelata dengan pejabat penguasa

Adiyanto

 









Abstrak

Artikel ini mengkaji tentang lakon Sukrasana dan Sumantri dalam cerita wayang kulit, cerita ini menggambarkan cinta kasih, kesetiaan, dan kepahlawanan Sukrasana serta keegoisan, lupa diri dan ambisi dari Sumantri untuk sebuah jabatan dan kekuasaan. Cerita ini adalah cerita carangan yang hidup di masyarakat jawa sebagai warisan secara historis tradisional.

Dalam lakon ini saya kaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini yang mana Sukrasana sebagai penggambaran rakyat kecil sedangkan Sumantri sebagai bentuk penggambaran seseorang yang mempunyai ambisi dan lupa diri ketika jabatan dan kekuasaan sudah diraih.

Filsafat “kita dan liyan” menunjukkan sebuah makna kita atau kami yang mempunyai sifat kesatuan perasaan antara individu-individu dan mementingkan kebersamaan dalam menanggung suka dan duka, saling menolong, saling membantu dan yang lainnya. Sedangkan “liyan” mempunyai makna orang lain, dalam hal ini adalah orang yang berbeda kepentingan sehingga terjadi ketertindasan.

Kita keluarga maupun kita negara mempunyai makna apabila masih dalam kesatuan perasaan, mementingkan kepentingan bersama, saling menolong dan saling membantu. Apabila sifat-sifat tersebut telah memudar atau meredup maka akan ada yang namanya “liyan”.

Kata Kunci : Sukrasana, Sumantri, Filosofis, Gambaran

 

 Sukrasana dan Sumantri dalam Filsafat “kita”

Dalam buku Pertempuran di Maespati karya Ki Hajar Sukowiyono menceritakan, di sebuah depok pertapaan yang sunyi tenteram tinggalah seorang pendeta yang bernama Resi Aswandani atau disebut Suwandageni, beserta kedua putranya yang besar bernama Bambang Sumantri,  yang kecil bernama Sukrasana. Agak aneh juga bila orang memperhatikan kedua anak pertapa itu, karena dari seorang ayah lahir dua putera yang sangat berbeda rupa lahiriah. Yang sulung, Sumantri tubuhnya tinggi semampai dengan tubuh atletik, romannya cakap ngganteng, dan  gagah perkasa, sedangkan adiknya Sukrasana tubuhnya mirip raksasa tetapi kecil kerdil, mukanya hitam dengan benjolan kecil-kecil, kepalanya besar gundul tanpa rambut, kaki kecil seperti galah, perut buncit seperti periuk, namun demikian dewata maha adil, Sukrasana yang jelek rupa diberi anugrah, yaitu menarik hati siapapun yang melihatnya, orang merasa sayang dan kasian.

Pada waktu Sumantri berlatih dalam ilmu-ilmu bela diri, Sukrasana senantiasa duduk nongkrong di bawah pohon, sambil memperhatikan dengan mata kelap-kelip penuh kekaguman. Bila sang kakak telah menyelesaikan latihannya, dengan cepat menghampiri dan dengan kain putih yang dibawanya disusutinya keringat yang bercucuran di tubuh sumantri; lalu ditariknya tangan kakaknya untuk sama-sama mandi di sungai yang jernih, dengan pancaran kasih sayangnya, Sukrasana membantu menggosok badan Sumantri hingga bersih dan segar.

Sumantri juga mencintai adiknya itu, namun disaat-saat tertentu sebagai layaknya masa kanak-kanak dalam hubungan kakak adik, sang kakak pun sering menggoda adiknya sampai menangis, tetapi segera setelah itu ditariknya sang adik dan dipeluknya, sambil disusut air matanya dengan penuh kasih sayang. Begitulah kedua saudara itu setiap hari bergaul rapat, hidup rukun, perbedaan wajah tidak mempengaruhi keintiman dan kemesraan sehingga kemanapun selalu berdua.

Dalam “Filsafat Kita” di chanel youtube STFT Widya Sasana, Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto[1] mengatakan bahwa “kita” adalah orang pertama plural, Asal usul keluarga adalah dari laki-laki dan perempuan yang tertarik satu sama lain, yang kemudian menyatukan diri dalam cinta, dan membangun suatu masyarakat kecil yang di sebut keluarga. Jadi keluarga berasal dari relasionalitas komunikasi “aku” “engkau”, dengan fondasi cinta, dalam ilmu sosial relasi komunikasi “aku” “engkau” adalah relasi intersubyektif. Konsep untuk meneguhkan relasi intersubyektif “aku” “engkau” atau “kita”, yaitu pertama: solidaritas, kedua: kerjasama yang saling menghormati, ketiga: tata damai dan yang ke empat:  kebebasan.

Solidaritas artinya bahwa ada kebersamaan, kebersatuan atau kesolidan, kalau kita berelasi saling menghormati dalam kesolidan maka kalau ada saudara kita itu mengalami kesulitan, kita tentu mengambil bagian dalam kesulitan itu, untuk meringankan bebannya. Jika saudara kita bergembira dan tertawa, tentu saja kita senang melihatnya. Solidaritas bisa di ringkas dengan yang disebut tertawa bersama dengan orang yang tertawa, menangis bersama dengan orang yang menagis, dan tidak hanya dimengerti sebagai sikap akan tetapi harus dilanjutkan dalam sebuah tindakan.

Kerjasama atau kolaborasi artinya bahwa suatu kerjasama pasti mengandaikan sebuah mimpi, dan mengkomunikasikan mimpi itu dan selanjutnya dalam kehidupan keduanya mewujudkan mimpinya itu. Contohnya, ketika di kampung ada jalan rusak tentu saja mimpi kita adalah orang yang tinggal di kampung itu akan mempunyai mimpi jalan yang bagus. Sehingga kolaborasi atau kerjasama antara orang yang satu dengan yang lain mengkomunikasikan mimpinya dan merealisasikannya, sehingga jalan yang rusak tadi menjadi jalan yang bagus.

Tata damai artinya bahwa secara umum dimana tidak ada konfik, tidak ada pertikaian, tidak ada perkelahian. Akan tetapi menurut Armada Riyanto menggunakan teori tata damai dari seorang filosof yaitu emmanuel levinas, bahwa tata damai yang kita impikan bukan seperti makam atau kuburan dimana semuanya benar-benar sunyi, senyap dan tidak ada apa-apa. Akan tetapi kita semua sebagai manusia- manusia yang hidup, tata damai harus kita simak sebagai suatu realita yang dinamis, bukan tidak ada konflik tetapi tata damai berarti saling menghormati, saling mengapresiasi, saling mendengarkan dan pada gilirannya merealisasikan apa yang di suarakan. Seperti contohnya, keadilan, kesejahteraan, kesehatan dan yang lainnya. Dengan kata lain bahwa tata damai adalah penuh dengan kepedulian.

Kebebasan artinya bahwa ketika dalan societas tidak ada kebebasan maka di sini kita tidak akan bisa menemukan yang namanya nilai intersubyektif. Nilai intersubyektif itu akan ada ketika ada penghargaan keluhuran martabat kemanusiaan sebagai manusia.

Dalam lakon Sukrasana dan Sumantri terkait dengan filsafat “kita”, ketika Sukrasana dan Sumantri sebagai keluarga, disitu ada relasionalitas “aku” “engkau” dengan fondasi cinta. Antara Sukrasana dan Sumantri sebagai kodrat societas dalam keluarga, dalam melestarikan atau keteguhan sebuah keluarga disitu ada relasi intersubyektif diantaranya solidaritas, kerjasama yang saling menghormati, tata damai dan kebebasan. Ketika relasi intersubyektif dalam sebuah keluarga antara Sukrasana dan Sumantri masih terjalin artinya mereka berdua bisa disebut dengan yang namanya “kita”. 

 

Sukrasana Dianggap Liyan Oleh Sumantri Dalam Filsafat” Liyan (Other).

Armada Riyanto mengatakan bahwa Liyan[2] menemukan kejelasannya karena menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalah tata kelola hidup bersama. Liyan berada dalam wilayah pinggiran[3]. Liyan berarti mereka yang kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti bahwa mereka terpisah, terpinggirkan dari peran-peran pengelolaan tata hidup bersama). Liyan juga memaksudkan lenyapnya kapasitas parsipatoris (dalam arti bahwa mereka terbelenggu oleh kehadiran kategorialnya sebagai bagian yang dilindungi, dan dengan demikian dikekang). Liyan juga menampilkan realitas keterbelengguan , bahwa dirinya bukan miliknya; tubuhnya bukan kepunyaannya; hidupnya pun bukan berada dalamkekuasaannya.[4]

Liyan adalah sosok-sosok manusia yang berlumuran dengan derita penindasan. Mereka tidak memiliki aneka akses bagi keberadaan manusiawinya. Liyan adalah subyek penderita. Liyan adalah non-being dalam ranah politik kolonial.[5]  

Liyan adalah mereka yang terpinggirkan. Liyan menempati wilayah pinggiran kehidupan, Liyan identik dengan keterbelakangan.[6] Liyan dalam zaman pencerahan adalah mereka yang terdesak dan tersisih sebagai manusia.[7] Liyan pada periode ideologi adalah sekelompok masyarakat yang tersisih, tertindih oleh beban kehidupan di satu pihak tetapi terpojok oleh kemiskinan telak. Struktur masyarakat berada dalam wilayah yang sangat rentan dengan ketidakadilan.[8]

Liyan berarti mereka yang ada dalam ketertindasan. Liyan berarti mereka yang ada dalam ketersingkiran. Liyan berarti mereka yang lenyap dalam keterasingan kehidupan sehari-hari. Liyan berarti mereka yang tertindih oleh pasar, oleh masyarakat kapitalis.[9]

Didalam lakon Sukrasana dan Sumantri, Sukrasana dianggap liyan oleh Sumantri karena Ia malu mempunyai adik yang buruk rupa. Sehingga demi jabatan dan kekuasaan Sukrasana dianggap sebagai liyan.

Begini lanjutan ceritanya, Sumantri diminta memindahkan taman Sriwedari dari gunung Nguntara ke negara Maespati. Bila tidak mampu, Ia tidak diperkenankan kembali mengabdi kepada sang prabu lagi.

“Apa kau tidak sanggup memindahkan taman Sriwedari?” Tanya sang adik.

“Apalagi memindahkan, sedangkan letak gunung itupun sampai sekarang belum diketahui” jawab Sumantri.

“O akang Mantri”, kata Sukrasana, itu hanya siasat Pabu Maespati yang tidak ingin menerimamu lagi, karena ia sendiripun belum tentu mampu melaksanakan pekerjaan itu. Itu permintaan yang aneh dan dibuat-buat saja. Maka untuk apa kau susah-susah, marilah kita pulang saja ke gunung kita yang indah dan tentram, menjadi orang yang bebas merdeka, main-main di pinggir hutan, memburu burung-burung dengan sumpian, mandi bersenang-senang di telaga yang jernih dan sejuk.

“tidak, adikku aku tak akan pulang ke pertapaan Jatisrana lagi, bila aku tak sanggup melaksanakan permintaan Prabu Sasrabahu, lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menanggung malu”.

“ Jadi, sudah bulatkah niatmu itu kakang?” tanya adik dengan serius”.

“betul Sukrasana, itulah keputusanku”.

“Ha, ha, ha, ha,. Sang adik tertawa. Rupanya saja yang cakap dan gagah, tetapi kemampuanmu tidak ada. Berapa sulitnya memindahkan Taman sriwedari itu sih? Pekerjaan itu hanya mainan anak-anak, hanya cukup dengan dua jari saja pekerjaan itu dapat diselesaikan”.

“Apa benar adikku!”

“Kenapa tidak? Gunung Nguntara terletak tidak jauh dari sebelah utara pertapan Jatisrana, hanya saja tidak nampak oleh mata manusia, karena gunung itu adalah bekas Kahyangan Batara Wisnu, yang sekarang ini dijaga oleh setan dan dedemit. Marilah kau naik ke atas punggungku, dan pejamkan matamu, agar tidak pusing dan jatuh ketakutan, aku akan bawa terbang supaya cepat sampai”.

Singkat cerita Taman Sriwedari dapat dipindahkan ke Negara Maespati berkat bantuan Sukrasana.

Pada suatu hari sang ratu di kala ingin bersenang-senang di taman Sriwedari tiba-tiba sang ratu ketakutan karena telah melihat Sukrasana yang berwajah buruk dan berbadan kerdil itu. Sehingga sang ratu mengadukannya kepada sang raja. Lalu sang raja memerintahkan kepada Sumantri untuk memeriksa keadaan di taman Sriwedari.

Setelah tiba di taman Sriwedari, ternyata yang ditemuinya adalah adiknya sendiri yaitu Sukrasana. Sumantri marah kepada adiknya dan berkata:

“Sukrasana, apakah kau tidak mengetahui bahwa wajahmu jelek dan menyeramkan, sehingga berani mendekati putri-putri itu”.

Sukrasana, cengar-cengir dengan lucunya dan menjawab: “ cantik-cantik putri-putri itu, kakang mantri, tetapi ku kasih kembang tidak sudi, malahan lari ketakutan”.

“Sukrasana, bentak sumantri, dengan suara yang berwibawa dan sungguh-sungguh, kau sekarang pulang dahulu ke pertapaan, sebab bila kau ada disini bersamaku,  aku akan ditolak lagi oleh sang prabu”.

“Akang antri”, kata sang adik dengan air mata berlinang, aku tidak betah hidup berpisah dari mu, maka aku ingin tetap disini, biarlah aku tidur di kandang kuda, kalau sang Prabu atau siapapun menanyakan, kau bilang saja aku ini pembantumu, jangan diaku saudaramu, tentu orang akan percaya, karena rupaku memang jelek dan sama sekali tidak mirip akang.

Oh, kakang janganlah usir aku pulang, sebab aku tidak dapat hidup berpisah denganmu”.

Sumantri bertambah marah, maka diambillah Cakranya seraya berkata : “Hai Sukrasana, kau tau ini senjata apa?”.

“ Itu Cakrabaswara, akang Mantri, senjata yang diatas bumi ini tiada yang sanggup menerima benturannya”, “Kalau kau sudah tahu, maka aku bilang sekali lagi, pulanglah, pulanglah ke gunung, Sukrasana, bila kau tidak menurut kata-kataku, kau akan tewas disini juga”.

“Tidak akang Mantri, karena hidup berpisah denganmu akan sangat sengsara bagiku, oh kakang, biarlah aku tinggal disini saja, dekat denganmu agar aku bisa menyusut keringatmu, bila kau pulang kecapaian, seperti dahulu ketika kita masih bersama-sama hidup di gunung”.

Suara rombongan pengiring sang prabu, terdengar semakin dekat, maka Sumantri menjadi gugup, lagi-lagi ia menengok ke belakang, berkali-kali.

Cakra Baswara telah terpasang pada gandewanya, jempol dan jari tangan yang memegang ekor cakra karena gugupnya menjadi berkeringat dan licin, dalam kepanikan, dengan tidak di sangka-sangka pegangan cakra terlepas, sehingga meluncurlah cakrabaswara menjurus ke arah Sukrasana yang dengan tepat mengenai dada Sukrasana sampai terbelah menjadi dua.

“Aduh, Sukrasana, Sukrasana”.... Seru Sumnatri sambil menangis dan memeluk mayat adiknya.

Setelah itu keadaan sunyi kembali, hawa udara dingin sekali. Sumantri duduk bengong sendirian dangan penyesalan. Setelah rombongan baginda raja sampai ke tempat itu, barulah Sumantri tersadar dan segera menyembah hormat kepada sang Prabu. Sumantri menjadi patih di Maespati dengan hidup mewah, senang dan tentram di Istana.

Dalan cerita Sukrasana dan Sumantri ini, hubungan adik kakak dalam sebuah keluarga, ketika keluarga adalah “kita atau kami” secara utuh, rukun dan sejahtera  seorang saudara adalah bagian dari hidupnya.  

dalam “Filsafat Kita” di chanel youtube STFT Widya Sasana, Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto[10] mengatakan “keluarga berangkat dari relasi komunikasi aku engkau dengan fondasi cinta, dalam ilmu sosial relasi komunikasi aku engkau adalah relasi intersubyektif, ketika relasi intersubyektif  memudar atau meredup maka konsekwensinya, tata hidup menjadi kacau, akan ada pertikaian dan konflik. Maka muncul liyan (other) sebagai musuh”.

Dengan adanya pernyataan diatas tersebut, bahwa Sukrasana dan Sumantri hidup dalam satu keluarga sebagai saudara kandung. Ketika keluarga mempunyai fondasi cinta dan kasih sayang sesama individu maka dalam keluarga akan tercipta kerukunan dan ketentraman dalam sebuah keluarga. Ketika relasi intersubyektif dalam fondasi cinta dan kasih sayang memudar atau meredup maka akan memunculkan Sukrasana sebagai “liyan” yang dianggap menghambat karier Sumantri untuk ambisinya untuk menjadi pejabat dan penguasa.

Dalam lakon ini, hubungan Sukrasana dan Sumantri adalah gambaran kesetiaan dan fairness sang Sukrasana, yang telah dikhianati oleh ambisi dan kesombongan Sumantri karena sebuah jabatan dan kekuasaan. Pada posisi ini sang Sukrasana di anggap “liyan” oleh sang Sumantri karena ambisinya untuk menjadi pejabat yang berkuasa telah tercapai walaupun mengorbankan saudaranya.

 

Sukrasana dan Sumantri : gambaran rakyat jelata dengan pejabat penguasa dalam filsafat “ kita” dan “liyan”.

Lakon Sukrasana dan Sumantri terkait dengan kondisi realitas kehidupan saat ini. Penggambaran Sukrasana sebagai rakyat jelata dan Sumantri sebagai sesosok calon pejabat yang ingin memperoleh jabatannya. Dalam kondisi seperti saat ini banyak sekali para calon pimpinan daerah atau pimpinan partai yang mana ketika sebelum menjabat, di masa kampanye para calon pimpinan tersebut mendekati para rakyat sehingga antara rakyat dan calon pimpinan menjadi satu kesatuan, saling solidaritas, kerjasama, tata damai dan kebebasan. Terkesan antara rakyat dan calom pimpinan menjadi “kita” atau “kami”, untuk mencari suara, dalam pemilihan. Dengan banyak janji kepada rakyat bila nanti sudah menjadi pimpinan maka akan mensejahterakan, memberikan keadilan, mengentaskan kemiskinan dan banyak lagi janji-janji politik untuk rakyat agar memperoleh suara yang banyak dari rakyat untuk sebuah jabatan.  Ketika jabatan dan kekuasaan itu telah di raihnya. Para pejabat itu telah lupa pada janji-janjinya, bahkan rakyat jelata di matikan hak-haknya demi ambisi dan kekuasaan yang lebih tinggi. Rakyat jelata menjadi “liyan” di mata para pejabat dan penguasa. Seharusnya komunitas masyarakat adalah “kita atau kami” karena relasi intersubyektif sudah memudar atau meredup karena sebuah tujuan kepentingan yang berbeda maka yang terjadi rakyat jelata menjadi “ liyan”.

 

Kepustakaan

Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen, PT. Kanisius, 2019.

Armada Riyanto, dkk, Kearifan lokal Pancasila Bitir-Butir Filsafat Keindonesiaan, PT. Kanisius, 2018.

Kihajar Sukowiyono, Pertempuran di Maespati:Sumantri ngenger, PT. Tribisana Karya, 1977.

R Rio Sudibyoprono, Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium), Balai Pustaka, 1991.

https://www.youtube.com/watch?v=yOGejoZYTDw

https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE

 

 



[1]     https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE

[2]     Konsep liyan menurut Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto, dalam bukunya Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen. Dalam sub bab filsafat “liyan”,

[3]     Warga negara diberkati dengan segala “fasilitas” ruang pengetahuan dan waktu luang, artinya negara secara sosial mendapatkan segalanya untuk mengembangkan kapasitas manusiawinya. Sementara liyan berada dalam wilayah pinggiran.

[4]     Eko Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen, 2019, hlm. 260-261.

[5]     Ibid., hlm. 261

[6]     Bagaimana liyan kita mengerti dalam skema besar peradaban modern? Ketika modernitas identik dengan rasionalitas, dan rasionalitas terkait dengan ilmu, dan ilmu adalah kekuasaan.

[7]     Pada zaman pencerahan ilmu pengetahuan mengukir keunggulan manusia, keterbelakangan menjadi keterasingan.

[8]     Eko Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen, 2019, hlm. 265.

[9]     Ibid., hlm. 265

[10]    https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE


DOWNLOAD SUMANTRI SOKROSONO ADIYANTO








No comments:

Post a Comment

BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI

 BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI