Search This Blog

3 Mar 2015

ACARA SUROAN

BEDAH SESAJI ACARA SUROAN.



Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa.Sura adalah merupakan bulan awal tahun  menurut penanggalan Jawa. Bagi pemegang tradisi Jawa hingga kini masih memiliki pandangan bahwa bulan Sura merupakan bulan sakral. Berikut ini paparan arti bulan Sura secara maknawi dan dimanakah letak kesakralannya

Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bulan yang penuh makna, bulan yang tidak boleh disia-siakan. Bulan penuh anugerah. Bulan yang wajib diissi dengan kegiatan yang baik, yang positif. KEJADIAN KEJADIAN DIBULAN SUROPUN DIANGGAP SUATU ANUGERAH(PEPELING DAN KWRUH). Bagi yang memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai bentuk paham syirik dan kemusrikan.

Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan kurangnya pemahaman sebagian masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik berkaitan erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya dengan melihat manifestasi perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, maka punishment terhadap tradisi bulan Sura itu jauh dari kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal layak menjadi panutan. Padahal tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan mengandung stigma, dan sikap menghakimi secara sepihak.

Masyarakat Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur akan karunia terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahlukpaling sempurna dan mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi ibarat pisau bermata dua, di satu sisi dapat memuliakan manusiatetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia, bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun

Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa(Memayu hayuning Bawana langgeng).

Bulan Sura juga dianggap sebagai realita pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian rupa. Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, benatang gaib, sertajagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan njampangai (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.



Beberapa pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura.

Bbeberapa ritual yang dilakukan berkaitan dengan bulan Sura seperti berikut ini;

Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung
Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
Tapa Ngrame(suka berbuat kebaikan/menolong). Lelaku sepanjang bulan Sura untuk selalu mendekatkan atau meningkatkan tali silahturahmi dengan siapa saja. Pada sepanjang bulan Sura diwajibkan banyak membantu, berderma harta atau berupa tenaga. Slalu ikut memberi pencerahan kepada orang orang yang lagi menemui kesulitan dalam kehidupan sehari harinya. Semuanya weajib dilakukan dengan tulus iklas dan tanpa Pamrih. Melakukan segala sesuatu diatas hanya karena ingih menejawantahkan(mewujudkan) salah sifat Illahi yang maha Welas Asih.
Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya. Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.
Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat ataumemetri warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut dari “akarnya”. Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahirmegatrend terbaru abad ini, sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara politisasi agama.
Larung sesaji(lamongan, tulungagung, blitar, Tuban dll); Bersih Desa(Madiun dan sekitarnya), Manganan(Tuban). larung sesaji, Bersih Desa dan Manganan merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, ditaruh digunung, atau ke tempat-tempat tertentu seperti punden(Pepunden/tokoh yang dihormati) atau makam(untuk mendoaakan para leluhur yang terawat maupun yang tidak terawat). Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji.

Baiklah, berikut tentang konsep pemahaman atau prinsip hati maupun pola fikir mengenai tradisi ini. Pertama; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus. Ketiga; selain kedua hal di atas, sesaji merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.

Sesaji 1 Sura atau Suraan. Sesaji ini banyak dilakukan pada malam menjelang tanggal satu Sura atau memilih pada tanggal lain yang menurut perhitungan dianggap baik. Simbul Sesaji biasanya meliputi al.:

7.1. Damar Kambang(dian/sentir yang mengambang)

Sebagai lambang hidup. Manusia Hidup merupakan salah satu gambaranya

Yang Tunggal Tuhan Yang Maha Esa. Hidup yang menghidupkan daya cipta,

Rasa, karsa dan budi yang diyakini yang mengusik perilaku manusia untuk

Berbuat atau melakukan sesuatu.

7.2. Banyu Bening(air Jernih)

Semua perilaku manusia dan pengharapan hendaknya dilandasi dengan hati

yang bersih bukan karena emosi yang digerakan oleh otak(logika) saja.

7.3. Santen Kanil(Sarinya kelapa yang kental)

Sebagai perlambang Penghidupan, yang sama dengan air susu ibu yang mem

beri daya hidup awal kepada sang Bayi yang baru lahir.

7.4. Kembang Ponco Warna ( buka lima macam warna).

Melambangkan raga manusia yang memiliki panca(lima) indera. Artinya supa-

ya manusia selalu hati hati dalam menggunakan panca inderanya sehingga ra-

ga sendiri menjadi sehat dan tidak merugikan orang lain atau kehidupan lain.

7.5. Kembang Setaman(Bunga setaman).

Melambangkan pergaulan antar sesama. Artinya sebagai manusia wajib men-

jaga baiknya nama didalam pergaulan. Ucapan, perilaku, tindak tanduk wajib

dijaga dengan baik sesuai dengan tatakrama atau aturan hidup dimasyarakat

baik lokal, regional, Nasional dan Internasional.

7.6. Kinangan/Bumbu Kinang

Ini melambangkang pengharapan setiap manusia hidup, yakni pengharapan

yang sesuai dengan suara hatinya yang paling dalam. Karena pengharapan

(panandhang) itu dari suara hati yang dalam, bertujuan dalam melaksanakan

laku didalam kehidupan berani dan tatag(mantap) untuk dijalani dengan baik

dan tenang. Tidak grusa grusu( tidak menuruti emosi).



7.7. Jenang Sengkala

Melambangkan adanya Bapak dan Ibu yang telah melantarkan kita sebagai ma-

Nusia ada didunia atau ada di jagad raya ini. Harapannya setiap manusia akan

Selalu ingat kepada Bapa lan Biyungnya( Bapak dan Ibunya).

7.8. Jenang panca warna(jenang lima warna)

Lambangnya urutan laku/perbuatan manusia hingga terjadinya calon manusia

(jabang Bayi) yang melalui Bapak dan Ibu. Dimana Bapak dan Ibu adalah Sosok

Utama yang mengukir jiwo raga(yang mewarnai watak setiap manusia). Yang

semuanya itu karena adanya karep(tujuan), Perilaku(pakarti), Daya Cipta, Rasa,

Budi dan Karsa manusia yang selanjutnya manjing(tumbuh, berada, menjadi)

Wataknya manusia yang wujudnya menjadi napsu 4 perkara( amarah, aluamah

supiah, mutmainah)

7,9. Bubur Sura(Jenang Sura)

Bubur Sura diartikan sebagai lambang terjadinya calon raga manusia. Yang pa-

da awalnya hanya sebuah gumpalan darah. Menggambarkan mulainya indung

dibuahi, hidup, menggumpal jadi setitik darah didalam alam kandungan seo –

rang Ibu yang diliputi sebuah daya penghidupan dan berbagai sari makanan

yang mendapat daya Penguasaan Tuhan Yang Maha Esa yang dibungkus sebu-

ah lapisan yang lunak(kawah) dan placenta(ari ari).

Perlambang ini juga mengingatkan setiap manusia(jawa) ingat kepada kakak

(kakang)kawah yang melindungi dan adi(adik) yang disebut ari ari(placenta).

7.10. Rujak Rucuh, Janggelan, Dhawet, Jenang Procot.

Itu semua melambangkan piranthi( alat-alat kelengkapan) wadhag Seorang ba

yi mulai dari biji(bibit)sampai menjadi seorang bayi yang siap lahir di alam pa

dang (dunia). Artinya kita semua untuk selalu ingat mulai jadinya benih/bibit,

lalu menjadi bayi yang kesemuanya merupakan awal awal terjadinya manusia

seperti apa adanya.

7.11. Cengkir Klapa Gading

Klapa gading melambangkan kecangnya(kuatnya) tekat/pikir yang dilandasi

Rasa(suara hati) yang suci. Jadi manusia (jawa) diharapakan dalam melakukan

sesuatu antara pikir(logika) dan hati harus seimbang. Jangan otak(ligika) me –

ngelak akan kenyataan suara hati. Banyak dalam kehidupan moderen hatinya

telah dikorbankan yang akhirnya hatinya menjadi mati. Misalnya orang banyak

yang gak tahu malu. Banyak orang orang tidak berperikemanusian dsb.

7.12. Cengkir Klapa Ijo.

Melambangkan kuatan tekat seseorang yang dilandasi doyo(kekuatan) baik ke-

Kuatan dari dirinya ataupun alam yang melingkupi.Artinya kita dalam melaksa-

Nakan sesuatu selain menimbang kekuatan, kemampuan diri perlu memperhi -

Tungkan kekuatan diluar diri manusia(makrokosmos) itu sendiri.



7.13. Cikal/Bibit Klapa.

Cikal melambangkan bibit manusia yang lugu(sederhana), prasojo(tidak

banyak polah) santoso(kuat) migunani(sangat berguna) dan murakabi(mber –

kahi). Manusia Jawa diharapakan dalam bertindak tidak macam-macam(neka-

neko) atau sederhana, prasojo, luhur dan santosa dalam berbudi. Memberi

manfaat kepada siapa saja dan apa saja.

7.14. Kembar Mayang.

Melambangkan bahwa manusia itu sudah dewasa. Sudah mumpuni, sudah

Mempunyai pengetahuan dan ketrampilan olah bathin, sudah bisa merasakan

Cinta Kasih Tuhannya Yang Esa, Yang Maha Murah. Dan kalau berumah tangga

hendaknya melahirkan manusia(keturunan) yang baik(bibit yang baik). Manu –

sia yang baik adalah manusia yang tahu benar dan salah, tahu akan kebenaran

yang hakiki.

Kembar Mayang juga melambangkan bahwa manusia harus selalu dekat de -

ngan Tuhannya. Suka mendekat dan selalu eling(ingat) Kepada Tuhannya dan

suka melakukan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.

7.15. Pusaka Keris.

Melambangkan Jiwo dan raga(curigo manjing warongko). Melambangkan ke-

pastian, lambangnya aura kepribadian dan sifat yang kuat dalam memperju –

angkan tekat yang baik.

Kita wajib mempunyai sikap yang mantap dalam usaha mencapai tujuan dan

selalu percaya akan kuasa Illahi tidak takut dengan sesuatu yang menjadi rin-

tangan.

7.16. Tumpeng Robyong.

Melambangkan bahwa manusia tersebut telah diakui, diberkahi KasihNya

yang tiada tara besarnya. Hal itu dirasakan sebagai landasan olah Budi uta -

mi, budi luhur didalam mengapai sesuatu yang telah dituju/ditetapkan. Olah

budi sebagai landasan melakukan perjaan itu tidak untuk dirinya sendiri akan

tetapi juga ditujukan untuk ikut membangun Nusa dan Bangsa.

7.17. Sekul Jening/Kuning(punar)

Melambangkan menebarnya wiji(bibit) manusia.

Supaya setiap manusia mengerti, memahami bahwa menebarnya wiji manusi

a tidak sekedar nanti menjadi manusia begitu saja, akan tetapi manusia yang

yang lahir tadi merupakan gambarannya bapak dan Ibu sewaktu memadu cin

ta kasih. Seharusnya disana ada sumunarnya kasih. Wiji itu sduah nampak.

7.18. Sekul Brok.

Merupakan lambang tempatnya Jabang Bayi (calon manusia) sudah tersedia.

Artinya kita dalam melakukan setiap perbuatan selalu mau meniti, mengevalu

asi . Apakah yang sudah terjadi itu tidak banyak merugikan baik untuk diri sen

diri bahkan untuk orang lain. Hal itu bertujuan supaya hidup didunia menjadi

selaras.

7.19. Tumpeng kendit.

Melambangkan sebuah ikatan hidup antara Kakang Kawah, adhi ari ari, sukma

daya hidup, juga ikatan antara jiwo dan raga yang berasal dari daya rasa cin

ta kasih . Kita(masyarakat Jawa) untuk selalu ingat dengan saudara yang lahir

bersama kita dalam hari kelahian itu.

7.20. Sekul Byar.

Melambangkan tangisnya seorang bayi yang bersamaan dengan lepasnya ke

palan kedua tangan. Dan itu sebagai pertanda kalau sifat, bukti kehidupan te

lah ada.

7.21. Sekul Golong.

Melambangkan bulatnya tekat.

Manusia didalam meraih cita citanya hendaknya membulatkan semua alat alat

(piranthining hurip) , seperti cipta, rasa, budi dan karsa. Mengendalikan laku

Panca indera dan menekan hawa napsu guna meraih hidup yang mulya dunia

dan akhirat.

7.22. Ayam Panggang, Ingkung.

Melambangkan Panembahan atau sikap hidup seorang yang hidup diawal

(purwaning Bawana) yakni hidup dialam kandungan. Yang menggambarkan

Manusia yang lahir didunia dalam keadaan suci sebelum selama 9 bulan da

Lam kandungan selalu manembah ing Ngarsaning Gusti yang membuat Hidup.

Oleh karena itu setelah mulai dewasa hendaknya setiap manusia selalu ingat

Dan selalu manembah ketuhan Yang Maha Esa, supaya hidupnya selamat.

7.23. Ayam Panggang Blorok Panca Warna.

Melambangkan bahwa manusia didalam hidupnya dilengkapi dengan Panca In

dera. Yang artinya didalam manembah(menyembah) kepada Tuhan YME harus

hati hati dengan menggunakan Panca Inderanya. Hidung bukan untuk sekedar

membahu segala bahu bahuan, Mata juga bukan untuk sekedar melihat segala

sesuatu tanpa ada batasnnya, demikian yang panca Indera yang lainnya.

Dengan demikian manusia akan menjadi selamat dan mendapatkan manfaat

yang lebih bukan sekedar seperti arti biologis semata.

7.24. Ayam panggang bekakak.

Melambangkan sikap manembah(menyembah) dan hidup yang penuh dengan

pengorbanan. Artinya setiap manusia diwajibkan untuk berbuat dengana tulus

iklas dengan tanpa pamrih.

.

7.26. Woh Wohan Mentah Mateng.

Melambangkan hasil pekerjaan manusia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Artinya supaya kita dalam melasanakan perkerjaan bisa selalu menghasilkan

Karya nyata, baik disenangi dan kita tahu semua itu juga merupakan anugerah

Yang Maha Berkah dan Maha Murah.

7.27. Polo Gumandul , Polo Kependhem.

Melambangkan Keadaan nyata yang selalu dialami oelh manusia.Dan muncul

Didalam angan-angan, pikiran, nalar dan budi.

Angan-angan hendaknya dilandasi rasa hati, budi yang jernih tidak suka mengu

dal-udal(membeber) hal yang kurang baik, suka memuji dan menghormati o -

rang lain apalagi kepada para sepuh dan pinisepuh.



7.28. Jajan Pasar.

Lambangnya pergaulan hidup(Sesrawungan).

Dunia yang berisi bermacam macam etnis, warna kulit, dan aneka kepercayaan

harus kita sadari itu suatu kenikmatan. Manusia diwajibkan bisa among(meme

lihara) rasa, kesopanan, unggah ungguh, toleransi pada sesama. Menjaga seti

ap perbuatan tidak akan merugikan orang lain. Dan bisa menyadari bahwa per

bedaan itu suatu anugerah dan kenikmatan. Seperti macam jajan pasar yang

bentuk dan warna serta rasa berbeda beda, namun semua lezat.

7.29. Pisang raja, Pisang Ayu dan Pisang Mas.

Melambangkan gegayuhan(cita cita) seorang manusia.

Artinya supaya kita sebagai manusia mempunyai cita cita, harapan(gegayuhan)

yang baik, yang tinggi, utama, luhur yang pada intinya bisa menciptakan nega

ra dan bangsa menjadi hidup tentram, makmur dan sejahtera.

7.30. Padi.

Melambangkan sesuatu telah pada masanya untuk dipetik(paripurna) dan beri

si. Artinya supaya kita dalam mencapai harapan atau cita cita itu melalui pro

ses pengetahuan dan keahlian yang yang akhirnya memberi makna hidup pe

nuh isi. Dan pada saat makin berisi hendaknya manusia jangan semakin som

bong, congkak, adigung adiguna; sapa sira sapa ingsun.

7.31. Daun Kluwih.

Melambangkan hendaknya apa yang ingin dicapai atau yang telah dicapai bisa

mendapatkan hasil myang lebih lebih.. Hal ini sebagai sifat pengejawantahan

Tuhan yang Maha Esa yang maha Lebih, Yang Maha Murah.

7.32. Daun Apa Apa.

Melambangkan sebuah Keadaan Alam semesta.

Atinya supaya setiap manusia bisa mengatasi segala sesuatu yang dihadapi,

yang berupa tantangan apapun dan supaya manusia akan selalu terhindar

dari segala marabahaya dan godaan apapun.

7.33. Daun Beringin.

Melambangan sebuah pangayoman(perlindungan).

Artinya supaya kita semua mendapat perlindungan diri Tuhan Yang Maha Esa

dan semoga kita bisa berguna bagi sesama.

7.34. Daun Adhong dan Puring.

Melambangan sebuah pengertian awal dan akhir dari hidup. Hidup yang

menghidupi. Hidup yang murup(hidup bercahaya), hidup yang sangat ber

guna baik untuk sesama atau dan maklun lain yang ada didunia.

7.35. Pohong Pisang dengan Buah dan Bunganya(ontong).

Melambangkan menanam Tuwuh, Nyambung Tuwuh dan Menyiram Tuwuh.

Tuwuh itu artinya Tumbuh(urip). Tumbuh dalam arti Utuh. Utuh bukan karena

manusia hidup diberi makan saja. Disini sangat berkaitan dengan kwalitas

hidup dalam arti moral, Budi pekerti, perilaku yang menyebabkan menjadi

kan manusia menjadi manusia yang berbudi luhur.

Nyiram Tuwuh artinya berkaitan dengan pribadi seseorang dalam memberi

(peparing piwulang luhur) kepada anak turun supaya berkwalitas hidupnya

secara spiritual didalam mencari arti hidup yang sebenarnya menjadi

utuh/lengkap (sejatining urip).

7.36. Tebu wulung.

Sebagai Perlambang mantapnya kalbu, budi dan hati.

Artinya supaya kita dalam menempuh hidup itu mempunyai keanteban(kete

guhan). Selalu percaya dan tawadhuk/mituhu(berserah diri) kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Dengan demikian Manusia itu menjadi kukuh dan santosa

(kuat) budi lan jatidirinya.

7.37. Janur Kuning.

Melambangkan arah kepada sifat Keluhurannya Gusti/Tuhan Yang Maha Esa

dan cahayanNya hidup.

Manusia tidak lain hanya sebuah mahkluk ciptaan Tuhan yang biasa, walau

pun diberi kelebihan tetap masih mempunyai banyak kekurangan. Hanya

Tuhan Yang Maha Esa yang bisa memberi cahaya hidup, menghidupi, membe

ri kekuatan(nyantosani) dan memberkahi(nyembadani lan nyukupi).

7.38. Damar sesaji.

Melambangkan seorang manusia yang telah menguasahi ilmu hidup yang

menghidup hidupi, mengerti masing masing ajaran dan pengetrapannya dan

telah siap jadi jurulagu atau pembimbing orang lain.

manusia itu bisa menajdi contoh bagi orang lain, dalam hidupnya telah bisa

menerangi(murup) orang lain.

7.39. Kain Mori putih.

Gmbaran lelaku(laku bathiniah) yang lurus dan suci. Juga merupakan gam

baran dunia kecil(microkosmos) manusia itu sendiri.

Sewajibnya manusia dalam belajar atau mengasah ilmu rochaniah/bathiniah

nya linambaran(berdasar) niat yang suci.

7.40. Songsong Payung Agung.

Melambangkan pangayoman Pribadi.

Artinya Hendaknya manusia atau setiap orang yang hidup didunia bisa selalu

Menjadi pengayom(pelindung) bagi orang lain dan dirinya sendiri bisa selalu]

Mendapat pengayoman pribadi. Pengayoman dari tuhan Yang Maha Esa. Oleh

Karena itu setiap manusia wajib untuk selalu, tidak lupa, memohon kepada

Tuhan akan Keselamatan, Bimbingan, Kemudahan dll(pepadang).

7.41. Songsong Payung Tunggul Naga.

Melambangkan Tetunggul, Gapuraning( Bangunan yang melambangkan) Kanu

Grahan. Artinya setiap manusia untuk selalu bisa menjadi tetunggul(lambang,

Contoh pengayom) didalam hidup dengan sesama. Baik untuk keluarga, sanak

Famili, tetangga, nusa bangsa dan Negara. Untuk itu manusia wajib memundi

(selalu) memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk selalu diberi kekuatan.

7.42. Tumbak dan Landehan sakembaran(sepasang).

Melambangkan Kewaspadaan. Juga piandel(sesuatu yang dianggap baik/kuat)

ini Bukan mengartikan orang itu kuat “Sapa sira sapa insun”. Akan tetapi manu

sia untuk selalu siap lan waspada. Selalu ingat kepada sang Khalik yang mengu

sai alam fana ini. Apakah dalam laku manusia itu sudah benar untuk sekarang,

untuk masa mendatang, untuk orang lain apalagi untuk keluarga. Khususnya

kepada setiap orang yang menjadi pimpinan untuk selalu waspada dengan ke

bijakan, keputusan dan tauladan yang diambil baik saat ini masa mendatang,

baik bagi dirinya, keluarganya atau untuk sesama, bangsa dan negara.

7.43. Dupa Ratus Lisa Wangi.

Melambangkan, bahwa manusia atau kita semua wajib dalam hidup didunia

ini menjaga keharuman nama pribadi, keharuman nama keluarga, Lingkungan

nusa dan bangsa serta Negara. Hendaknya setiap perbuatan manusia selalu

ingin berbuat baik demi keharuman nama. Dengan keharuman keharuman itu

akan dicapai sebuah hidup/kehidupan yang tenteram. Selanjutnya dalam men

ciptakan hidup yang sejahtera akan semakin mudah.

Jadi setiap perbuatan itu hendaknya akan menaburkan keharuman sehingga

menyenangkan semua orang.

7.44. Sega(nasi) Lapis telu(berlapis/bersap tiga).

Yaitu Nasi putih, kuning dan merah atau hitam(dari beras merah atau ketan hi

tam). Lambang ini juga disebut Tri Loka Bawana. Hal tersebut melambangkan

sebuah kesempurnaan hidup. Yaitu hidup mulai dari alam awal(purwaning ja

gad) yakni hidup dialam kandungan, Hidup dialam bawana padang atau kehi

dupan sekarang dan kehidupan bawana langgeng yaitu didunia kelanggengan.

Disini menyiratkan setiap manusia wajib mengingat tiga kehidupan itu dalam

mencapai kesempurnaan hidup.

manusia wajib mengingat kepada orang tuanya terutama sang Ibu yang telah

mengandung dengan susah payah selama 9 bulan. Dan pada saat hidup didu

nia sekarang juga mengingat bahwa nanti masih ada kehidupan yang lang

geng.Untuk dmencapai Tri Loka Bawana manusi diwajibkan melakukan sem

bah raga, sembah roch dan sembah sukma.

7.45. Umbul Umbul Merah Putih.

Melambangkan Kamardikan(kemerdekaan). Hendaknya setiap amanusiaSela

Menjaga kemerdeaan yang ada dan bisa mengisi kemerdekaan untuk sesama

Yang berguna bagi Nusa dan bangsa serta Negara.





Kesimpulan.

Setelah kita mengetahui dan meneliti simbul simbul atau sesaji yang diadakan oleh para leluhur adalah salah besar kalau kegiatan suro yang dilaksanakan dengan memenuhi banyak sesaji dianggap syirik dan dilakukan oleh orang Musrik. Tahun jawa yang berumur lebih tua dari pada penanggalan Hijriyah menunjukan suatu bukti bahwa nenek moyang orang Jawa dahulu sangat spiritual. Bahkan ada yang menengarai Tahun Jawa bukan dimulai dari tahun setelah Masehi akan tetapi jauh sebelum tahun Masehi, Tahun jawa sudah ada. Yakni pada tahun 911 SM pada jamannya Mpu Hubayun.

Peringatan dan kata Sura sendiri telah dikenal mulai tahun 911 SM. Yang Konon Bangsa Nuswantara telah mempunyai hitungan hitungan seperti Naga Dina(perhitungan hari) Naga tahun( perhitungan Tahun) juga perhitungan Bulan(pranata mangsa), arah angin dan lain lain. Berkaitan dengan hari, pasaran, bulan dan Tahun orang jawa atau bangsa Nuswantara selalu menggunakan simbul simbul yang banyak orang menyebut sesaji. Tetapi setelah bangsa ini dijajah fisik dan idiologinya maka semua yang dilakukan oleh orang jawa dianggap syirik. Kelebihan simbol simbol dan perhitungan yang ada dikalender jawa yang dimulai dengan bulan Sura sangat memperhatikan keseimbangan jagad kecil dan jagad besar(mikrokosmos dan makrokosmos) .

Islam yang menyebut bulan Suro menjadi Asyura atau Muharram. Bulan yang penuh makna. Bulan yang tidak boleh disia-siakan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.

Ada sebagian orang berpendapat sangat melenceng yaitu bulan Suro bulan penuh bencana. Bulannya Betara Kala(Raksasa) Oleh karena itu tidak boleh punya hajatan, atau melakukan perjalanan jauh. Yang benar adalah pada bulan penuh berkah, bulan yang dianggap suci ini menurut orang Jawa eman(sayang) kalau untuk melakukan bersenang-senang belaka. Waktunya, bulan untuk mawas diri, bulan untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliknya. Bulan yang perlu diberikan warna dan bau wangi supaya manusia hidupnya utuh, kawruhnya makin utuh.

Pada bulan Suro setiap masyarakat Jawa wajib untuk mepes(menghilangkan/menekan sekecil mungkin) hawa napsunya. Artinya kita wajib instropeksi dengan cara melakukan perjalanan spiritual. Terkadang dengan perjalanan ritual yang tidak mudah untuk dilalui. Seperti banyak manusia yang sulit untuk mengakui kesalahannya sendiri dan suka menyalahkan orang lain. Hal itu mungkin suatu pelajaran yang kecil tetapi sekali lagi sulit untuk dilalui. Oleh karena itu mepes hawa Napsu bagi orang Jawa dibulan Sura seakan wajib.

Bahkan bulan Sura yang diawali pada tanggal 1 Sura senantiasa dirayakan masyarakat Jawa dengan beraneka ritual yang tidak bersifat hura-hura. Itulah sebanya bulan Sura menjadi Sakralbagi sebagian besar masyarakat Jawa.



Selamat menghafal makna sesaji Sura, mugi GUSTI ALLAH, GUSTI KANG PARING BERKAH tansah maringi eling ugi waspada dumateng kita sami



-----------------------------------Rahayu, Rahayu, Rahayu Sagung DumadI

1 comment:

  1. Rahayu....
    Nderek sinau wayang jawi🙏

    ReplyDelete

BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI

 BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI