Search This Blog

21 Jul 2020

TINJAUAN GARAP DAN RASA TEMBANG PADA SENI KARAWITAN


TINJAUAN GARAP DAN RASA TEMBANG PADA SENI KARAWITAN

 

A.        Tinjauan Garap Tembang pada Seni Karawitan


Garap adalah tindakan seniman terkait dengan masalah interpretasi, imajinasi, dan mewujudkan sajian gending dan atau tembang (Supanggah, 2007:3). Dalam karawitan Jawa gaya Surakarta garap merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas hasil sajian gending atau tembang. Hal ini tidak bisa lepas dari realitas yang ada, bahwa repertoar tembang dari masa ke masa, baru dalam wujud notasi titilaras dan cakepan, yang sama sekali tidak disertai keterangan tentang cara menyajikannya. Wujud notasi itu belum memiliki makna musikal sebelum disajikan, digarap atau diolah oleh senimannya.
Dengan demikian, repertoar tembang yang ada adalah merupakan bahan mentah yang masih harus ditafsir, diwujudkan, dan diterjemahkan lewat bahasa musikal. Dari sini tampak jelas bahwa begitu pentingnya peran pelantun tembang dalam mencapai kualitas hasil sajian tembangnya. Dengan kata lain pengrawit vokal sangat menentukan dalam mencapai rasa musikal yang disajikan. Realitas yang demikian itu memunculkan sebuah pemahaman bahwa kualitas hasil sajian tembang sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman vokalis dalam menterjemahkan notasi dan cakepan ke dalam bahasa musikal.

B.        Tinjauan Rasa Tembang pada Seni Karawitan


Dalam kehidupan sehari-hari, rasa orang Jawa, paling tidak dibedakan dalam dua hal yaitu rasa yang besifat lahiriyah dan rasa (feeling) yang bersifat batiniyah. Rasa yang bersifat lahiriyah terdiri dari dua hal. Pertama, rasa pada lidah manusia, seperti rasa manis, asin, asam, gurih, pedas, enak, sedap, sepa, langu, dan sebagainya. Kedua, rasa yang ada dalam jasad manusia, seperti rasa gatal, pegal, linu, nyeri, dan sebagainya. Rasa yang bersifat batiniah adalah rasa yang ada dalam hati, seperti; rasa senang, sedih, haru, galau, takut, dan sebagainya.
Rasa dalam konteks karawitan Jawa dapat dimaknai kesan musikal yang ditimbulkan dari hasil sajian gending atau tembang yang dirasakan oleh hati. Rasa dalam makna kualitas, rasa dalam musik dianalogikan dengan persepsi rasa pada lidah, seperti; enak, sedhep, sepa, cemplang, langu, dan sebagainya. Rasa yang demikian itu memiliki efek estetis, yakni kesan bunyi yang sampai pada pendengaran. Rasa sebagai sebuah kemampuan, mampu menginterpretasi yang sesuai dengan karakter.
Rasa dalam makna kualitas hubungannya dengan tembang, secara musikal dapat ditafsirkan kualitas hasil sajian tembang. Para pengrawit Jawa dalam menyebut kualitas hasil sajian gending atau tembang, secara individu sering menggunakan padanan kata yang biasa digunakan dalam menilai kualitas rasa makanan. Apabila demikian, jelas bahwa capaian rasa berkaitan erat dengan persoalan garap. Pada umumnya pengrawit Jawa biasa menganalogikan garap gending atau vokal sama halnya dengan cara kerja memasak makanan. Hasil masakan menjadi enak apabila juru masak memiliki wawasan yang luas terhadap berbagai jenis masakan berikut bumbu-bumbu dan takarannya. Artinya, juru masak dapat menghasilkan kualitas rasa makanan dituntut wawasan yang luas, memiliki keterampilan yang baik, dan bertindak secara profesional.

C.        Tinjauan Kualitas dan Karakter Tembang


Persoalan garap tembang dapat disejajarkan dengan juru masak, artinya pelantun tembang untuk dapat menghasilkan kualitas rasa sesuai dengan karakternya, dituntut seperti halnya juru masak. Pelantun tembang harus memiliki wawasan luas tentang garap vokal berkaitan dengan pemilihan vokabuler cengkok yang sesuai dengan karakter, pengaturan nafas, dan keterampilan memainkan cengkok, wiled dan gregel sesuai dengan cengkok yang dipilih. Pada dasarnya rasa tembang adalah kesan rasa yang ditimbulkan perpaduan dari seluruh persyaratan sebagai vokalis menggarap sesuai dengan karakternya. Apabila demikian, maka rasa tembang sangat ditentukan oleh kemampuan vokalis dalam menggarap tembang yang dituangkan lewat bahasa musikal. Tidak tercapainya aspek-aspek musikalitas semacam itu disebut Ampang, Cemplang, dan Langu.
Ampang yaitu tembang yang tidak memiliki bobot, tidak sesuai dengan sifat dan karakter, kesan rasa tembang ringan tidak berwibawa (ora mbawani), sehingga tidak mampu menyentuh rasa yang mendalam. Hasil yang demikian ini biasanya dijumpai pada pelantun tembang yang tidak memiliki kualitas vokal yang baik, kurang menjiwai, sehingga hasilnya belum mampu menyentuh perasaan pendengarnya.
Cemplang yaitu sajian tembang yang tidak enak didengar, kesan rasanya hambar atau tidak sedap, laras tidak pleng. Rasa seperti itu juga dapat terjadi dalam gerongan yang semestinya disajikan secara bersama, tetapi tidak mencerminkan kebersamaan. Akibatnya hasil sajian gerongan terasa hambar dan tidak mantap.
Langu adalah sebuah kesan musikal yang terkesan kaku, kasar, dan tidak pleng (rasane ngalor ngidul). Di samping istilah-istilah itu dalam karawitan Jawa gaya Surakarta, juga dijumpai sejumlah istilah yang menunjuk pada kualitas permainan vokal,  misalnya; nyindheni, mbawani, dan nggerongi. Hal demikian dapat dipandang memiliki efek estetis terhadap hasil penyajian vokal. Dengan memperhatikan begitu kompleks, berat, dan rumit persyaratan untuk dapat disebut sebagai pelantun tembang yang mbawani, apabila telah memenuhi syarat seperti diuraikan.

Hal yang terjadi pada pelantun tembang juga berlaku bagi pengrebab, pengendhang dan penggendèr. Pengrebab disebut telah ngrebabi, manakala mampu menerjemahkan kerangka gending ke dalam melodi-melodi rebaban, mengalir, pleng, serta mampu memberikan ide musikal terhadap permainan instrumen lainnya. Pernyataan untuk menengarai sebagai pengrebab unggulan manakala hasil permainan rebabnya bisa mendirikan bulu kuduk para pendengarnya. Penyaji gender disebut telah nggenderi, manakala telah mampu menerjemahkan kerangka gending ke dalam permainan gender secara mengalir dalam memilih dan menerapkan pola gender dan wiletannya sesuai dengan esensi karakter gending yang sedang disajikan, serta mampu berinteraksi secara musikal dengan penyaji instrumen garap lainnya. Apabila di dalam permainan instrumen terdapat kualitas permainan yang dianggap baik, di dalam penyajian vokal juga terdapat sejumlah kualitas dan suara yang secara konvensional dipahami oleh masyarakat karawitan Jawa.
Berbagai kualitas suara yang dipahami oleh masyarakat karawitan Jawa menunjukkan bahwa di dalam masyarakat karawitan Jawa sejak lama yang berkait dengan suara manusia telah terdapat konsep baik dan tidak baik. Oleh karena itu, dalam memilih vokalis untuk kepentingan pertunjukan karawitan selalu mempertimbangkan kualitas suara. Kualitas suara yang baik secara estetis oleh masyarakat karawitan dikonsepkan ke dalam istilah gandhang, kung, gandem, empuk, kempel, arum, anteb, landhung. Kualitas suara yang dianggap kurang memenuhi syarat sebagai vokalis (untuk tidak mengatakan jelek) dikonsepkan ke dalam istilah kemèng, ngeprèk, atos, cekak, dan langu.
Konsep suara yang baik untuk keperluan pertunjukan karawitan ternyata tidak hanya dibangun dari satu kualitas suara saja, melainkan merupakan perpaduan dari sejumlah kualitas suara. Masing-masing vokalis yang dipandang telah memenuhi persyaratan untuk keperluan pertunjukan karawitan, pada umumnya memiliki sejumlah kualitas suara yang terpadukan itu.
Di dalam penyajian vokal, dikenal istilah pleng, bléro, sasap, dan sliring. Istilah-istilah ini digunakan untuk menyebut hasil sajian vokal kaitannya dengan laras (nada). Istilah tersebut selain dalam vokal juga terdapat dalam penyajian instrumen rebab, karena pada dasarnya nada-nada yang ditimbulkan dari para vokalis dan pengrebab adalah ekspresi langsung dari pelakunya sendiri. Dengan demikian terdapat beban dan risiko untuk mampu menyesuaikan terhadap nada-nada gamelan. Dalam menyesuaikan terhadap nada-nada itu, bisa pleng, bléro, sasap, dan sliring. Berbeda dengan instrumen, bahwa nada-nada pada instrumen selain rebab telah dilaras secara pas, sehingga bagi pengrawit yang menyajikannya sudah tidak ada lagi beban untuk menanggung risiko tidak sesuai dengan nada-nada gamelan. Dari kenyataan inilah kemudian muncul konsep pleng, bléro, sasap, sliring dan sebagainya.

1.        Pleng
Istilah pleng di dalam vokal, yaitu menyuarakan nada, sama persis dengan nada gamelan atau nada yang dituju, misalnya nada 6 dalam gamelan disuarakan sesuai dengan nada nem dalam vokal.


2.        Bléro
Istilah Blero dalam vokal menyuarakan nada yang tidak sama, bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari nada gamelan. Misalnya nada 6 dalam gamelan di suarakan lebih tinggi atau lebih rendah dari nada nem pada gamelan

3.        Sasap
Sasap adalah menyuarakan nada-nada baik dalam instrumen rebab maupun vokal berada di bawah larasan gamelan. Para empu pengrawit mengatakan bahwa sasap juga terdapat dalam permainan rebab, yakni pidakan nada-nada selalu berada di bawah larasan atau embat gamelan. Hal yang demikian ini para seniman sering mengatakan “nggawa gamelan dhewe”-membawa gamelan sendiri, karena suara yang dihasilkan tidak cocok dengan gamelan.


4.        Numpang
Di dalam karawitan istilah numpang biasanya terjadi dalam permainan rebab, yakni dalam steman dua dawai kawat rebab nada 6 (nem) dan nada 2 (ro). Steman numpang adalah nada 6 dan nada 2 frekuensinya lebih tinggi dari nada 6 dan 2 pada gamelan.
5.        Sliring
Sliring terjadi karena terdapat ketidak stabilan, artinya kadang pleng, suatu saat numpang, dan sasap. sliring adalah menyuarakan nada yang tidak ajeg. Sliring bukan berarti tidak enak, atau tidak baik.

D.       Tinjauan Estetika Garap dan Rasa Tembang


Tiap-tiap hasil sajian tembang memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tercapainya estetika yang disajikan. Kategori larasan vokal yang pleng saja yang mampu mencapai tataran rasa estetis yang diinginkan. Dapat dibayangkan begitu rusaknya rasa estetik tembang, apabila vokalnya blero dan atau sasap, maka sebagus apapun suaranya akan tetapi karena tidak ditopang oleh kaidah-kaidah musikal tidak mungkin dapat dicapai estetik yang prima.
Berdasarkan catatan ditemukan di lapangan dalam masyarakat karawitan Jawa terungkap sejumlah istilah yang digunakan untuk menyebut rasa. Para empu pengrawit menyebut sejumlah rasa yang ditimbulkan dari garap vokal tembang adalah sebagai berikut. Rasa mbawani, nyindheni, nggerongi. Istilah ini konon tidak seluruhnya dikenal oleh masyarakat karawitan. Masing-masing hanya mengenal istilah yang akrab dan sering didengar dan diucapkan. Hal ini berkait dengan pandangan masing-masing kelompok terhadap istilah itu, kaitannya dengan pemahaman tentang sikap yang berlaku pada komunitasnya. Hal demikian boleh jadi, karena terdapat kaitan yang erat dengan kebudayaan yang berlaku di keraton. Para pengrawit istana mengenal istilah rasa yang demikian itu dimungkinkan karena di dalam istana semula tidak dikenal keplok, senggak, dan pola permainan kendhang ciblon, imbal bonang, dan dalam sajian klenéngan.
Secara tradisional, estetik musikal suatu gending dapat dilihat dari ketepatan tafsir musikal para pengrawit terhadap gending atau tembang yang disajikan. Ketepatan interpretasi itu dalam bahasa estetika musikal karawitan Jawa diterjemahkan dengan istilah mungguh, enak, lulut dan atut.
Mungguh diartikan sebagai nilai kepatutan atau ketepatan garap dalam berolah seni. Dalam karawitan mungguh dapat dimaknai ketepatan dalam memilih cengkok, pola-pola permainan vokal dan atau instrumen. Hal ini suatu indikasi, bahwa untuk menyajikan vokal atau gending dituntut sebuah kemampuan garap yang tinggi. Enak adalah sajian vokal yang dapat membangkitkan kesan rasa nikmat, selaras (ndudut ati) bagi pendengar atau penikmat seni. Lulut adalah eratnya sebuah lilitan dari berbagai unsur musikal, yang digarap secara profesional. Atut adalah menyatu, artinya menyatunya dari beberapa unsur musik, sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dan menimbulkan keselarasan.
Sebagai pembuktiannya ditampilkan hasil pengamatan terhadap peristiwa pertunjukan karawitan, serta mencermati hasil rekaman suara. Menganalisis rasa harus mendasarkan kepada realitas garapnya saat bawa itu disajikan. Beberapa pertimbangan untuk menganalisis rasa digunakan pendekatan musikologis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Konsep rasa, dalam pengertian estetik tidak cukup hanya mengandalkan sebuah informasi tentang karakter tembang. Realitasnya bahwa beraneka jenis tembang Jawa dapat dihayati setelah disajikan. Maka sangat logis bilamana rasa tembang baru dapat ditangkap ketika sudah disentuh oleh seniman dan dihayati setelah tembang itu disajikan.
Pada dasarnya rasa tembang adalah persoalan kesan yang ditangkap dari hasil sajian yang kemudian menerobos ke dalam batin penghayatnya. Rasa sifatnya adalah imajiner, abstrak, dan non fisik, tidak dapat diraba. Sifat yang imajiner itu berkait erat, bahwa rasa yang sampai pada tingkat carem itu pada awalnya dari hasil imajinasi yang dibangun seniman kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa musikal. Maka, carem hanya dapat ditangkap oleh para pendengarnya lewat kepekaan merasakan terhadap sesuatu yang menyentuh jiwa. Jadi, rasa hanya dapat ditangkap lewat kecerdasan emosional para penghayatnya, dan bukan lewat kecerdasan intelektual.
Setiap generasi memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan diri, menafsir serta mengaktualisasikan tembang. Dalam hal demikian sangat mungkin terdapat pergeseran cara pandang dalam memakna rasa dari sudut pandang estetik.
Contoh penyajian bawa, macapat waosan, penyajian sindhénan, dan jenis vokal lainnya yang oleh etnik tertentu dianggap baik belum tentu dianggap baik oleh etnik yang lain. Misalnya, teknik seleh penyajian lagu sindhen pada etnik Jawatimuran yang dianggap baik adalah yang tepat seleh lagu kenong dan seleh lagu gong. Pada etnik gaya Surakarta dan Yogyakarta penyajian sindhenan yang demikian itu justru dipandang kurang enak karena terkesan kaku. Sedangkan yang dianggap baik oleh etnik gaya Surakarta maupun Yogyakarta adalah teknik nglawer atau melambat.
Ketika seseorang melantunkan tembang dengan kualitas baik, biasanya kewibawaanya sampai mempengaruhi lingkungan sekitarnya, semua orang diam dan mendengarkan. Tembang itu kelihatan harmonis.
Yang jauh lebih penting dan perlu dicermati, serta harus hati-hati adalah untuk tidak mengatakan, bahwa penyaji tembang harus 100% bersih dari jenis-jenis vokal lainnya. Berdasarkan sejumlah pengamatan tidak dijumpai seorang pun penyaji tembang yang tidak terdapat pengaruh dari jenis vokal yang lain.
Penyaji tembang adalah seorang seniman yang memiliki imajinasi, kreativitas, serta suara yang baik, memiliki kebebasan untuk mengekspresikan lagu tembang sesuai dengan keyakinannya. Biasanya penyaji tembang sangat memperhatikan berbagai aspek dalam melantunkan tembang termasuk dalam membuat variasi- variasi agar sajiannya lebih menarik. Akan tetapi bagi seorang yang berlatar guru atau pelatih tembang lebih banyak mempersoalkan kaidah- kaidah yang kadang juga kurang jelas asal-muasal kaidah-kaidah itu. Saling meminjam variasi dalam tembang Jawa adalah hal yang biasa, kendatipun masing-masing dipahami memiliki konsep penyajian yang berbeda-beda. Oleh karenanya dalam memaknai tembang harus disikapi secara lebih longgar. Dalam penyajian tembang yang jauh lebih penting adalah mengupayakan bagaimana sajian tembang dapat memancarkan estetika. Sesuatu dapat dirasakan ketika sesuatu itu telah menyentuh indera rasa manusia.
Menjadi seorang vokalis tembang yang baik, diharapkan mempunyai suara gandhang, kung. Berkaitan dengan pernafasan: landhung, cekak. Kaitannya dengan bobot: gandhem, anteb, kemèng. Yang berkaitan dengan kelenturan: empuk, atos. Yang berkaitan dengan larasan: arum, langu. Yang kaitannya dengan vibrasi: kempel, ngeprèk, serak. Sedangkan yang ada kaitannya dengan ambitus: tekan, ngaya.
Kualitas suara yang baik, secara estetis oleh masyarakat karawitan dikonsepkan ke dalam istilah: gandhang, kung, gandem, empuk, kempel, arum, anteb, landhung. Kualitas suara yang dianggap kurang memenuhi syarat sebagai vokalis dikonsepkan ke dalam istilah: kemèng, ngeprèk, atos, cekak, dan langu.
Segala jenis kesenian akan mencapai pada tataran rasa yang paling tinggi atau mencapai keselarasan yang luar biasa yang menurut orang Jawa disebut “carem”. Melantunkan bawa untuk dapat mencapai carem paling tidak: memiliki dasar suara baik larasan pleng, menguasai teknik penyuaraan (céngkok, luk, wiled, gregel), menguasai teknik pernafasan, mampu mengatur dinamika, mampu mengatur laya, memiliki kepekaan pathet, dan mampu memilih céngkok sesuai dengan jenis suara.

TINJAUAN PERKEMBANGAN  PATET PADA KARAWITAN SAAT INI

 

Seni Karawitan pada perkembangannya untuk saat ini, dari berbagai pertunjukan klenengan maupun wayang kulit ketika saya amati dari masing-masing pertunjukan tersebut terdapat suatu permasalahan mengenai patet. Dalam karawitan jawa patet sering dianggap sebagai kerangka acuan yang digunakan oleh pengrawit ketika menabuh gending-gending Jawa. Seperti penggender, pengrebab, sinden dan wiraswara akan memerlukan patet sebagai pertimbangan pemilihan cengkok, wiled, dan sebagainya.
Dalam hal ini, ketika menabuh gending patet sangat penting bagi instrumen-instrumen tertentu. Penabuh Bonang Barung dan Penerus tidak terlalu memerlukan patet sebagi pertimbangan, lain halnya ketika Bonang Barung dan Penerus menabuh secara imbal dengan sekaran, maka patet akan menjadi pertimbangan untuk pemilihan wilayah nada. Secara tradisi, patet dijaga  agar murni secara keseluruhan, tidak tercampur secara acak.
Pada perkembangannya di beberapa pertunjukan klenengan maupun iringan wayang kulit, patet sudah diabaikan keberadaannya, jelas-jelas di dalam karawitan jawa patet sudah ada pembagianya.
Sebenarnya didalam gending-gending tertentu sudah ada permainan patet campuran, akan tetapi banyak masyarakat  seniman yang sudah tidak menghiraukan atau tidak mempertimbangkan keberadaan patet itu sendiri. Kadang- kadang para seniman dalam menggarap suatu gending sudah jarang sekali yang menggunakan pertimbangan adanya patet, bahkan ada beberapa seniman yang mengatakan bahwa “nggarap gending kuwi pokoke  kepenak dirungokke” . yang artinya dalam menggarap suatu gending yang terpenting adalah enak didengarkan. Sehingga kadang suatu garapan gending tanpa menggunakan aturan baku atau pakem adanya patet, yang terpenting adalah harmonisasinya jadi bukan lagu pakemnya.
Misalnya ada seorang penonton yang nyumbang lagu, yaitu Bawa Dandanggula laras slendro patet Sanga, akan tetapi penyumbang tersebut tidak memahami kaidah-kaidah laras, patet dan nadanya pun tidak pas dengan nada gamelan, yang jadi heran setelah bawa, penyumbang tersebut minta lagu Nyidamsari yang mana lagu tersebut berlaraskan pelog. Ketika penyumbang tersebut diberitahu tentang aturan dan kebiasaan yang sudah ada, pertimbangan rasa dan intinya sajian itu tidak bisa dilakukan. Akan tetapi penyumbang lagu tersebut tetap bersikukuh untuk menyayikannya walaupun nada lagunya tidak pas dengan nada gamelan. Dalam khasus-khasus tersebut mencampur patet maupun laras dalam suatu gending menjadi hal yang biasa.
  Ketika seni karawitan digunakan sebagai musik dalam pertunjukan tari, gending-gending biasa dirangkai sedemikian rupa sehingga suasana  yang di inginkan dapat tercapai. Misalnya dalam Tari Remo, menggunakan Gending Jula-Juli Laras Slendro Patet Wolu kemudian dilanjutkan Gending Tropongan Laras Pelog Patet Limo. Patet dan Laras tersebut dicampur demi terciptanya suasana Harmonis dalam sajian tari. Dalam hal ini, keseluruhan sajian tidak bisa dijaga kemurnian patetnya, tetapi detail garapan tiap gending tetap dijaga patetnya. Beberapa pengrawit jawa memang terbiasa dengan kemantapan suasana yang dibawa oleh patet-patet tertentu. Bahkan patet menjadi kesatuan dari sebuah keutuhan, misalnya patet barang dalam pahargyan manten, kemantapan ini timbul karena kebiasaan tradisi yang berjalan lama.
  Dalam buku-buku yang sudah ada seperti Wedhapradangga (STSI press 1990:16), terdapat penggunaan sendhon Kagok Ketanon manyuro dalam adegan gara-gara yang seharusnya masih wilayah Patet Sanga. Bahkan dalam setiap pagelaran wayang kulit, Pada saat adegan limbukan penonton ada yang meminta langgam Caping Gunung Laras Slendro Patet Sanga saat itu. jelas-jelas adegan limbukan tersebut masih berada diwilayah Patet Nem. Kebiasaan interaksi antara penonton dalam pertunjukan wayang kulit ikut menjadikan percampuran patet yang sering terjadi.
Ada lagi pada pertunjukan wayang kulit dalam adegan gara-gara banyak sekali yang masih menggunakan patet manyura dalam setiap lagu maupun gending. Yang jelas jelas pada saat adegan goro-goro itu masih berada di wilayah patet Sanga.
Sehingga untuk saat ini kemurnian patet pada seni karawitan sudah bercampur aduk keberadaannya menyesuaikan perkembangan jaman yang ada.


BIODATA PENULIS

Adiyanto dilahirkan di Semarang pada tanggal 02 Juli 1982. Sejak kecil ia sudah diajari oleh orang tuanya  di bidang seni, diantaranya, seni karawitan, pedalangan dan seni tatah sungging wayang. Setelah remaja Ia mematangkan ketrampilan olah seninya di SMKN 8 Surakarta Jurusan Karawitan pada tahun 1998, kemudian melanjutkan kuliah di STSI Surakarta pada tahun 2001 sampai semester 4 transfer ke STKW Surabaya lulus pada tahun 2006. Sejak tahun 2011 di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Bidang Budaya, Seni dan Perfilman. Kemudian pada tahun  2015 diangkat sebagai Pamong Budaya Jawa Timur sampai sekarang. Di sela-sela kesibukanya sebagai Pamong Budaya Ia juga aktif sebagai seniman, baik pelaku seni, pengkarya seni dan pemerhati seni. Aktif menulis baik di media elektronikm media massa maupun media cetak.
PENGALAMAN BERKESENIAN
3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sabet pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya. 3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sanggit Cerita pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya. Sebagai Pengamat Daerah pada Parade Lagu daerah Taman Mini “ Indonesia Indah” tahun 2011 mewakili provinsi Jawa Timur. Menjadi salah satu pemusik dalam pertunjukan Festival Kesenian Indonesia III tingkat Nasional tahun 2011 di Surabaya. Menjadi Duta Seni mewakili Indonesia ke Ho Chi Mint City, Vietnam pada tahun 2005.  Komposer dalam Festival Gegitaan tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta. Komposer Iringan Tari Ganggasmara dalam acara Festival Tari Sakral tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta. Juara 1 (satu) Komposer Iringan Tari Kidung Kasanga dalam acara Festival tari Sakral tingkat Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 di Sidoarjo. Komposer Iringan Tari Mandaragiri dalam acara melasti tingkat Provinsi Jawa Timur di Surabaya. Komposer Iringan Tari Nawa Cita Negara Kertagama dalam acara Mahasaba Tingkat Nasional pada tahun 2016 di Surabaya.  Menjadi Komposer pada Pembukaan Festival Seni Sakral tahun 2019 dengan Judul “ Babar Sastra Pamucang” Juara Penata Musik tradisional Terbaik pada Festival Seni Sakral Tingkat Nasional Tahun 2019. Menjadi Ketua Lembaga Seni Keagamaan Provinsi Jawa Timur, masa bhakti 2019-2023 Aktif menjadi Juri dan Narasumber d berbagai kegiatan seni, seperti Macapat, Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan dll. 
BUKU YANG TELAH DITULISNYA
Djoko Langgeng Dan Wayang Kulit Karyanya. Balungan Gending Jawa Timuran. Karawitan Jawatimuran. Pengetahuan Vokal Jawatimuran. Campursari Sekar Melati. Profil Sekar Melati. Kebudayaan Dalam Opini, Kebudayaan Dalam Opini,Tinjauan Seni Karawitan

No comments:

Post a Comment

BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI

 BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI