Search This Blog

21 Jul 2020

TINJAUAN TEHNIK TABUHAN KENDANG JAWATIMURAN


TINJAUAN TEHNIK TABUHAN KENDANG JAWATIMURAN


A.        Kendang Jawatimuran/ Plak Kentong


Dalam seni karawitan Jawatimuran para empu pengrawit menyebut kendang Jawatimuran sebagai kendang plak kentong/ kendang tong.  belum ada notasi baku untuk kendangan, termasuk kendangan gaya Jawatimuran. Memang sudah ada notasi yang digunakan terutama untuk keperluan pengajaran, tetapi itupun hanya digunakan di kalangan terbatas. Lagi pula kendangan yang dinotasikan belum sepenuhnya sungguh-sungguh merupakan representasi dari suara kendhangan yang dimainkan oleh pengrawit kendang. Artinya,  yang dinotasikan adalah sebatas untuk keperluan pengenalan lewat pengajaran. Untuk mampu memainkan kendang yang betul-betul berkualitas perlu mendalami lagi melalui berbagai upaya.
Suara kendang plak kentong pada karawitan Jawatimuran dapat diproduksi melalui berbagai cara. Di antaranya meliputi memukul dengan satu tangan, memukul kemudian mendorong dengan tangan yang sama, memukul salah satu sisinya sementara menutup sisi lainnya, atau cukup menyentuh dengan ujung tangan. Daerah yang dipukul meliputi bagian tepi dan tengah. Untuk teknik-teknik lain yang terkait dengan uraian kendangan plak kentong, yakni dalam pengertian bahwa pengendang mengeksplorasi masing-masing sisi dari kendang atau kombinasi dari kedua sisi, termasuk tuntutan kecekatan melaksanakan semua jenis pukulan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa secara umum ada tiga cara dalam memproduksi suara kendang plak kentong, yaitu pada sisi tebokan besar, pada sisi tebokan kecil, dan kombinasi dari kedua tebokan. Berikut uraian secara rinci dari masing-masing sisi.

B.        Produksi suara pada sisi tebokan besar

 

1.        Suara Deh/ Den
Suaran Deh/ Den dengan simbol (b), suara ini dapat diproduksi dengan memukul bagian tepi dari kendang dengan posisi jari tangan tertutup.

2.        Suara Tung
Suara Tung dengan simbol (p), suara ini dapat diproduksi dengan memukul bagian tengah kendang dengan telapak tangan dan jari terbuka, sementara ujung dari telapak tangan menempel pada permukaan kendang.

3.        Suara Ket/ pet
Suara Ket/ Pet dengan simbol (i), suara ini dapat diproduksi dengan menyentuh secara lembut bagian tengah tebokan kendang dengan ujung tangan menutup.

4.        Suara Det

Suara Det dengan simbol (dt) untuk memproduksi suara ini mirip dengan dah, tetapi dengan menutup kedua sisi tebokan kendang.


C.        Produksi Suara pada Tebokan Kecil


1.        Suara Tak
Suara Tak dengan simbol (t). suara ini dapat diproduksi dengan menutup tebokan besar, sementara tangan yang satunya dengan jari tangan tertutup memukul bagian tengah tebokan kecil dengan langsung menutupnya.

2.        Suara Tong
Suaran Tong dengan simbol (o). Ujung tangan yang menutup memukul bagian tepi tebokan kecil

3.        Suara Lung,
Suara Lung dengan simbol (l). jenis suaranya mirip dengan tung dengan memukul bagian tepi dalam tebokan kiri tapi dengan lembut.

D.       Produksi suara dengan mengkombinasikan kedua tebokan kendang


1.        Suara Dong
Suaran Dong dengan simbol (bo). Suara ini merupakan kombinasi suara tong dan deh.

2.        Suara Dak
Suara Dak dengan simbol (dk). Suara ini merupakan kombinasi suara tak dan det.

3.        Suara Trong
Suara Trong dengan simbol (to). Suara ini merupakan kombinasi suara tong dan tung.

Kendang di tangan seniman dapat bervariasi, enak didengar dan menimbulkan rasa nikmat di dalam batin. Bunyi suara kendang bernilai estetis. Bunyi suara kendang dapat berdiri sendiri seperti untuk komposisi, dan lebih banyak dibunyikan bersama dengan instrumen yang lain. Suara kendang ketika dibunyikan bersama instrumen gamelan yang lain harus menyatu, baik dari segi volume, ritme, warna suara sehingga secara keseluruhan menimbulkan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan.
Peran pengendang dalam Karawitan, selain sebagai pengatur irama, juga dituntut untuk mampu menghidupkan dan mendominasi gending yang disajikan. Dengan kata lain, apabila pengendang berhasil memaksimalkan perannya, niscaya pertunjukan tidak akan terasa membosankan. Berbeda halnya peran pengendang pada pertunjukan tari, wayang kulit, wayang topeng dan ludruk. Dalam konteks sebagai pendukung seni yang lain, pengendang dituntut untuk berperan ganda, yakni sebagai pemimpin orkestra gamelan harus tetap menjaga laya, dan pada saat yang bersamaan juga dituntut untuk mengikuti, memacu, merangsang ekspresi gerak, dan memantapkan aksen gerak tari/wayang. Suara kendangan yang dilakukan oleh pengendang berperan besar dalam membangun kesan dramatik dan menghidupkan suasana pertunjukan. Kesan dramatik dapat diperoleh dengan menggarap salah satunya dapat dicapai lewat garap laya atau tempo (Supanggah, 2007:260). Kendangan dalam karawitan tari memiliki hubungan timbal balik.
Kenikmatan gerak tari Jawa dapat ditemukan pada permainan ritme dengan aksentuasi yang indah. Ritme itu sendiri dalam karawitan diatur oleh kendang. Dengan demikian kendang sangat menentukan keberhasilan pertunjukan tari. Antara kendang dengan tari menjadi partner dalam presentasi. Ketergantungan dan saling mengisi pada aksen-aksennya merupakan kerja yang amat primer (Trustha, 2005:100).
Ketika menyertai tari, wayang kulit, wayang topeng, dan ludruk, kadang-kadang peran pengendang hanya sebatas sebagai indikator ritme. Dengan demikian tuntutan variasi wiledan tidak diterapkan dalam konteks ukuran nilai estetik. Implementasi kendangan semacam ini misalnya pada jenis gerak tari yang bernuansa tenang, stabil, konstan, misalnya pada jejeran wayang kulit dan wayang topeng, pada saat sajian gending dengan teknik ngendangi gending bukan sebagai pembungkus gerak.

E.        Kedudukan dan Peran Kendang


Kedudukan dan peran kendang melalui pemain yang disebut pengendang, sebagai pemimpin instrumen gamelan sangat pokok. Pengertian secara denotatif, pengendang adalah sebutan yang disandangkan kepada pengrawit kendang Jawa yang memiliki kualitas tertentu. Ukuran kualitas tersebut tidak dapat dikuantifikasikan dengan angka, namun pengakuannya lebih bersifat opini oleh komunitas pendukung karawitan sendiri. Ketika seorang pengrawit mengomentari positif untuk kendangan yang bagus, dikatakan “Wah kendangane si A anteb (mantap), wijang (jelas), atau mungkin pliket. Sebaliknya untuk komentar negatif, ampang (ringan), reged (kotor), atau semrawut (tidak jelas). Komentar seserang adalah sebuah penilaian, oleh karenanya harus disertai penjelasan yang detail, yakni dengan menyebut unsur-unsur yang membentuk suatu kualitas atas hal yang dinilai. Menghadapi kenyataan kendangan yang anteb, wijang, pliket, merasa puas, nyaman, senang. Sebaliknya terhadap kendangan yang ampang, reged, semrawut merasa risih, atau tidak nyaman.
Dalam kaitan dengan konsep estetik Pada umumnya apa yang kita sebut indah di dalam jiwa kita dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, nyaman dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat kuat, kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali, kelangen dalam bahasa Bali (Djelantik, 2004:2).
Cara pandang setiap pengamat yang berbeda-beda menyebabkan konsekuensi penilain yang berbeda pula. Bagi para seniman mengungkap rahasia kendhangan yang bernilai estetis merupakan hal penting dan diperlukan penghayatan yang seksama. Kajian kendangan dalam tulisan ini bersifat umum, artinya tidak menunjuk pada satu jenis instrumen dalam karawitan. Keberadaan kendang bersama instrumen lainnya, baik sebagai perangkat mandiri maupun ketika menyertai seni lain, yakni tari, wayang kulit, wayang topeng, dan ludruk memerlukan kajian tersendiri.
Uraian diatas menjadi titik pijak untuk mengungkap nilai estetik dari kendangan pada gamelan Jawa. Pengungkapan ini mendasarkan pada asumsi bahwa setiap karya seni medium beserta segenap unsur yang membangun disusun dan disatupadukan sehingga menjelma menjadi satu kebulatan yang solid dan utuh. Kerja mengorganisasi dalam pengertian ini, seniman harus mampu dan berhasil mewujudkan suatu bentuk yang menarik dan bermakna. Sejalan dengan hal ini para empu karawitan yang cenderung sebagai obyektif berpendapat bahwa keindahan karya seni terletak pada kualitas obyektif dari suatu benda. Kecenderungan itu nampak pada gagasan tentang teori bentuk. Segenap seni visual dan auditif sepanjang masa memiliki apa yang di sebut sebagai bentuk bermakna. Ditambahkan bahwa bentuk bermakna adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetik dalam diri penghayat.
Bentuk ini dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk besar dan bentuk kecil. Bentuk besar merupakan organisasi antara bagian-bagian secara keseluruhan, sedangkan bentuk kecil adalah organisasi dari masing-masing bagiannya. Kajian ini merupakan telaah dari organisasi bentuk kecil, yaitu nilai estetik kendangan plak kentong gaya Jawatimuran.
Berikut ini adalah aspek-aspek pokok yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar pijakan kriteria untuk mengkaji estetika kendangan pada berbagai perangkat. Aspek-aspek kendangan meliputi laya, kebukan, dan wiledan. Aspek-aspek tersebut selanjutnya difahami sebagai obyek estetik yang memiliki bentuk bermakna, yaitu bentuk yang berpotensi menimbulkan pengalaman estetik. Berikut ini adalah aspek-aspek kendangan yang dikaji.

1.        Laya
Cepat atau lambatnya irama dalam dunia karawitan disebut laya (Supanggah, 2007:216) atau dalam istilah musik pada umumnya secara luas disebut tempo. Dalam pengertian ini bahwa satu irama tertentu berpeluang ditampilkan beberapa jenis laya, yaitu tamban, sedeng, seseg, dan sebagainya. Penguasaan secara praktis terhadap laya adalah aspek penting dalam kendangan. Kegagalan dalam merealisasikan laya dalam suatu sajian gending akan mengurangi atau bahkan melemahkan nilai estetiknya. Sebagaimana dalam praktik pertunjukan uyon-uyon/ klenengan biasa digunakan berbagai variasi laya pada masing-masing bagian dari sebuah gending, misalnya laya bagian kendangan gedukan seharusnya lebih tamban daripada bagian gambyak. Pada titik inilah ketika sajian suatu gending akan berpindah irama dan atau kebagian selanjutnya, misalnya dari gedukan ke gambyak pengendang dituntut mampu merealisasikannya secara estetik, dalam arti tidak bergejolak. Pembedaan laya dalam sajian uyon-uyon/ klenengan sangat pokok, mengingat sajiannya mandiri, sehingga implementasi berbagai laya secara tepat pada bagian-bagian gending sangat diperlukan. Implementasi berbagai laya di sini dimaksudkan untuk mencapai kesan dinamis dari sajian suatu atau serangkaian gending.
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh para empu karawitan bahwa pertunjukan gending yang bagus, bernilai estetis adalah ketika sajiannya ada kesesuaian dengan suasana dan juga jenis gendingnya, selain itu pertimbangan karakter gending, sehingga ekspresi rasa harmonis dapat tercapai.
Perbedaan dalam merealisasikan laya juga terjadi pada sajian gending untuk keperluan menyertai seni lain, yaitu tari, wayang kulit, wayang topeng, dan ludruk. Secara umum penggunaan laya dalam sajian gending adalah klenèngan menggunakan laya tamban, dan untuk pertunjukan tari lepas, wayang kulit, wayang topeng pada umumnya menggunakan laya sedeng dan laya seseg.
Kemampuan dalam merealisasikan laya yang mungguh untuk masing-masing jenis pertunjukan tersebut merupakan salah satu unsur pokok yang menentukan nilai estetik kendhangan. Pada waktu sajian suatu gending sudah berjalan, pengendhang dituntut memiliki kemampuan untuk menjaga konsistensi dalam menjaga irama untuk tidak menjadi cepat (ngesuk) atau menjadi lambat (nggandhul), aspek ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi nilai estetik. Keseluruhan uraian tentang laya tersebut menyiratkan bahwa kendangan dalam gamelan Jawa mengutamakan unsur kesatuan, tanpa adanya pengikat, yaitu laya/irama elemen-elemen lainnya tidak mungkin menyatu. Selain itu variasi sajian laya dapat dilihat sebagai intensitas yang merupakan kekuatan pendukung nilai estetik.  
                                                                     
2.        Kebukan
Aspek lain yang turut menentukan nilai estetik kendangan adalah kebukan, yaitu kemampuan memproduksi suara kendang. Ukuran kualitas kebukan meliputi kemampuan memproduksi kejernihan suara, konsistensi untuk memproduksi kualitas warna suara, pengaturan volume, dan artikulasi. Kejernihan menunjuk pada pengertian kejelasan suara, artinya suara yang dihasilkan bernilai musikal, bukan sekedar suara wadag. Intensitas dalam pengertian kehebatan kualitas suara, merupakan salah satu titik perhatian yang perlu dicermati. Konsistensi dalam konteks ini artinya suara yang diproduksi sama, misalnya kualitas suara thung (p) harus relatif sama sepanjang pertunjukan. Volume dari setiap suara yang dihasilkan harus merata, artinya harus dihindari penonjolan salah satu suara. Untuk aspek artikulasi berkenaan dengan upaya menampilkan semua jenis suara terdengar wijang (jelas). Kebukan ini saling mengkait satu dengan lainnya. Dalam dunia karawitan, kebukan yang sempurna dikatakan pulen.
Pengendang harus mampu membedakan kualitas kebukan yang sesuai untuk setiap jenis pertunjukan karawitan. Kendangan memang sangat berbeda dari satu konteks pertunjukan dengan lainnya. Biasanya pengrawit membedakan antara spesialisasi kendangan dalam tari, wayang kulit, wayang topeng, dan uyon-uyon/ klenèngan. Masing-masing membutuhkan pola yang berbeda, mirip tetapi vokabuler dari kebukannya tidak persis sama. Kebukan dalam klenèngan secara umum relatif lirih, untuk menyertai tari maupun wayang kulit, wayang topeng dan ludruk dituntut kebukan lebih keras. Tentunya juga menyesuikan adegan yang ada di panggung.

3.        Wiledan
Terdapat kesepahaman pengrawit Jawa bahwa wiledan adalah pengejawantahan dari cengkok, artinya cengkok adalah satuan melodi yang abstrak. Dalam pembicaraan sehari-hari di dunia karawitan penggunaan kedua istilah itu sering tumpang suh. Istilah cengkok biasanya diterapkan pada melodi yang dimainkan oleh sekelompok instrumen garap termasuk kendang, gendèr, gambang, rebab, dan perangkat instrumen yang lain. Dalam hal wiledan sebagai ukuran untuk melihat nilai estetik dari kendangan berarti kajian kekayaan variasi dari seorang pengendang. Pengendang dituntut memiliki berbagai variasi wiledan untuk setiap cengkok. Pengendang juga dituntut memiliki kemampuan meramu, mengolah, mengkaitkan antara wiledan satu dengan lainnya, yakni untuk mencapai kualitas pliket juga menjadi ukuran dalam menilai estetik kendhangan. Dalam memilih wiledan untuk berbagai ensambel juga merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh pengendang. Misalnya, pemain kendang dituntut mampu membedakan wiledan gambyak dalam sajian uyon-uyon/ klenengan dengan wiledan gambyak untuk keperluan mengikuti gerakan tari maupun wayang. Inilah pentingnya tingkat kompleksitas menjadi titik kajian untuk melihat nilai estetik dari kendangan. Komplesitas juga dapat ditemui pada hubungan wiledan satu ke wiledan lainnya (sambung rapet). 

BIODATA PENULIS

Adiyanto dilahirkan di Semarang pada tanggal 02 Juli 1982. Sejak kecil ia sudah diajari oleh orang tuanya  di bidang seni, diantaranya, seni karawitan, pedalangan dan seni tatah sungging wayang. Setelah remaja Ia mematangkan ketrampilan olah seninya di SMKN 8 Surakarta Jurusan Karawitan pada tahun 1998, kemudian melanjutkan kuliah di STSI Surakarta pada tahun 2001 sampai semester 4 transfer ke STKW Surabaya lulus pada tahun 2006. Sejak tahun 2011 di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Bidang Budaya, Seni dan Perfilman. Kemudian pada tahun  2015 diangkat sebagai Pamong Budaya Jawa Timur sampai sekarang. Di sela-sela kesibukanya sebagai Pamong Budaya Ia juga aktif sebagai seniman, baik pelaku seni, pengkarya seni dan pemerhati seni. Aktif menulis baik di media elektronikm media massa maupun media cetak.
PENGALAMAN BERKESENIAN
3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sabet pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya. 3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sanggit Cerita pada Festival Dalang dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya. Sebagai Pengamat Daerah pada Parade Lagu daerah Taman Mini “ Indonesia Indah” tahun 2011 mewakili provinsi Jawa Timur. Menjadi salah satu pemusik dalam pertunjukan Festival Kesenian Indonesia III tingkat Nasional tahun 2011 di Surabaya. Menjadi Duta Seni mewakili Indonesia ke Ho Chi Mint City, Vietnam pada tahun 2005.  Komposer dalam Festival Gegitaan tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta. Komposer Iringan Tari Ganggasmara dalam acara Festival Tari Sakral tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta. Juara 1 (satu) Komposer Iringan Tari Kidung Kasanga dalam acara Festival tari Sakral tingkat Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 di Sidoarjo. Komposer Iringan Tari Mandaragiri dalam acara melasti tingkat Provinsi Jawa Timur di Surabaya. Komposer Iringan Tari Nawa Cita Negara Kertagama dalam acara Mahasaba Tingkat Nasional pada tahun 2016 di Surabaya.  Menjadi Komposer pada Pembukaan Festival Seni Sakral tahun 2019 dengan Judul “ Babar Sastra Pamucang” Juara Penata Musik tradisional Terbaik pada Festival Seni Sakral Tingkat Nasional Tahun 2019. Menjadi Ketua Lembaga Seni Keagamaan Provinsi Jawa Timur, masa bhakti 2019-2023 Aktif menjadi Juri dan Narasumber d berbagai kegiatan seni, seperti Macapat, Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan dll. 
BUKU YANG TELAH DITULISNYA
Djoko Langgeng Dan Wayang Kulit Karyanya. Balungan Gending Jawa Timuran. Karawitan Jawatimuran. Pengetahuan Vokal Jawatimuran. Campursari Sekar Melati. Profil Sekar Melati. Kebudayaan Dalam Opini, Kebudayaan Dalam Opini,Tinjauan Seni Karawitan



No comments:

Post a Comment

BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI

 BEDAYAN LOGONDANG NOTASI PELOG LIMA ADITYASTUTI