Search This Blog

13 Sept 2018

PEMBUATAN KONSERVASI DAN FILOSOFI WAYANG KULIT


Materi Sarasehan
PEMBUATAN KONSERVASI DAN FILOSOFI WAYANG KULIT
Oleh : Djoko Langgeng

Pembuatan
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau/ sapi yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, yang kemudian di corek/ atau digambar sesuai dengan tokoh wayang yang diinginkan. yang kemudian ditatah menggunakan besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik yang disebut tatah. Tatah wayang kulit ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, tatahan wayang adalah bentuk tatahan yang sudah menjadi aturan untuk pembuatan wayang. Setelah selesai di tatah selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan gegel, gegel biasanya nterbuat dari kulit, tulang, logam atau menggunakan tali biasa. Setenlah itu baru melakukan penyunggingan atau pengecatan.pengecatan dilakukan sesuai dengan aturan penyunggingan wayang yang disesuaikan dengan tokoh wayang yang ada. Setelah selesai baru di lakukan penggapitan. Untuk gapit biasayang terbuat dari tanduk kerbau, bambu atau kayu.

Peralatan Yang Digunakan untuk menatah wayang kulit
1.         Pandukan, yaitu landasan tatah yang terbuat dari kayu asem atau kayu sawo.
2.         Tindih yaitu logam seberat sekitar 2,5 Kg, biasanya terbuat dari kuningan, namun terkadang juga ada yang terbuat dari besi. Tindih berfungsi untuk menekan atau memberati wayang kulit yang sedang ditatah. Sehingga kulit tidak bergeser kesana kemari sehingga hasilnya pun bagus.
3.         Tatah merupakan alat yang paling penting dalam proses tatah wayang kulit. Setidaknya harus tersedia 20 macam tatah dalam pembuatan wayang kulit ini. Namun pada dasarnya tatah bisa dibagi menjadi dua golongan yaitu tatah lurus dan tatah lengkung. Tatah yang mata tatahnya lurus terdapat berbagai ukuran mulai dari kecil, sedang dan besar sedangkan tatah lengkung ada pembubuk, bubuk iring, patran, rambutan, mas masan, gubahan dan tatah untuk sembulian.
4.         Ganden yaitu semacam palu besar yang terbuat dari kayu (biasanya dari kayu asem atau sawo).
Selain peralatan utama di atas, ada beberapa peralatan tambahan yang digunakan diantaranya adalah jangka, paku corekan, pensil, mistar atau penggaris, penghapus dan batu asahan.
Sunggingan wayang kulit

Cara menyungging Wayang Kulit dengan cara menerapkan warna pada bidang-bidang sungging wayang kulit seperti pada jamang, makutho, sumping, uncal, praba, sembuliyan, dodot (jarik), sonder, kalung, kelatbau, gelang, dan sebagainya. untuk menyungging bagian sembuliyan disungging dengan tlacapan, keongan, atau sawutan, sonder dan tali praba dengan unsur sungging bludiran, bagian celana menggunakan sunggin cinden, sedangkan dodot atau kampuh disungging dengan motif-motif kain seperti parang, semen, atau kawung dan seterusnya. Penerapan warna itu dengan menggunakan sistem gradasi.

Konservasi Wayang Kulit

Perawatan dan perbaikan pada wayang sangat diperlukan untuk menjaga dan memperbaiki wayang-wayang yang termakan oleh jaman. Karena wayang merupakan benda yang sangat sensitif terhadap cuaca dan suhu. Oleh karena itu, sangat rawan terhadap air, kelembapan, jamur, udara, suhu.  perawatan yang paling sering adalah pada gapit dan kulit wayang. Gapit yang semuanya terbuat dari tanduk kerbau bisa bengkokdan kulit bisa berjamur  karena cuaca yang  bisa merusak wayang itu sendiri. begitu juga dengan jamur. merusak warna dan kualitas dari wayang itu sendiri. bagaimana  jika sudah terkena  jamur? Salah satu caranya  adalah dengan  menyikat dengan sikat  halus. Karena wayang biasanya sudah dilapisi dengan pernis atau  dikenal dengan istilah  di dus. Sehingga  cukup bisa  melapisi  dan menjaga  warna wayang dalam waktu tertentu. sedangkan gapit wayang bila cara menata wayangnya salah gapit bisa tertekuk, patah, wayang menjadi tidak rata atau molet dalam istilah jawa. Penangananya yaitu dengan cara, wayang kulit perlu di angin-anginkan minimal 2 atau 4 minggu sekali. dibuat seperti pemepe tapi sekedar untuk angin-angin saja. agar tidak lembab. 
Filosofi Wayang Kulit
Filsafat dan wayang, keduanya tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang wayang berarti kita berfilsafat. Wayang adalah filsafat Jawa. Karena wayang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber sistem-sistem kepercayaan, wayang pun menawarkan berbagai macam filsafat hidup yang bersumber pada sistem-sistem kepercayaan tersebut, yang dari padanya dapat kita tarik suatu benang merah filsafat wayang.
  1. Tujuan Hidup Manusia
Hidup haruslah berdasarkan kepada apa yang dinamakan kebenaran. Dan menurut wayang, “kebenaran sejati” hanyalah datang dari Tuhan. Untuk mendapatkan ini, manusia harus dapat mencapai “kesadaran sejati” dan memiliki “pengetahuan sejati” . Untuk itu, manusia harus dapat melihat “kenyataan sejati” dengan melakukan dua hal. Pertama, mempersiapkan jiwa raganya sehingga menjadi manusia yang kuat dan suci, dan kedua memohon berkah Tuhan agar dirinya terbuka bagi hal-hal tersebut (tinarbuka).
Dimaksudkan terbuka di sini adalah, sesuatu yang dicapai bukan melulu dari kekuatan penalaran atau rasio. Saat rasio terhenti, untuk mencapai kebenaran sejati, manusia harus menggunakan “rasa sejati” melalui mistik. Jika filsafat oleh orang Barat dilakukan atas dasar rasio semata (akal, budi, pikiran, nalar), maka bagi dunia kejawen pengkajian kebenaran dilakukan melalui rasio plus indera batin. Inilah bedanya antara “ilmu” dan “ngelmu”. Dengan mistis, manusia dapat melihat “kenyataan sejati” tentang dirinya, asal mula diri dan kehidupannya, yang semua itu dirangkum dalam ajaran “sangkan paraning dumadi” (asal mula dan akhir kehidupan manusia).
Wayang semacam “Kitab Undang-undang Hukum Dharma” yang menuntun manusia dalam meniti jalan kehidupan antara “sangkan” (asal) dan “paran” (tujuan) menuju yang abadi (Tuhan). UU Dharma itu tidak dituang dalam berbagai bab, pasal, dan ayat sebagaimana UU Hukum Kenegaraan,malainkan terjalin dalam serangkaian kisah-kisah simbolik yang menarik semacam “dharmakathana” atau “dharmmasarwacastra” yang menggambarkan pertarungan dua kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia. Kekuatan napsu rendah, keangkaramurkaan yang menuju kepada kemungkaran (hidup sesat, urip sasar-susur), dan satu lagi kekuatan konstruktif (napsu luhur, keutamaan) yang mengangkatnya kepada kebenaran. Sebagai pasemon, perlengkapan wayang seperti kotak kelir, blencong, dan dalang yang digunakan dalam pertunjukan wayang, juga mengandung nilai filosofi tentang ilmu sangkan paraning dumadi. Kelir melambangkan jagad kang gumelar, blencong sebagai surya yang meneranginya, wayang diperjalankan oleh dalang yang melambangkan Gusti, sementara kotak sebagai alam baka setelah berkiprah di jagad “pakeliran”. Seni pertunjukan wayang itu sendiri, juga mengandung nilai filosofi. Sebagai contoh, gending-gending pembukaan (talu) yang mengawali sebuah pergelaran wayang, sudah dibakukan jenis dan urutannya. Gending patalon itu terdiri dari Cucur bawuk, dilanjutkan Pare Anom, Ladrang Srikaton, Ketawang Sukmailang, naik ke Gending Ayak-ayakan Manyura dan Srepegan Manyura, dan dipungkasi Gending Manyura. Gending patalon ini melambangkan suatu tataran tingkat kehidupan manusia, atau penjelmaan zat. Gending patalon ditabuh sebelum pertunjukan sebagai lambang penjelmaan zat sebelum manusia lahir di alam kehidupan nyata. Ini berarti, rancangan tataran tingkat kehidupan manusia sudah ada terlebih dulu di zaman alam baka.

Ketauladanan dalam Wayang Kulit
Manusia sebagai makhluk batas antara kedua kekuatan yang berlawanan, selalu diharapkan kepada suatu pilihan yang dilematis, yakni konflik dengan dirinya sendiri. Di sini, terserah kepada manusia sendiri jalan mana yang dipilihnya, dengan resiko masing-masing. Dalam menghadapi dualisme demikian ini, manusia memerlukan pemimpin yang dianggap bisa membimbing dan menuntunnya menuju jalan yang benar menurut ajaran dharma yang berlaku dan dianutnya.
Ada beberapa tokoh pewayangan yang bisa dijadikan pemimpin atau panutan bagi manusia hidup di dunia. Uniknya, dalam sistem filsafat perwayangan, tokoh pemimpin sentralnya ternyata bukanlah seorang raja yang menjadi pahlawan dalam sebuah lakon seperti Sri Ramawijaya, Prabu Basukarna, Sri Kresna, Prabu Suyudana, atau Bathara Guru. Lalu siapa? Kiai Semar Badranaya sang panakawan (punakawan). Para panakawan adalah sahabat-sahabat yang arif. Mereka selalu mengabdi kepada kesatria yang berbudi luhur, dari pihak yang memperjuangkan kebenaran dan keagungan.
Semar adalah tokoh Panakawan asli bangsa Indonesia sejak 2500 tahun lalu. Tetapi dalam kisah perwayangan, Semar adalah Bathara Ismaya. Dewa ini turun ke bumi di Karangkedhempel dengan misi suci mengabdi kepada manusia yang berbudi luhur. Istilah Jawanya, “dewa ngawula kawula kang ngawula dewa’, dewa mengabdi manusia yang beriman kepada Tuhannya. Jika nabi dari rasul adalah pemimpin yang mendasarkan kepemimpinannya atas ajaran Kitab Suci, Semar kepemimpinannya atas kelima prinsip “sangkan paraning dumadi”. Semar lebih banyak berada di belakang layar sebagai panakawan (abdi, batur) yang selalu “tut wuri handayani’. Karena itu, siapa saja yang diemong Semar (yang berarti iman kepada Tuhan), akan memperoleh kejayaan. Sebagai pasemon, Semar melambangkan kesadaran kita yang paling dalam, yakni rasa eling (ingat). Rasa eling inilah yang memimpin kita meniti jalan kehidupan kita antara sangkan dan paran menuju “Yang Abdi”. Rasa eling ini diharapkan senantiasa melindungi kita dari goda dan bencana. Jika dalam menghadapi kemelut apapun dan sebesar apapun, kita selalu eling dan waspada, maka kita akan aman dan rahayu slamet nir sambekala.






PROFIL KI DJOKO LANGGENG
djoko
Ki Djoko Langgeng adalah keturunan trah dalang dari Klaten. Djoko Langgeng adalah anak dari pasangan  seniman dalang yaitu Ki Gondo Tukasno dengan Ibu Subini, dari Manjungan, Ngawen Klaten Jawa Tengah, Djoko Langgeng mempunyai nama lain yaitu Djoko Adi Carito, Djoko Langgeng Soedarsono, dan Djoko Langgeng Suryo Alam. Ia dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1953. Pada masa remaja ia pernah tinggal bersama Ki Dalang Wiro Warsono (Mbah Soran), karena Ki Dalang Wiro Warsono (Mbah Soran) masih kakak dari kakeknya yang bernama Ki Dalang Harjo Martono dari Kwiran Klaten, Ia juga pernah nyantrik untuk belajar ndalang di desa Samber, Kabupaten  Klaten di rumahnya Ki Dalang Puspo Carita,  Beliau adalah adik Ibunya Djoko langgeng yang bernama Ibu Subini, karena Ia lama nyantrik disana maka Ia mencintai anak Ki Puspo Carita yang akhirnya Djoko Langgeng menikah dengan anaknya  yang pertama bernama Endang Sutarmi.
Pada waktu menikah Djoko Langgeng beserta istri nyantrik  di Semarang dengan Ki Dalang Slamet, istri Ki Dalang Slamet adalah kakak ayahnya yaitu Ki Dalang Gondo Tukasno. setelah beberapa lama Djoko Langgeng mulai hidup sendiri dengan keluarganya di Desa Gumuk, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah dan mulai kariernya sebagai seorang dalang dan istrinya sebagai sinden. Mulai tahun 1989 Djoko Langgeng pindah tempat ke Dusun Sumber, Desa Tiru Kidul, Kec. Gurah, Kab. Kediri, Provinsi Jawa Timur sampai sekarang.

No comments:

Post a Comment

BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI

 BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI